5 | Kesepakatan

1182 Words
“Liam, Dad sudah pernah bilang kalau seteleh memakai barang harus ditaruh ke tempat asalnya,” peringat Dewa. “Kau masih muda, ingatan kau tidak bermasalah. Jangan memulai sesuatu yang buruk, nanti kau akan terbiasa. Sulit mengubah kebiasaan, Liam.” Liam mendengarkan, namun tidak menjawab apa yang Yudistira katakan. Setelah meletakkan gelas di bak cuci, Liam langsung pergi ke ruang televisi. Liam mengerjakan tugasnya tanpa kata, dengan posisi tengkurap sambil mencoret-coret di bukunya. Yudistira yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian menghela napas. “Mau berapa lama lagi kau tidak ingin bicara dengan Dad?” Tidak ada jawaban lagi. Yudistira mengurut pelipisnya kemudian pergi dari ruang tamu. Hari ini asisten rumah tangganya tidak datang, otomatis Yudistira memasak untuk makan malam mereka sendiri. Yudistira tidak bisa memasak, sedangkan asisten rumah tangganya meninggalkan ayam bumbu bacem. Begini nasib single parent, siang bekerja seharian dan malam mengurus anak yang juga sekarang kerepotan saat ditinggal asisten rumah tangga. Diambil Yudistira ayam yang siap digoreng dari dalam kulkas kemudian meletakkannya di atas meja. Saat Yudistira akan mengambil wajan, Yudistira dikagetkan dengan kedatangan Liam. Dengan bertolak pinggang Liam berdiri memandangi Yudistira, wajah Liam terlihat ketus dan tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Kenapa?” tanya Yudistira. “Kau membutuhkan sesuatu? Makan malam akan siap sebentar lagi, Dad harap kau mau bersabar sedikit lagi.” “Aku tidak makan malam ini,” jawab Liam datar. “Aku hanya butuh dua buah pisang untuk mengisi perut, satu gelas cokelat hangat lalu setelah itu tidur. Aku tidak akan menonton. Semua tugasku sudah selesai dikerjakan.” Yudistira menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Kau serius tidak ingin ... makan malam?” “Ya.” Liam menganggukkan kepala kemudian berlalu menuju kulkas. Dua buah pisang diambil Liam, kemudian Liam mengambil gelas tinggi dan menuju tempat penyimpanan s**u bubuk miliknya. “Kalau memang Dad tidak bisa memasak, jangan dipaksa. Sekarang zaman sudah canggih, Dad bisa memesan via online.” Ya Tuhan, Yudistira melupakan yang satu itu. Di pikiran Yudistira, bahagimana caranya membuat makanan rumahan tanpa perlu Liam memakan makan luar. Tapi rupanya Yudistira malah dikomentari seperti ini. Luar biasa. “Kau bisa membuat susunya sendiri?” “Belum tahu, tapi aku akan belajar. Kalau terus-terusan mengandalkan Dad, aku tidak pernah maju. Setelah nanny-ku mengundurkan diri, bukankah Dad menuntutku harus mandiri? Aku kesepian dan tidak punya teman berbicara, tapi aku menahannya karena aku tidak ingin dianggap anak kecil yang suka merengek lagi.” “Nak, dengar.” Yudistira mendekati Liam kemudian berjongkok. “Kau anak kecil. Tidak ada yang melarang kau bertindak seperti anak kecil. Justru akan lebih bagus kau berperilaku layaknya anak seusiamu. Yang Dad mau, kau bisa terbiasa dengan keadaan seperti ini. Supaya kau tidak bergantung dengan siapa pun nantinya.” “Aku mengerti.” Ditatap Yudistira lama-lama wajah Liam. Yudistira lupa kapan terakhir dia melihat Liam menangis. Hal itu membuat Yudistira khawatir kalau Liam tidak dapat mengeluarkan emosinya. Otomatis dalam tumbuh kembang Liam ada yang bermasalah. “Dad yang akan membuatkanmu s**u. Tunggu saja di ruang tamu.” “Terima kasih.” Diletakkan Liam gelas tingginya ke atas meja bar, kemudian Liam merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Yudistira. Liam juga menepuk dan mengelus-elus punggung Yudistira. “Dad sudah bekerja keras. Aku menyayangi Dad.” ***  Yudistira mendekati salah satu brankar pasien anak yang sedang tertidur lelap, sementara wali anak tersebut, yang tak lain adalah ibunya sendiri, sedang sibuk membilas tubuh dan sekitaran wajah sang anak. Yudistira tersenyum, saat Yudistira akan bertanya, tiba-tiba anak itu bangun dan muntah. Ibunya langsung panik dan tentu saja Yudistira mulai bertindak. Dimulai dengan menanyakan diagnosa pada perawat yang berjaga kemudian memeriksa arsip riwayat yang didiagnosa anak tersebut. Setelah selesai, Yudistira langsung menoleh pada si ibu yang saat ini sudah menangis. “Sejak kapan dia menjadi selemas ini, Bu?” “Pandu sudah selemas ini sejak kemarin malam, Dok,” jawab sang ibu di sela tangisannya. “Pandu bilang perutnya sakit sekali.” “Lalu sejak kapan Pandu mulai muntah?” tanya Yudistira lagi, kali ini Yudistira mulai bergerak untuk melepaskan kancing pakaian pasien yang dikenakan Pandu. “Sejak beberapa jam tadi, Dokter.” “Apa Pandu buang air kecil dengan lancar?” “Tidak sejak kemarin,” jawab ibunya Pandu cepat. Yudistira langsung memeriksa bagian perut Pandu dengan menggunakan stetoskop, kemudian setelah itu Yudistira menekan-nekannya menggunakan tangan dan Pandu langsung meresponnya dengan ringisan. Beberapa saat Yudistira berpikir sambil mengulangi tekanannya, lalu memutuskan dengan mengatakan, “Ini syok septik. Diduga Peritonitis berdasarkan palpasi abdomen.” Yudistira menoleh pada perawat yang ada di sisinya, juga mengumumkan pada petugas jaga yang lain. “Pandu perlu dioperasi lagi. Ini mendesak!” Ketegangan langsung menguasai ruangan, terlebih ibunya Pandu semakin panik dan terisak-isak. “Pandu dalam bahaya,” jelas Yudistira secara rinci. “Sudah tiga hari sejak operasi, tapi dia masih demam dan mengalami sakit perut yang parah. Dia memuntahkan cairan empedu. Pandu juga mengalami dehidrasi dan belum buang air kecil sejak kemarin. Juga terdapat nyeri lepas tekan di seluruh bagian perut. Kita harus bertindak cepat. Siapkan ruang operasi!” *** Sebenarnya Sasi tidak pernah memasak sama sekali, tapi karena Liam meminta–juga faktor Sasi mengingat ayahnya yang duda–akhirnya Sasi mau memasakkan Liam. Sepertinya Liam betah mampir di rumah Sasi, buktinya ini kali kedua Liam ke sini. “Tante, tawaran menjadi nanny-ku masih berlaku,” kata Liam begitu Sasi selesai berkutat di dapur, meninggalkan kekacauan dan menghidangkan nasi goreng dengan tampilan aneh di depannya. “Tante tahu sendiri bagaimana susahnya mencari seseorang yang cocok dengan kita. Kalau sudah bertemu dengan orang itu, jangan dilepaskan begitu saja. Kalau bisa dapatkan, apa pun caranya. Begitu juga pemikiranku tentang Tante. Kita saling cocok satu sama lain.” “Hm, biar aku pikir-pikir dulu.” Sasi mengambil tempat duduk di seberang Liam, kemudian mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuk, seolah tengah berpikir keras. “Apa yang membuatmu merasa kita cocok? Padahal, ini baru pertemuan ketiga kita, Liam.” “Dari tingkah laku. Dari cara memandang, atau dari cara menilai.” Disuap Liam satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya, kemudian Liam meringis–nyaris muntah–lalu menutupinya dengan mengangguk-angguk. “Seperti yang kupikirkan. Tante cantik, menarik dan ... pintar masak,” puji Liam lirih di bagian akhir, karena itu adalah suatu kebohongan “Kamu terlalu bermulut manis. Saat besar nanti, kamu adalah tipe laki-laki yang dibenci kaum perempuan.” Lalu Sasi tertkekeh geli. “Tapi terima kasih karena sudah memujiku. Dengan ringan hati aku membenarkan itu semua. Hanya orang-orang buta saja yang tidak mempan dengan pesonaku.” Satu piring nasi goreng sudah ditandaskan Liam dengan penuh paksaan dan perjuangan. Setelah meminum air banyak-banyak, Liam berlari membawa piring kotornya ke bak cuci. “Tante, ini perlu tidak dicuci?” teriak Liam. “Tidak usah,” sahut Sasi, yang dalam nada bicaranya mengandung ketakjuban. “Sepertinya didikan daddy-mu berhasil. Buktinya kamu menjadi anak yang sepintar ini Liam.” “Terima kasih,” ucap Liam setelah kembali. “Tapi, Tante, ada beberapa yang kurang. Dad bilang malah lebih khawatir dengan aku yang seperti ini. Takutnya emosiku bermasalah dan juga aku kesulitan bergaul dengan anak-anak seusiaku.” “Bener juga. Eh, daddy kamu kerjanya apa, sih? Di kepalaku kalau tidak direktur, berarti CEO.” “Salah dua-duanya. Daddy seorang dokter bedah anak. Itu sebabnya daddy melarangku makan makanan yang sembarangan, tidur melewati batas waktu yang ditentukan atau bermain ponsel berlebihan.” “Oh, wow.” Ekspresi Sasi langsung takjub, tiba-tiba Sasi membayangkan kalau Sasi sakit dan yang merawatnya adalah ayahnya Liam, hot daddy, hot duda, juga hot dokter. Uh, pasti menyenangkan sekali. “Ehm, soal pekerjaan tadi, akan kupertimbangkan, ya. Yang kamu lakukan nanti adalah, membujuk daddy-mu supaya mau memperkerjakanku sebagai nanny.” “Serius?” tanya Liam menyelidik. “Serius,” pertegas Sasi. “Baiklah, Tante. Kata-kata kita hari ini sudah kurekam dalam memori otakku. Untuk meresmikannya, kita harus berjabat tangan.” Liam langsung mengulurkan tangan ke depan, yang kemudian disambut Sasi dengan cepat. “Tante tunggu kabar baik dariku. Daddy pasti akan membuat Tante menjadi nanny dalam waktu dekat ini.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD