Chapter 14

1346 Words
Menda keluar dari ruangan Profesor yaitu pembimbingnya. Setelah dia keluar di pintu itu, dengan cepat langkah kaki Menda berlari menuju ke arah luar gerbang kampusnya. Di sana dia mencari keberadaan Askan yang sedang bersandar di tembok. "Askan!" panggil Menda ketika dia sudah berada dekat di depan wajah Askan. Askan menoleh ke arah Menda, begitu melihat wajah Menda senyum cerah menghiasi wajahnya, dia tidak lagi bersandar di tembok itu. "Kamu sudah datang," ujar Askan. Menda mengangguk. "Maaf, aku membuatmu menunggu lama di sini, ada beberapa hal yang aku bicarakan dengan para penguji dan juga profesor, " ujar Menda. Askan mengangguk, dia membalas, "Aku mengerti apa yang yang terjadi, memang sangat sibuk untuk ujian besok." "Syukurlah," sahut Menda sambil mengusap d**a. Syukurlah jika Askan tidak marah karena dia meninggalkannya cukup lama karena urusan kuliahnya. Menda melirik ke arah sebelah kanannya. "Apakah kamu sudah makan?" tanya Menda. Askan menggelengkan kepalanya, kemudian dia menggenggam tangan kiri Menda. "Ayo kita cari restoran enak!" ajak Askan. "Kamu ingin makan apa hari ini?" tanya Askan pada Menda. Menda terlihat seperti berpikir. "Aku ingin makan makanan Indonesia saja, sudah lama aku nggak makan makanan Indonesia," jawab Menda. Rupanya dia berbohong, sebab beberapa hari yang lalu dia makan makanan Indonesia yaitu bakso. Mungkin karena ada orang Indonesia juga di depannya makanya Mendaline ingin sekali makan makanan Indonesia meskipun dia berbohong kepada Askan. "Oke. Ayo, kita makan makanan Indonesia," sahut Askan setuju. Askan dan Mendalime mengunjungi restoran Indonesia. * Pada saat mereka telah berada di restoran dan sedang dalam keadaan makan, Askan bertanya kepada Mendaline. "Apakah kau merindukanku?" tanya Askan. Mendaline mendadak berhenti makan, dia menatap ke arah wajah Askan lalu beberapa detik kemudian dia merasa seperti dia tersipu malu. Mendaline menundukkan lagi kepalanya ke arah mangkok soto. "Untuk apa merindukanmu? kamu bukan siapa-siapa," jawab Mendaline. Askan tersenyum miring. "Ya baiklah jika kamu ingin aku menjadi siapa-siapamu, aku berpikir kita harus menjadi lebih dekat lagi," ujar Askan. Mendaline mendengus. "Dasar," cibirnya. Askan tersenyum kecil, kemudian dia meneguk jus jeruk dan menatap wajah Mendaline. "Setelah kau ujian, ah ujian lagi kan untuk kedua kalinya, karena ini kan untuk mendapatkan gelar mastermu." "Aku akan benar-benar selesai, maksudku, target target bulan depan aku harus wisuda," balas Mendaline. Askan mengangguk mengerti. "Oke, aku menunggumu selesai menyelesaikan studi." Mendalime mendongak ke arah Askan. Dia mengerutkan alisnya. "Maksudmu menungguku menyelesaikan studi, itu maksudnya apa?" tanya Mendaline. Askan tersenyum miring. "Setelah kau selesai wisuda, aku ingin mengatakan sesuatu hal yang penting padamu," jawab Akan. Namun, Mendaline yang sudah kepalang penasaran dengan apa yang ingin Askan katakan padanya, dia berhenti makan dan memfokuskan pandangannya dan perhatiannya pada Askan. "Ayo jawab, kamu ingin mengatakan apa padaku?" desak Mendaline. Askan melanjutkan makan, dia berkata, "Belum tiba saatnya." Setelah mendengar balasan dari Askan, Mendaline seperti tidak terima jika Askan menyembunyikan sesuatu darinya. Jujur saja, Mendaline sangat penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Askan nanti. "Ayolah! jangan membuatku mati penasaran, kamu membuatku nggak akan fokus untuk ujian besok." Mendaline beralasan agar Askan segera memberitahu dia. Askan membalas, "Yang pastinya, aku akan memberitahu kamu kabar bagus, bukan kabar buruk." Mendaline memutar bola matanya. "Kau pasti bermain teka-teki denganku. Ini membuatku mati penasaran." Askan menggelengkan kepalanya. "Ini bukan saatnya." "Lalu kapan saat yang tepat?" tanya Mendaline. "Sudah kubilang, saat yang tepat adalah setelah kau selesai wisuda dan menyelesaikan studimu maka aku akan mengatakan hal yang baik tentang hubungan kita," Askan hampir saja keceplosan, dia buru-buru menutup mulutnya dan memfokuskan makan soto miliknya. Mendaline agak tercengang setelah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Askan. Sesuatu hal yang baik mengenai hubungan mereka. Apakah Akan berniat untuk bersama dengannya? Diam-diam Mendaline tersenyum dalam hati, dia mengeraskan kuat kepalan tangannya seperti merasa sangat bersemangat. Mendaline tersenyum sambil menunduk dia melanjutkan makan soto. Mungkin karena masing-masing tidak mau mengucapkan lebih terang-terangan mengenai perasaan mereka, jadilah mereka menikmati makanan mereka dengan diam sambil tersenyum tipis. Beberapa saat kemudian Mendaline mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menunggu kabar baik darimu." Askan mengangguk. "Ah ya, aku pikir kau akan meminta bantuanku untuk memberikan beberapa sumber untuk tesismu, aku menunggu ternyata kau tidak menghubungiku," ujar Akan. Mendaline menatap ke arah wajah Askan. "Bukankah kau bilang padaku bahwa di tengah laut tidak ada sinyal?" Askan tersedak makanannya. "Iya aku, aku lupa tapi setidaknya kau memberitahuku pada saat kami bertemu dua minggu lalu." Askan beralasan. Mendalime berkata, "Lagi pula nggak ada yang susah dalam tesisku, Profesor sangat baik." *Baguslah jika sangat baik padamu," sahut Askan. "Lalu bagaimana dengan temanmu," tanya Askan. "Maksudmu Grace?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. "Kalau bukan dia siapa lagi? setelah aku perhatikan dan bertemu Grace, dia yang lebih dekat denganmu nggak orang lain lebih yang berdekatan denganmu." Mendaline membenarkan. "Ya, memang benar. Dari dulu aku dan Grace memang sudah dekat dari kami masih pertama masuk kuliah." "Oh begitu, kupikir kalian sama-sama dari sekolah menengah," ujar Askan. Wajah Mendaline terlihat agak cemberut, tanpa sadar dia berkata, "Ya memang kami saling mengenal dari sekolah menengah." Askan menatap Mendaline. "Benarkah? Lalu kenapa kau mengatakan bahwa kau dan dia lebih dekat ah maksudku kau dan Grace saling mengenal pada saat kalian berada di ah! rupanya kau dan dia lebih dekat lagi pada saat kalian sama-sama duduk di bangkut kuliah." Mendaline mengangguk. "Seperti apa yang kau simpulkan." "Grace juga akan ujian besok bersama denganku," sambung Mendaline. Askan mengangguk singkat. "Besok pasti hari yang bagus, calon suaminya akan datang padanya nanti. Grace bercita-cita setelah dia lulus S2 dia akan pergi ke New York untuk mengikuti calon suaminya dan mereka akan menikah mungkin menikah di sana," ujar Mendaline. Askan melirik Mendaline. "Lalu bagaimana dengan planningmu?" tanyanya tiba-tiba ke arah Mendaline. Mendaline agak kaku setelah mendengar pertanyaan Askan, sia menelan sisa makanan yang ada dalam mulutnya bak pil pahit. Dari reaksi wajah yang ditunjukkan oleh Mendine terhadap pertanyaan Askan, sekarang Askan berpendapat bahwa mungkin saja dia salah bicara atau mungkin saja pertanyaan yang diajukan kepada Mendaline itu menyinggung perasaannya. " Aku minta maaf jika aku menyinggung perasaanmu, aku tidak bermaksud untuk bertanya yang tidak-tidak," ujar Askan. Mendaline tersenyum. "Untuk apa kau minta maaf? tidak perlu." "Ah, kau ingin bertanya mengenai planning-ku?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. "Itu tergantung apa yang akan kau katakan padaku bulan depan," ujar Mendaline. Askan menatap wajah Mendaline. "Jadi …?" Askan menggantung ucapannya. "Tergantung kinerjamu, apa yang akan kau katakan padaku bulan depan, maka planning ku akan dimulai saat itu," sambung Mendaline. "Oke, aku akan mencatat ini dengan baik." Askan menyahut. * Setelah selesai makan, Askan dan Mendaline menghabiskan waktu mereka bersama-sama menjelajahi kota London. "Aku tidak menyangka bahwa aku akan sangat merindukan kota London setelah berlayar," ujar Askan. Mendaline terkekeh. "Kamu merindukan kota ini, itu murni hanya kota?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. Ya benar, kurasa bukan hanya kotanya yang aku rindukan tetapi orangnya juga, aku rindukan," jawab Askan sambil melirik ke arah wajah Mendaline. Wajah Mendaline terasa seperti memanas, dia tersipu malu. "Siapa yang kau rindukan?" tanya Mendaline. "Hmm … mungkin itu adalah orang yang berada di sampingku," jawab Askan. "Di mana orang itu? aku tidak melihat orang itu." Mendaline pura-pura tidak tahu apa yang dimaksud oleh Askan. Askan berkata, "Mungkin saya dia adalah makhluk gaib yang tidak terlihat jawab. "Hei! aku bukan makhluk gaib! aku manusia!" Mendaline keceplosan. "Nah kamu mengakui bahwa kau adalah manusia, berarti yang aku rindukan adalah kamu," ujar Askan. Mendaline buru-buru menutup wajahnya dia merasa benar-benar tersipu malu dengan apa yang dikatakan oleh askan. "Gombal," ujar Mendaline. "Oh, jadi setelah kami berkenalan yang sudah kali ini, kamu mengatakan kepadaku menggombalimu? Apakah itu yang kamu pikirkan tentang aku?" Askan seperti menekankan pertanyaan bahwa dia agak marah hal ini membuat Mendaline agak kaget. Mungkin saja perkataannya itu salah dan membuatnya tersinggung, pikir Mendaline. Mendaline buru-buru memegang tangan Akan, lalu berkata, "Maafkan aku, aku aku mengatakan itu hanya spontan jangan diambil hati." Melihat wajah Menda yang khawatir kalau Menda salah paham padanya, Askan terkekeh. "Untuk apa marah padamu. Seharusnya memang itu kata-kata yang memang diucapkan pada gadis karena baru bertemu," balas Askan. Mendaline menggelengkan kepalanya. "Tentu saja kamu bukan seorang penggombal." "Lalu kau percaya padaku?" tanya Askan. "Tergantung dari apa yang akan katakan pada satu bulan lagi," jawab Menda. Askan mengangguk mengerti. "Mari kita tunggu bulan depan," ujar Askan. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD