Chapter 15

1477 Words
"Kau akan pergi menemani pacarmu ujian tesis?" tanya Bintang pada Askan. "Belum menjadi pacar," balas Askan. "Lalu status kalian apa sekarang?" tanya Bintang. Askan diam selama beberapa detik saat sedang mengenakan setelah formal. Pertanyaan Bintang menjadi duri di dalam dadanya. Apa status antara dia dan Mendaline? Teman? Sepertinya juga bukan. Pacar? Juga bukan. "Nah itu, hubungan kalian nggak jelas dan ngambang," celetuk Bintang. Askan melirik ke arah Bintang. "Kami memang belum terikat hubungan apapun, tapi menurutku hubungan kami pasti akan jelas nggak lama lagi," ujar Askan. Bintang yang sedang duduk di ranjang lain, melihat ke arah Askan. "Ingat, kami hanya punya waktu satu bulan lagi di sini, setelah itu kami akan meninggalkan Inggris dan kembali ke Indonesia, apalagi kami akan segera naik pangkat setelah kembali dari latihan ini. Kamu harus menentukan keputusan agar hubungan kalian jelas," ujar Bintang mengingatkan Askan. Askan mengangguk. "Aku mengerti," balas Askan setelah mengangguk. "Oh iya, sampaikan salam dan ucapan selamat dariku padanya atas ujian tesisnya hari ini," ujar Bintang. Askan mengangguk. "Akan aku sampaikan." * Askan dan seorang pria menunggu di sebuah depan pintu ujian. Pria itu melirik ke arah Askan. Dialog dianggap dalam bahasa Inggris. "Kamu adalah pacar dari Mendaline?" tanya pria itu. Askan melirik ke arah pria itu. "Kamu?" balas Askan bertanya. "Ah, aku Steve, pacar Grace," jawab Steve. Askan menjabat tangan dari Steve. "Askan," ujar Askan memperkenalkan diri. "Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Askan," ujar Steve. Askan mengangguk. "Senang berkenalan dengan Anda, Tuan …?" Askan agak mengerutkan keningnya. "Brown, Steve Brown," ujar Steve. Askan mengangguk. "Tuan Brown." "Ya," sahut Steve. "Tidak disangka yah, Grace dan Mendaline ujian di hari yang sama. Ini benar-benar suatu kebetulan," ujar Steve. Askan mengangguk. "Ya," balas Askan singkat. "Awalnya setelah Grace wisuda gelar sarjananya, kami akan segera ke New York, namun ternyata dia bersi keras untuk tinggal di London selama satu setengah tahun ini untuk melanjutkan studinya bersama Mendaline. Aku cukup terkejut, tapi aku mengerti mengenai hubungan pertemanan dari mereka berdua yang sudah seperti saudara. Aku hanya berharap setelah Mendaline bertemu denganmu, dia akan baik-baik saja tanpa perlu lagi terikat masalah dengan ayah tirinya," ujar Steve. Askan memandangi wajah Steve. Dugaan Askan untuk saat ini, sepertinya Steve juga tahu mengenai perlakuan yang diterima oleh Mendaline dari ayah tirinya. "Meskipun aku tidak terlalu mengenali Mendaline sedekat Grace yang kenal dengannya, tetapi aku cukup mengerti mengenai rasa sedih dan malu yang diderita olehnya-" Steve berhenti bicara, tiba-tiba dia melirik ke arah Askan. Steve merasa bahwa dia telah keceplosan dan membocorkan mengenai keadaan yang dihadapi oleh Mendaline. Steve melirik ke arah wajah Askan, Askan sendiri hanya menatap Steve dalam diam. "Ah, Anda bekerja di sini?" tanya Steve mengalihkan pembicaraan. "Tidak, namun aku sedang melakukan perjalanan dinas di sini untuk beberapa waktu," jawab Askan. Steve mengangguk mengerti. Dia agak menunduk dan bergumam sesuatu. "Baguslah jika tidak bekerja di sini, mungkin saja bisa membawanya pergi jauh." Meskipun apa yang diucapkan oleh Steve pelan, namun Askan dapat mengerti. Askan melirik pintu ujian. Ceklek! Pintu terbuka. Grace dan Mendaline keluar dari ruangan dan tersenyum ke arah Askan dan Steve. "Sudah selesai?" tanya Steve ke arah Grace. Grace mengangguk. "Ya." Askan mendekat ke arah Mendaline dan bertanya, "Bagaimana?" "Hanya perlu ujian satu kali lagi di minggu depan, setelah itu kami akan mendaftar wisuda periode bulan ini," jawab Mendaline. Askan tersenyum senang. * "Cukup mudah, aku berpikir mungkin akan seseram seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang mengikuti ujian ini sebelumnya," ujar Grace. Mendaline menyeruput jus jeruk. "Setiap orang berbeda karakter mereka. Karakter profesor dan para penguji kami dan mereka berbeda, jangan kamu samakan," balas Mendaline. Grace mengangguk. "Ya, itu benar." "Ah, bagaimana jika besok kami akan rayakan untuk hari keberhasilan ujian kalian hari ini?" usul Steve. Mendaline dan Grace melirik ke arah Steve. "Aku setuju. Mari kita harus rayakan," timpal Grace. Mendaline melirik ke arah Askan, dia meminta pendapat dari Askan. "Bagaimana jika hari ini saja?" Tiga pasang mata melirik ke arah Askan. "Hari ini adalah hari terakhir jatah libur yang diberi oleh atasanku," ujar Askan. "Ah! itu! aku telah lupa mengenai Tuan Pahlawan!" Grace menepuk dahinya. Grace melirik ke arah Steve. "Sayang, Tuan Pahlawan ini adalah-" "Lebih cepat kami pergi merayakan hari ini, lebih baik," potong Askan terhadap ucapan dari Grace. Grace melirik ke arah Askan, sejenak dia tahu bahwa Askan tidak ingin mengumbar mengenai pekerjaannya. Kemudian, Grace melirik ke arah Steve dan berkata, "Sayang, bagaimana kalau hari ini saja? besok kami akan memiliki waktu untuk berdua saja?" "Ini adalah usulan terbaik," ujar Askan sambil melirik ke arah Mendaline. Mendaline mengangguk. "Aku setuju." Steve mengangguk. "Baiklah, kita rayakan hari ini." * Askan berhenti berjalan saat menatap pintu bar diskotik. Sementara itu, Grace dan Steve telah lebih dulu memasuki pintu kerlab-kerlib itu sambil bergandengan tangan. Mendaline yang hendak memasuki pintu bar diskotik itu berhenti, dia melirik ke arah Askan yang berdiri diam di depan pintu. "Ada apa?" tanya Mendaline. Askan menatap wajah Mendaline, dia menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa, ayo masuk!" Mendaline mengangguk, dia masuk ke bar diskotik itu. Sementara itu Askan berkata pelan. "Semoga saja Ibu dan Ayah nggak mengetahui aku masuk ke tempat ini, kalau nggak, pantatku pasti akan ditendang Ayah, lalu kepalaku pasti akan diketok Ibu dengan sendok kuah." Askan berjalan memasuki bar diskotik. Suasana di dalam bar diskotik sangat ramai, di mana lampu warna-warni berkedip, musik diskotik yang membuat telinga hampir tuli, goyangan dari para pengunjung. Namun, Askan dan yang lainnya tidak menuju ke tempat yang ramai itu, mereka memasuki lounge tersendiri dan duduk di ruangan itu. Pelayan membawakan beberapa minuman keras di meja yang diduduki oleh Askan dan tiga orang lainnya. Steve membuka botol dan menuangkan minuman botol itu ke dalam gelas kecil. Kemudian, dia memberikan gelas itu ke arah Askan. "Silakan." Askan berkata, "Saya tidak minum alkohol." Steve melongo memandangi wajah Askan. Beberapa saat kemudian dia tertawa hampir terbahak-bahak. "Aku tidak percaya, di dunia sekarang ini ada laki-laki yang tidak minum alkohol!" Setelah mengatakan kalimat itu, Steve tertawa lagi. Mendaline melirik ke arah Askan, dia agak terkejut setelah mendengar bahwa Askan tidak minum. Askan berkata, "Karena pekerjaanku yang mengharuskan aku tetap sadar." "Ah, seperti itu. Maaf, aku mungkin agak keterlaluan saat tertawa tadi," ujar Steve. Askan mengangguk mengerti. Grace berusaha untuk meredakan ucapan yang agak canggung. "Wah! Tuan Pahlawan benar-benar hebat! sepertinya-" "Kita harus mengganti tempat," potong Mendaline terhadap ucapan Grace. Grace mengangguk membenarkan ucapan dari Mendaline. "Ya, benar. Tuan-tuan, mari kami mengganti tempat!" Grace menarik tangan pacarnya dan dia buru-buru mengedipkan matanya ke arah Mendaline. Mendaline melirik ke arah Askan. Askan berdiri dari sofa, dia menggenggam tangan Mendaline yang masih duduk di sofa, dua pasangan itu keluar dari pintu bar diskotik setelah sepuluh menit memasuki tempat itu. Steve tidak keberatan, sebab sang pacar juga merasa bahwa mereka lebih membutuhkan tempat lain. Jadilah Steve yang sedang menyetir itu berkata kepala Grace. "Kami akan ke mana?" Grace berbalik dan melihat Mendaline dan Askan. "Kami telah dari restoran sebelum menuju ke arah bar diskotik tadi, jadi aku menyarankan kami ke kafe yang lebih terbuka dengan suasana outdoor saja," ujar Mendaline. Grace melirik ke arah Askan. Askan mengangguk. Setelah mendapat jawaban dua orang di belakang, Grace melirik ke arah pacarnya. "Sayang, aku setuju dengan mereka." Steve yang sedang menyetir itu mengangguk ikut setuju. "Baik." * Mendaline menatap agak cemberut ke arah Askan. "Sudah aku katakan kan, kamu nggak perlu ikut turun di depan gerbang rumahku," ujar Mendaline. "Pilihan dan keinginanku," balas Askan. "Lalu setelah ini, bagaimana caranya kamu kembali ke asrama?" tanya Grace. "Teman yang mengantar," jawab Askan. "Tapi kau harus menelpon temanmu untuk menjemputmu di sini, aku akan menunggu di sini hingga temanmu datang," ujar Mendaline. "Masuk ke dalam rumah, aku akan segera kembali!" pinta Askan. Mendaline menggelengkan kepalanya. "Nggak mau." "Jangan keras kepala," ujar Askan. "Oh, jadi sekarang kamu tahu kan, aku adalah perempuan keras kepala, sekarang menyesal mengenal aku?" tanya Mendaline. "Cuaca malam nggak baik untuk kesehatan. Kamu berdiri di sini malam seperti ini, apakah itu baik untuk kesehatanmu? jangan sampai sakit, minggu depan adalah ujian terakhir, kamu harus sehat karena minggu depan hingga empat minggu kemudian aku nggak berada di sini, sebab besok aku dan yang lainnya akan berlayar dan latihan lagi pulau lain," ujar Askan. Setelah mendengar apa yang Askan katakan, wajah Mendaline yang tadinya terlihat asam kini pernah hangat. Rupanya Askan mengkhawatirkan kesehatannya. Mata Mendaline agak memerah. Askan mengusap rambut Mendaline dan berkata, "Aku nggak melarang kamu untuk pergi ke mana saja, makan apa atau minum apa, tapi kamu harus tahu, menjaga kesehatan tubuh itu penting meskipun kamu butuh hiburan. Carilah ke tempat yang berbeda dan damai. Kapan-kapan setelah aku selesai latihan dan kamu wisuda, mari kita quality time, ok?" Mendaline mengangguk menuruti. "Ok." "Sekarang masuk ke rumah!" pinta Askan. Mendaline mengangguk. Sebelum dia masuk gerbang, Mendaline memberanikan dirinya berbalik ke arah Askan. Cup! Sebuah kecupan di pipi kanan Askan. "Aku menunggumu di hari wisudaku!" setelah mengatakan ini, Mendaline buru-buru berlari masuk ke dalam rumah. Askan tersenyum sambil menyentuh bekas kecupan dari Mendaline. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD