Chapter 21

1073 Words
"Calon suamiku!" Mendaline memotong ucapan Askan. Dia memperkenalkan Askan secara terang-terangan kepada sang ibu bahwa Askan adalah calon suaminya. Chaterine terbelalak setelah mendengar ucapan anak perempuannya. "Apa?!" Askan melirik ke arah Mendaline, hatinya terasa hangat dan bangga ketika dia sendiri mendengar ucapan Mendaline yang jelas. Askan berganti arah lirikannya ke arah Chaterine. "Nyonya Edward, maaf jika saya telah lancang, tetapi saya meminta restu Anda untuk menikahi putri Anda, Mendaline Septian Nata untuk menjadi istri saya." Belum reda rasa tercengang Chaterine, kini dia harus mendengar sendiri lamaran yang diajukan oleh pria yang bahkan belum pernah ditemui olehnya. "Maaf, maksud Anda, Anda sekarang sedang meminta izin saya untuk menikahi putri saya?" tanya Chaterine. Askan mengangguk. "Kurang lebih seperti itu." Chaterine menelan ludahnya, lalu dia melirik ke arah sang anak perempuan. Apa yang dikatakan oleh sang suami kini terulang lagi di benaknya. Anak perempuannya akan lari dengan pria lain. "Menda, nggak seharusnya kamu melakukan ini jika ingin keluar dari rumah, Nak. Kamu nggak perlu pergi dengan laki-laki, mari kita bicarakan dengan baik-baik," ujar Chaterine. Mendaline menggelengkan kepala. "Maaf, Ma. Tapi Menda nggak ingin lagi mau kembali ke rumah itu, mulai sekarang Menda akan ikut Askan ke Indonesia, di sana Menda juga akan menemui saudara Papa," balas Mendaline. Chaterine menggelengkan kepalanya. "Jangan sayang, mari kita bicarakan ini baik-baik." "Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," balas Mendaline. Merasa bahwa sang putri sangat keras kepala dan sepertinya tidak bisa diubah lagi pendiriannya. Chaterine melirik ke arah Askan dan berkata, "Anda tidak bisa seperti ini menikahi anak perempuan saya, saya tidak mengizinkan. Pernikahan ini tidak akan pernah sah." "Jangan khawatir, pernikahan Menda nggak perlu ada saksi dari Mama maupun yang lainnya," balas Mendaline. "Apa maksudmu?" tanya Chaterine. Semua mata memandang ke arah Mendaline. Mendaline menatap serius ke arah wajah sang ibu lalu berkata, "Menda akan menikah dengan Askan setelah akta mualaf Menda dikeluarkan oleh pejabat terkait." "Apa?!" Chaterine pucat pasi. "Jangan, Nak!" Chaterine langsung menolak. Beberapa orang yang hadir di ruangan itu terlihat terkejut. Termasuk Askan. "Menda," ucap Askan ke arah Mendaline. "Askan, biarkan kita bicara sebentar. Malam ini aku hanya butuh bicara denganmu, bukan dengan orang lain," ujar Mendaline. Askan mengangguk setuju. * "Kamu benar-benar ingin mengikutiku?" tanya Askan. Mendaline menganggukkan kepalanya. "Ya." "Apakah kamu terpaksa? mari kita bicarakan baik-baik, aku nggak ingin kamu terbebani," ujar Askan. "Aku sama sekali nggak terbebani. Karena pada awal tinggal di sini, kepercayaanku telah hilang. Mari kita buka awal lembaran baru, aku ingin mempercayai satu saja Tuhan yang selama ini Grace bilang. Tuhan siapapun itu, aku ingin. Mungkin saat ini aku belum terlalu mengerti, namun lambat lain jika kita jalani, mungkin saja aku bisa lebih memahami Tuhanmu. Toh sama saja, dari kecil aku jarang ke tempat ibadah. Apalagi setelah Papaku meninggal, Mama tetap pada kepercayaannya mempercayai kepercayaan nenek moyang. Aku nggak terlalu banyak diajarkan ilmu agama apapun. Mama menikah dengan laki-laki b******k itu, dia juga bebas," ujar Mendaline. Askan memandangi wajah Mendaline agak lama. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh Mendaline. "Baik, mari buka awal lembaran baru. Aku akan berusaha agar jalan yang kita tempuh baik-baik saja. Aku tahu banyak rintangan yang akan datang menghampiri hubungan kita, tapi asalkan kita kuat menghadapi rintangan itu, maka hubungan kita akan baik-baik saja." Mendaline mengangguk sebagai tanda setuju. Askan menggenggam hangat tangan Mendaline lalu dia berkata, "Kita akan segera ke Indonesia setelah dari sini, kami akan ditarik kembali ke satuan. Di sana, aku akan memperkenalkan kamu pada orangtuaku." Mendengar ucapan Askan yang terdengar serius dan tidak main-main, Mendaline memantapkan hatinya agar mengikuti Askan. "Baik, aku setuju denganmu. Lagipula kita telah dewasa, kita berhak memutuskan masa depan kita dan dengan siapa kita akan menikah, dengan siapa kita akan menghabiskan sisa hidup kita," ujar Mendaline. Askan mengangguk. "Tapi bagaimana jika Mama kamu bersi keras nggak ingin kita bersama-sama?" tanya Askan. "Ketika dia menikah dengan pria itu, apakah dia meminta pendapatku? apakah dia menanyakan padaku bagaimana perasaanku terhadap orang itu? jawabannya adalah nggak sama sekali," jawab Mendaline. Askan menggenggam tangan Mendaline. "Menda, meskipun kamu terlihat nggak begitu menyukai Mama kamu, tapi kamu harus ingat, beliau ada Mama kandung kamu." Mendaline mengangguk. "Ya, aku mengerti. Aku nggak akan kurang ajar padanya," balas Mendaline. Setelah dua muda-mudi itu setuju, mereka kembali ke arah ruang tamu. Di ruangan itu, Chaterine berdiri dari sofa setelah melihat Askan dan Mendaline kembali masuk. "Menda," panggil Chaterine. Mendaline dan Askan saling berpegangan tangan, hal ini dilihat oleh semua orang. Mereka duduk di sofa. Melihat Askan dan Mendaline duduk, Chaterine pun ikut duduk di sofa. Chaterine terlihat sangat gelisah, hal itu terbukti dari dua tangannya yang terlihat seperti saling terjerat membentuk kepalan. "Mama, Menda telah dewasa, bisakah Menda memutuskan masa depan Menda sendiri?" tanya Mendaline. "Sayang, mari kita pulang lalu bicarakan baik-baik dengan Papamu," balas Chaterine masih membujuk sang anak. Namun, Mendaline menggelengkan kepalanya. "Ma, tolong jawab Menda, apakah Mama setuju dengan keputusan Menda?" tanya Mendaline. Chaterine diam, dia tak ingin mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya. Melihat sang ibu tidak memberi jawaban, Mendaline melanjutkan kalimatnya. "Meskipun Mama nggak setuju atau nggak menerima, Menda tetap pada pendirian dan keputusan Menda. Menda akan ikut Askan ke Indonesia, di sana ada keluarga Papa, Menda berharap keluarga Papa akan setuju dengan keputusan Menda," ujar Mendaline. "Apa kamu nggak memikirkan perasaan Mama, sayang? jangan tinggalin Mama, Mama hanya punya kamu, nggak ada orang lain lagi," ujar Chaterine. "Ma, sekarang Menda bertanya, apa Mama pernah sedikit saja memikirkan perasaan Menda saat Mama memutuskan untuk menikah lagi? saat kita pindah dari Singkawang ke London? saat aku tiap hari diperlakukan buruk oleh suami Mama itu? suami yang katanya sangat Mama cintai," ujar Mendaline. Chaterine diam membisu, dia tidak menyangka sang anak perempuan akan menang akan bertanya pertanyaan ini. Dia tak bisa menjawab, sebab, jika dia menjawab maka jawabannya adalah tidak pernah meminta pendapat sang anak. "Sayang, apa karena ini kamu marah sama Mama dan Papa?" tanya Chaterine berusaha mengalihkan pembicaraan. Mendaline melirik ke arah Askan. "Sepertinya apa yang akan kita katakan pada mamaku telah dipahami dengan baik. Askan, mari kita akhiri pertemuan ini, aku akan tetap berada di sini dan nggak akan keluar dari sini karena aku takut kaamananku terancam oleh orang lain. Aku harus tetap dalam jangkauan wilayah teritori Indonesia," ujar Mendaline. Chaterine ingin sekali menangis, dia memeluk Mendaline. Mendaline tidak menghindari pelukan sang ibu, dia justru membalas erat pelukan dari sang ibu. Entah telah berapa lama terakhir kali dia dipeluk oleh sang ibu, mungkin terakhir kali sang ibu memeluknya pada saat hari kematian sang ayah. Sekarang mungkin adalah hari perpisahannya bersama sang ibu. *

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD