Di dalam kamarnya yang sedikit gelap seperti biasanya, Dave—si pemilik b****g seksi itu duduk di depan meja belajar. Menatap bingkai foto yang selalu ia jaga dan rawat seperti anak sendiri.
“Apa kabar?” gumamnya seraya mengelus pigura foto itu.
Dave tersenyum masam, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Setiap pagi saat bangun tidur, hal yang Dave lakukan adalah duduk di depan meja belajar dan bertanya kabar seseorang yang berada di dalam bingkai foto. Meski tahu tidak akan mendapat jawaban, Dave tetap melakukannya.
Selesai dengan ritual mandinya, Dave membuka lemari mencari pakaian yang akan ia kenakan ke kampus hari ini. Seperti biasa, laki-laki itu selalu memakai jeans yang begitu pas, hingga membentuk b****g seksi yang ia miliki itu.
Dave keluar dari kamar, duduk di meja makan dan menyiapkan sarapannya sendiri. Di apartemen ini, Dave hanya tinggal bersama Tuan--kucing berbulu cokelat kesayangannya.
“Morning, Tuan,” sapa Dave pada kucingnya itu.
Beberapa orang di kampus, menganggap Dave itu sosok yang dingin dan tidak ramah, tapi jika bersama Denas, Dave berubah menjadi sosok ayah yang merawat putranya.
“Nanti pulang kampus aku belikan snack, ya,” ujarnya, meletakkan Tuan di pangkuannya.
“Do you miss her like i miss her, Tuan?”
Tuan mengeong menyahut pertanyaan Dave, membuat laki-laki itu tersenyum tipis. “Aku tau kau begitu merindukannya.”
Tiba-tiba alarm ponsel Dave berdering. Peringatan ulang tahun. Dengan masih mengelus bulu-bulu halus Tuan, Dave bergumam. “Selamat ulang tahun.”
***
Sudah sepuluh menit yang lalu Dela mengirim pesan kepada Dave---teman satu kelompoknya itu, si pemilik b****g seksi, tapi belum ada jawaban sama sekali.
Dela menghela napasnya, dia sudah meminjam buku dari perpustakaan tadi sebagai bahan referensi untuk makalah mereka, dan berencana akan mengerjakannya hari ini. Dela membuka room chat grup kelasnya, mencari kontak Jaka. Biasanya di mana Jaka berada, di sana pasti ada Dave.
Delavv
Jaka, lagi sama Dave?
Tidak sampai tiga menit, Jaka sudah membalas pesannya.
Jaka Sastra
Iya, lagi di gedung fisika nih
Delavv
Boleh suruh Dave buka ponselnya gak? Atau suruh Dave kemari, gue nunggu di dekat perpustakaan.
Jaka hanya membalas oke. Perempuan itu menyimpan ponselnya ke dalam tas, membuka buku Organisasi Kesehatan yang baru saja dia pinjam.
Di ujung koridor sana, tampak sosok Jaka bersama Dave yang terlihat malas-malasan berjalan menuju Dela. Dela menggelengkan kepalanya melihat itu, kenapa dia harus satu kelompok dengan laki-laki seperti Dave itu coba.
“Hai, Del,” sapa Jaka yang duduk di depan Dela. Dela tersenyum.
“Ngerjain tugas Orkes, Del?”
Dela mengangguk. “Iya, gue ada kegiatan entar sore, jadi harus ngerjain sekarang.” Dela beralih menatap Dave, “ Nggak papa, kan, Dave?”
“Kita satu kelompok?” tanya Dave dengan tampang tanpa dosanya itu.
Dela menghela napasnya, kemudian tersenyum. “Iya, Dave. Mohon kerja samanya, ya. Gue galak kalau uda tugas kelompok.”
“Mata kuliah apa?”
Jaka menggelengkan kepalanya. “Del, lo harus sabar ya satu kelompok sama ini orang. Sikap bodoh amatnya luar biasa soalnya.”
“Dia niat kuliah nggak, sih, Jak?”
“Niat kok,” jawab Dave yang mendengar pertanyaan Dela barusan.
“Syukur, deh.” Dela menjawab seadanya kemudian membuka bukunya.
“Nama lo siapa?” tanya Dave membuat Dela dan Jaka tercengang.
***
Seperti yang Dela katakan tadi, kalau sore ini dia memiliki kegiatan, yaitu membahas shift untuk pekerjaan paruh waktu yang akan ia lakukan.
Tadinya, Dela sudah meminta Revo untuk menemaninya, tapi pacarnya itu mengatakan kalau dia sedang sibuk latihan basket dan tidak bisa menemani Dela.
Begitu sampai, perempuan itu mendorong pintu restaurant. Kemarin, saat interview, warna desain dari restaurant ini bewarna cokelat, namun sekarang sudah berubah menjadi abu-abu. Sepertinya mereka memiliki konsep, mengubah warna restaurant dalam kurun waktu tertentu. Sekali lagi, restaurant ini cukup unik.
Setelah puas melihat desain dari tempatnya bekerja, Dela langsung masuk dan berjalan menuju meja kasir.
“Permisi,” katanya dengan sopan.
Perempuan yang berada di balik monitor itu berdiri, kemudian tersenyum. “mau pesan apa, Mbak?”
“Saya mau ketemu Pak David untuk bahas shift kerja, Mbak.”
“Oh, Mbak Dela, ya?” Perempuan itu menunjuk ke arah meja yang ada di pojokan. “Di sana Pak David, Mbak.”
Dela mengucapkan terima kasih, dan berjalan menuju meja yang ditunjuk perempuan tadi.
Tidak sampai 15 menit, Dela sudah selesai dengan urusannya. Kemungkinan tiga hari lagi, dia bisa mulai bekerja. Dela mengambil shift sore sampai malam untuk bekerja, karena paginya dia disibukan dengan kuliah.
Jam sudah menunjukan pukul enam sore, Dela mengedarkan pandangannya dan terlihat jalanan yang sepi. Hanya dia sendiri yang berjalan di sana. Bisa dipastikan dia pasti akan mendapat ceramah seribu ayat saat sampai di rumah dijam segini. Perempuan itu mengambil ponsel dari totebag yang ia bawa, berniat menghubungi Revo agar menjemputnya.
Belum sempat Dela mengetik pesan, terlihat dua laki-laki yang mengandarai sepeda motor mendekat ke arahnya dan dalam hitungan detik totebag yang menggantung di pundak kanannya ditarik secara paksa.
“Eh, apaan ini? Gue nggak punya barang berharga di dalam sini, jangan diambil.” Dela berusaha menarik tas itu dari tangan sang perampok.
“Jangan diambil woy, gue nggak punya uang beli totebag baru,” katanya lagi masih melakukan tarik menarik dengan perampok.
“Bukan urusan gue, lepasin.” Sang perampok menarik paksa totebag itu sampai membuat Dela terjatuh ke aspal.
Dela menghela napasnya melihat dua orang perampok itu pergi dari hadapannya, ia menegakan tubuhnya, melihat luka di siku dan telapak tangan. Perempuan itu sedikit meringis saat melihat darah yang lumayan banyak keluar dari lukanya itu.
Perempuan itu berdiri dan duduk di pinggir jalanan. Membuka ponsel berniat menghubungi Revo yang sempat tertunda tadi, tapi yang ia dapat malah jawaban kalau saat ini Revo sedang menemani Angela berbelanja dan tak bisa membantunya.
‘Kenapa hidup lo harus sesial ini Dela?’
“Lo teman sekelas gue kan?” Dela mendongakkan wajahnya, melihat Dave yang duduk di atas sepeda motor miliknya.
“Dave? Iya, gue teman sekelas lo.”
“Ngapain lo lesehan di pinggir jalan gini? Ngamen?”
Ingin rasanya Dela mencabik mulut Dave itu, apa dia tidak bisa lihat luka di siku tangan Dela?
“Gue habis dirampok.”
Dave melihat ke arah siku tangan Dela, kemudian beralih melihat kakinya yang juga berdarah dan terakhir bajunya yang terlihat berantakan.
“Di depan sana ada apotek, obati luka lo sebelum infeksi.”
“Lo mau anterin gue? Kaki gue susah jalan.”
Dave tampak berpikir. “Jalan sendiri aja, ya. Gue buru-buru, mau tidur.”
***
Dave tetap mengantar bahkan menemani Dela ke apotek, karena kasihan melihat perempuan itu yang berdiri saja dia susah. Ditambah jalanan di sana memang sering sepi, Dave saja salut melihat keberanian yang dimiliki teman sekelas yang dia lupa namanya itu.
“Lo tunggu di sini, ya. Gue mau minta pegawai apoteknya obatin luka gue.”
Dave mengangguk, menyenderkan tubuhnya di kursi yang tersedia kemudian menutup matanya. Dia sedikit merasa menyesal saat melihat Dela di pinggir jalan tadi. Andai saja dia tidak mendatangi perempuan itu, bisa dipastikan saat ini dia sudah tertidur dengan nyaman di kasur empuknya itu.
Dela meringis menahan sakit di sikunya saat pegawai apotek membersihkan lukanya. Dia menoleh ke arah ponsel yang terletak di atas meja, nama Revo terlihat di sana. Dela mendesah malas, dia sudah cukup kesal melihat Revo. Andai saja laki-laki itu bisa mengantarnya, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Untungnya Tuhan masih begitu baik padanya, dan mengirimkan Dave—si laki-laki pemalas nan seksi. Ah, rasanya Dela hanya ingat dengan keseksian yang dimiliki Dave saja, jika sudah membahas tentang laki-laki itu.
“Halo,” jawab Dela saat lukanya sudah selesai diobati.
“Ada apa?”
“Aku dirampok, tanganku luka.”
“Lo di mana sekarang?”
“Di apotek dekat restaurant yang pernah aku bilang ke kamu.”
“Gue ke sana sebentar lagi.”
“Oke.”
Dela kembali menemui Dave yang terlihat sudah tertidur di kursi ruang tunggu. Perempuan itu memperhatikan setiap sudut wajah Dave dan seki pula. Tampan. Tapi sayangnya mageran.
Bicara tentang Dave, Dela baru ingat kalau dia pernah bertemu dengan Dave di darah rumahnya, dan sekarang di sini. Sebenarnya rumah Dave itu di mana?
Dave membuka mata, begitu merasa ada yang memperhatikannya. Matanya bertabrakan dengan mata Dela yang masih menatapnya.
“Ngapain lo ngelihatin gue?” tanya Dave tiba-tiba membuat Dela tersentak.
“Hidung lo mancung,” jawab Dela asal kemudian mengalihkan wajahnya ke arah kanan dan melihat Revo yang berlari dengan tergesa menujunya.
“Lo nggak papa? Mana yang luka?” tanya Revo, raut wajahnya begitu khawatir. Dia menoleh ke arah kiri Dela, menatap sinis ke arah Dave.
“Lo apain cewek gue anjir? Lo pasti perampoknya kan?”
Dave beralih menatap Dela. “Pacar lo? Kok mau sama dia? Bego begini. Mana ada perampok yang anterin korban buat obatin lukanya.” Dave berdiri, berjalan meninggalkan Dela dan Revo. Berurusan dengan orang seperti Revo, hanya membuang tenaga bagi Dave.
“Makasih, Dave,” jerit Dela yang mendapat acungan jempol dari Dave.
Dela menatap tak suka ke arah Revo, “Kamu apaan sih, dia itu yang nolongin aku. Kalau nggak ada mungkin aku masih duduk lesahan di pinggir jalan. Aku punya pacar, tapi pacarku lebih perduli sama sahabatnya yang mungkin selingkuhannya.”