Dela menulis semua judul dan sub judul yang akan menjadi bahan diskusi dengan kelompoknya nanti. Ia sedikit was-was kalau mendapat partner yang tidak bisa diajak kerja bekerja sama.
Prinsip Dela, nilai bersama maka kerja juga harus bersama. Mungkin teman-teman satu kelasnya di semester satu sampai empat kemarin sudah mengenal bagaimana watak seorang Dela, dia perempuan tegaan jika sudah tugas kelompok.
Pernah saat semester satu dia mendapat partner yang mau enaknya doang. Saat Dela memberinya tugas untuk mencari pengertian saja pun dia tidak mau, tapi saat tugas akan dikumpulkan dia menghubungi Dela dan mengatakan kalau namanya harus tertulis di makalah. Dengan hati yang tega, Dela tidak menuliskan namanya sama sekali, alhasil dia harus mengulang di mata kuliah tersebut.
“Baiklah, sekarang Ibu bagi kelompoknya, ya,” kata Bu Cica----Dosen Organisasi Kesehatan, di depan sana.
“Andin Saputri dan Arsen Rikola, satu kelompok. Kalian yang akan menjadi kelompok satu, persiapkan materi dengan bagus, ya. Ingat saya mengambil 25% nilai dari tugas kelompok seperti ini.”
Mendengar Bu Cica menyebut nama Andin dan Arsen kemudian membuat mereka menjadi sekelompok, Dela merasa kalau Bu Cica memilih kelompok berdasarkan urutan absen. Dela memainkan pulpennya, mengingat nomer absennya, dan menebak kira-kira siapa yang akan menjadi partnernya.
Dalam hati Dela berdo’a semoga teman kelompoknya adalah orang yang mau bekerja. Dela terlalu sibuk dengan urusan kehidupannya akhir-akhir ini, dia takut kalau tugasnya terbengkalai.
“Candelaria dan Dave Utama, kalian kelompok empat.”
Dela membelalakan matanya. Mengapa dia harus satu kelompok dengan Dave? Meski laki-laki itu dikenal dengan b****g seksi yang ia miliki, tapi Dave juga dikenal sebagai laki-laki yang tingkat kemalasannya mencapai 1000%. Harusnya namanya tidak diawali huruf C kalau begini.
“Permisi, Bu.” Dela mengangkat tangan kanannya.
“Iya, silahkan. Kenapa?”
“Apa boleh saya tukar teman kelompok, Bu?” tanya Dela dengan hati-hati.
Seisi kelas menatap iba ke arah Dela. Sudah sebulan mereka bersama, karena di semester lima semua mahasiswa diwajibkan mengambil peminatan, dan tentunya sudah mengenal karakter masing-masing. Dela yang terkenal dengan beasiswanya, kali ini disatukan dengan Dave yang hobinya hanya tidur saja. Dave ini seperti kupu-kupu, kuliah pulang, kuliah pulang.
Hal yang biasa dilakukan Dave saat tiba di kampus adalah, datang, tidur, bermesraan dengan perempuan yang mengejar-ngejarnya, dan pulang. Sungguh tidak bermanfaat sama sekali.
“Kenapa begitu? Apa ada masalah dengan teman kelompok kamu?” tanya Bu Cica.
Dela kembali memainkan pulpennya, “Tidak ada, Bu. Saya takut kerja sendirian,” jawabnya jujur, memang hal itu yang Dela takutkan.
Bu Cica melihat ke seluruh mahasiswa yang ada di dalam kelas. “Jika teman sekelompok kalian tidak ikut mengerjakan tugas, kalian boleh tidak menuliskan namanya di makalah.”
“Sabar ya, Del. Gue juga nggak bisa minta tukaran anggota kelompok, karena nama kita jauh banget,” ucap Andin yang merasa bersalah, yang mendapat anggukan dari Dela.
Dela tersenyum hambar, tanpa Bu Cica minta pun dia pasti melakukan itu. Hanya saja, dia memang sedang tidak ingin bekerja sendirian.
***
Berhubung Andin memilih pulang cepat karena Ibunya mengunjunginya hari ini, Dela sendirian berjalan menuju kantin. Perempuan itu memasang senyum mirisnya melihat Revo dan Angela duduk berdua di kantin.
Dela berdiri tepat di belakang Angela. Seluruh penjuru kampus tau tentang hubungan Dela dan Revo, mereka juga tahu kalau pacar Dela itu tidak pernah setia. Dan bodohnya, Dela masih tetap bertahan.
Akhir-akhir ini Revo terlihat lebih sering bersama Angela. Ralat, bukan akhir-akhir ini. Tapi memang setiap hari Revo lebih sering bersama Angela dari pada bersamanya. Dalam sehari 24 jam, kebersamaan Revo dan Dela hanya dua jam saja, selebihnya bersama Angela.
Banyak orang yang menatap kasihan pada Dela. Statusnya menjadi pacar Revo, tapi tidak dianggap oleh laki-laki itu. Tak sedikit orang yang menasehati Dela agar keluar dari hubungan toxic itu tapi Dela hanya tersenyum dan menjawab ‘selama cinta Revo cuma untuk gue, semua akan baik-baik aja.’
“Eh, Sayang,” sapa Revo, melihat Dela yang berdiri di belakang Angela.
“Uda selesai kelas lo, Del?” tanya Angela saat Dela duduk di depannya—di samping Revo.
“Udah, baru aja, makanya telat kemari. Kalian uda pesan makanan?”
“Belum, nungguin lo biar makan bareng,” jawab Revo. “Lo mau apa? Biar gue pesanin,” lanjut Revo melihat Dela.
“Nasi goreng dan jus jeruk, deh.”
Revo mengangguk. “Kamu Angela?”
Dela mengepalkan tangannya mendengar Revo memakai kata ‘aku-kamu.’
“Aku ikut sama kamu aja, Vo. Lagi nggak selera makan, biar sambil lihatin menu, kali aja ada yang selera.”
Revo mengangguk kemudian berdiri dan berjalan berdampingan dengan Angela menuju stan nasi goreng. Dela hanya menatap punggung mereka berdua dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan. Bahkan dari kata sapaan saja sudah berbeda. Revo memakai ‘aku-kamu’ pada Angela, sedangkan dengan Dela memakai ‘Lo-gue’ yang notabene pacarnya.
Cinta memang selucu dan serumit ini.
***
Dave dan Jaka yang memiliki nama lengkap Jaka Sastra---teman terdekat Dave, duduk di kantin yang tidak jauh dengan Dela. Di depan mereka terdapat dua mangkuk bakso yang hampir habis.
“Dave, gue baru tau kalau pacarnya si Dela anak Kesmas juga,” ucap Jaka melihat ke arah Maroon.
“Sekelas kita?”
Jaka menggeleng. “Anak K3 kayaknya, gue lihat dia sekelas sama si Ari.”
Dewa mengangguk, masih menikmati makanannya yang tersisa kuah.
“Tapi, Dave, gue sering lihat tuh cowok jalan bareng cewek lain, loh.”
Dave mengernyitkan dahinya, sejak kapan Jaka menjadi biang gossip seperti ini?
“Kemarin gue lihat tuh cowok pulang bareng cewek lain. Itu tuh sama cewek yang duduk di depan mereka. Namanya Angela, peminatan Gizi. Kalau nggak salah si Dela masih di ruang dosen kemarin. Lo sendiri tau kan, tuh cewek pinter banget. Dapat beasiswa mulu, heran gue.”
“Sifat iri dan dengki itu nggak bagus untuk kesehatan, Jak.”
Jaka menoyor kepala Dave. “Siapa juga yang iri?”
“Elo lah, masa gue.”
“Gue nggak iri, gue kagum sama si Dela. Tapi, kenapa dapatnya cowok kayak gitu.”
Dave memutar bola matanya. “Kali aja yang dianter pulang itu adiknya, maizon aja lo sama orang.”
“Suudzon bangke, bukan maizon.”
Dave mengindikan bahunya. “Sejak kapan lo jadi biang gosip dan stalker begini?”
“Kapan gue begitu?” tanya Jaka sengit.
“Barusan.”
“Dave, gosip pacarnya Dela sama perempuan lain tuh udah menyebar ke seluruh penjuru kampus. Ya kali lo nggak tau.”
“Memang gue nggak tau.”
Jaka manggut-manggut. “Wajar sih, lo kan sibuk sama perempuan-perempuan lo itu. Hari ini kok nggak ada yang nemani kita?”
Kembali Dave mengindikan bahunya, mendorong mangkuk kosong itu ke depan. “Tapi, Jak, si Dela itu siapa?”
Pertanyaan Dave barusan membuat Jaka melotot tak percaya. Sedari tadi dia berbicara, tapi Dave tak mengetahui siapa orang yang sedang mereka bicarakan? Bahkan Dave tak mengenal siapa Dela, teman sekelasnya. Luar biasa Dave.
***
Duduk di depan meja belajar dengan tumpukan kertas membuat kepala Dela pusing. Malam ini ada tugas yang tanggal deadline-nya sebentar lagi. Malam ini juga, Dela berniat mencari bahan pokok untuk tugas yang baru diberikan hari ini.
Dela menghapus darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini dia memang sering mimisan. Kepala panas memikirkan takdir hidupnya.
“Dela …,” panggil Anton dengan suara nyaring.
Terlalu fokus pada semua tugasnya, membuat Dela tak mendengar panggilan dari Anton sama sekali.
Sebenarnya Dela lelah harus belajar mati-matian sampai membuatnya mimisan dan pusing. Dela juga sudah sangat lelah dengan kehidupan yang tak ada indahnya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Takut akan dosa, durhaka pada orang tua membuat Dela tetap bertahan di rumah itu.
Suara pintu yang dibuka dengan kasar terdengar. Sontak Dela kaget dan menoleh ke arah Alicia dan Anton yang susah berdiri di depan pintu kamar.
“Apa ada, Bu?” tanyanya dengan wajah takut.
“Apa ada kamu bilang? Sedari tadi ayahmu terus-terusan manggil tapi kupingmu tak mendengar?” kata Alicia.
“Maaf, Bu. Dela lagi ngerjain tugas, deadline-nya sebentar lagi.”
Alicia berjalan mendekat, menoyor kepada Dela dengan jari telunjuknya berkali-kali. “Nggak usah sok pintar! Kamu ini bodoh!”
Dela tak menjawab, dia hanya bisa diam menerima perilaku kasar ibunya.
“Mana tugas kamu itu?” Anton melipat tangannya di depan d**a.
“Ini, Yah.”
Dalam hitungan detik, Anton langsung mengambil kertas yang sudah Dela susun dan merobeknya. Bahkan mencabut charger laptop Dela, dan membuatnya laptopnya mati karena tanpa dicharger laptopnya tak bernyawa. Padahal file yang Dela kerjakan belum disimpan.
Dela menangis mendapat perilakuan seperti itu. Dia menangis dalam diam meratapi kertas tugasnya yang sudah robek di depan mata.
“Makanya kalau dipanggil orang tua itu dengar. Kami nggak perlu dengan pendidikanmu ini. Jadi nggak perlu menjadi pintar. Jangan pernah menandingin Callista.”