“Hidup itu bukan hanya soal menjalani, melainkan merencakan bagaimana ke depannya.”
***
Mendengar Velly tengah dalam masalah, Kayna pun langsung bergegas menyusul perempuan itu. Dengan berpakaian seadaanya Kayna mulai memakai sepatu olahraganya, karena kalau dirinya sampai menggunakan motor tua itu bisa bahaya. Semakin malam berarti semakin dingin. Itu artinya Kayna harus bersiap kalau motor tua itu mati di pertengahan jalan, daripada menyusahkan dirinya dan orang lain. Kayna pun lebih memilih untuk berlari saja, kebetulan jarak Velly antara dirinya tidak begitu jauh.
Sesampainya di tempat lokasi, Kayna baru menyadari bahwa yang ada di depannya ini bukanlah tempat yang biasa, apalagi banyak sekali wanita-wanita berpakaian seksi. Sementara dirinya, memakai hoodie berwarna merah dan rambut tergerai indah. Walaupun begitu, ia cukup risih melihat keadaan sekitar.
Tanpa pikir panjang pun Kayna langsung mencari keberadaan Velly sambil sesekali menghubungi perempuan menggemaskan itu. Akan tetapi, tidak ada satu jawaban hingga membuat Kayna cemas bukan kepalang. Ia pun mulai memasuki diskotik, banyak sekali muda-mudi yang menari-nari di lantai dansa, namun ada pula yang berciuman panas di sofa merah sudut ruangan. Melihat itu pun Kayna langsung berdebar hebat, bagaimana bisa ia melihat adegan panas itu di sini.
“Velly!” panggil Kayna mencari-cari di segala sudut ruangan.
Akan tetapi, sama sekali tidak ada Velly di sana, membuat Kayna semakin cemas. Ia pun mulai menggigiti kuku-kuku jarinya. Kebiasaan Kayna ketika sedang cemas.
“Kay!” panggil seseorang sambil menepuk pundak Kayna.
Mendapat tepukan di pundaknya, Kayna langsung menoleh. Mendapati sesosok lelaki yang sangat ia kenali. “Evano?”
“Lo ngapain di sini?” tanya Evano bingung.
Kayna menatap Evano cemas. “Tadi gue dikabarin Velly, katanya dia ada di sini.”
“Velly? Lah bukannya dia ada sama Izzan?” Kening Evano berkerut bingung.
“Ha?” Kayna menganga bingung.
“Iya. Dia lagi ada di private room. Kalau lo enggak percaya ikut gue,” ajak Evano membuat Kayna mengekorinya.
Sepanjang melangkah Kayna harus memejamkan mata, karena ia sangat malu melihat tingkah sepasang muda-mudi itu. Bagaimana bisa mereka tanpa tahu malu mengumbar kemesraan di tempat ini. Apalagi ia sempat memergoki salah satu pasangan yang hampir melucuti semua pakaiaannya.
Evano yang menyari tingkah Kayna pun tersenyum maklum, lalu menarik pergelangan tangan Kayna lembut. Dan memeluk Kayna, menempatkan wajah perempuan itu di d**a bidang miliknya. Menyimbunyikan semua pandangan aneh itu dari si polos Kayna.
Mendapat perlakuan itu pun hampir membuat Kayna memberontak, tetapi ia sadar bahwa Evano bukanlah modus kepadanya, melainkan membantu dirinya agar tidak melihat pandangan seperti itu.
Sesampainya di lantai private room Evano langsung melepaskan pelukannya sambil berkata, “Sorry. Tadi gue cuma enggak mau lo lihat hal begituan.”
Kayna menggeleng pelan dan tersenyum kecil. “Iya enggak apa-apa. Makasih, lho!”
Evano menggaruk tekuknya salah tingkah. Ia sangat lemah dengan yang namanya perempuan cantik. Apalagi dengan sikap polos Kayna yang membuat dirinya semakin salah tingkah.
“Ini ruangannya,” ucap Evano sambil melangkah masuk ke dalam.
Dan benar saja, di sana ada Adresia, Izzan, dan Velly. Ketiganya tengah bersenda gurau sambil sesekali tertawa renyah. Mereka sama sekali tidak terusik akan kedatangan Evano dan Kayna.
“Ya ampun, Velly!!!” pekik Kayna kesal, membuat sang empu menoleh cengengesan.
“Lo nyariin kita, Ra?” tanya Adresia.
“Ya iyalah! Siapa yang tadi nelepon gue bilangnya lagi urgent,” sinis Kayna.
Velly meraih tangan kanan Kayna. “Sorry, Ra. Gue enggak tahu kalau bakal ketemu Evano sama Izzan.”
Kayna menepis tangan Velly. Ia merasa sangat kesal akibat tadi.
“Ra, lo mau pesan apa?” tanya Izzan mengalihkan perhatian Kayna.
“s**u hangat deh. Gue rasanya mual banget di bawah tadi,” jawab Kayna mengerucut kesal.
Izzan mengetikkan sesuatu di telepon kabel yang tersedia di sudut ruangan. Mengatakan satu per satu pesanan. Walaupun jauh dari kata mabuk, mereka memesannya dengan percaya diri
“Gue terkejut banget tadi ngelihat Kayna di bawah,” celetuk Evano.
“Gue juga anjir!” sahut Izzan tertawa pelan.
Kedua lelaki itu masih tidak percaya melihat kehadiran Kayna di sini. Terlebih perempuan itu yang mereka tahu adalah kembang desa. Perempuan yang sama sekali tidak terjamah oleh lelaki manapun.
“Asli! Gue baru tahu ada tempat beginian,” keluh Kayna prihatin.
Adresia menggeleng pelan. “Namanya juga era milenial, Kay. Lo belum pernah ke sini berarti main lo kurang jauh. Karena di sini rata-rata pengunjungnya anak kampus kita sendiri. Coba aja lo kenal mereka, pasti lo tahu.”
“Iyakah?” tanya Kayna tidak percaya.
“Iya, Ra. Di sini para senior kampus kita. Walaupun gue belum lihat yang seangkatan, tetapi gue percaya salah satu dari mereka pasti ngenalin kita,” papar Velly sambil fokus pada ponselnya.
“Kayaknya gue salah tempat,” gumam Kayna yang diangguki Evano.
“Salah banget.” Evano tersenyum miring.
***
Baru saja Faray hendak mencium bibir wanita itu tiba-tiba ia menghentikan aktivitasnya, membuat Kalandra mengerutkan dahinya bingung.
“Kenapa, Ray?” tanya Kalandra.
Faray bangkit dari atas Carissa. Ia mulai merapikan pakaiannya sambil meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja. “Cabut!”
Atha yang menyadari kepergian Faray pun ikut bertanya, “Lo mau ke diskotik?”
“Iya. Malas gue kalau mainnya di indekos lo, kayaknya kurang seru.”
Setelah mengatakan itu, Faray menutup pintunya sedikit keras. Meninggalkan kedua sahabatnya yang terpaku bingung. Apalagi ditambah sikap Faray yang tiba-tiba berubah.
“Kenapa dia?” tanya Atha.
Kalandra mengangkat bahunya acuh, lalu mengikuti lelaki itu. Tanpa memperdulikan tatapan wanita-wanita cantik di sana. Karena dirinya pun sama bosannya dengan Faray. Melihat wanita itu terus memang sedikit tidak puas. Apalagi diskotik lebih menyenangkan.
Ketiganya pun mulai membelah jalanan ibukota. Mengendarai motor besarnya menuju salah satu diskotik ternama di sana. Walaupun tidak begitu jauh, karena jaraknya yang dekat dengan salah satu stasiun, tempat di mana para mahasiswa mengalami perjalanan yang lumayan jauh dari luar kota.
“Gue enggak nyangka kalau Faray ada bosannya sama Carissa. Biasanya juga lemas lo,” ejek Atha tersenyum miring.
“Enggak tahu. Gue lagi malas aja sama Carissa mulu.” Faray menipiskan bibir kecilnya.
“Sepertinya lo mau cari mangsa baru di sana,” celetuk Kalandra jahil.
Atha mengedipkan sebelah matanya pada Kalandra. “Setuju. Faray pasti nyari yang lebih bening.”
“Sopasti. Tetapi, gue penasaran siapa lagi yang bakal Faray pilih selain Carissa. Secara body goals anak kampus juga enggak ada yang seperti dia,” ucap Kalandra mengamati satu per satu anak kampusnya.
Faray yang mendengar percakapan kedua temannya itu hanya menggeleng pelan. Walaupun dalam hati ia membenarkan perkataan keduanya, tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan body goals milik Carissa.