DI TAHUN 2015, Sisilia baru 21 tahun. Usia yang cukup matang untuk memulai kehidupan orang dewasa yang berliku-liku serta menikmati kehidupan mandiri. Memiliki pekerjaan dengan gaji lumayan, atasan yang baik, teman-teman yang solid, karier cerah terpampang di depan mata.
Dia bisa saja hidup glamor seperti Anastasia dan kedua orang tuanya, tetapi Sisilia bukan orang yang sempat mengurusi penampilan. Lagi pula pekerjaan menuntutnya berpenampilan minimal.
Penampilan Sisilia sangat sederhana. Rambut hitam Sisilia tergerai bebas, mengenakan mantel selutut warna abu-abu tua, syal warna abu-abu terang melilit lehernya karena siang hari itu udara agak dingin di Kota J karena kerap diguyur hujan.
Sisilia baru pertama kali mengunjungi perusahaan Ambrosio. Sebuah gedung mewah, bertingkat 30. Dia berbicara pada resepsionis, wanita dengan setelan kerja warna hitam, rambut digelung dan scarf tersemat di leher. Wanita yang ayu dan penuh tata krama.
“Aku ingin bertemu dengan Ambrosio Marc-Olivier,” ujarnya tampak meyakinkan, padahal dalam hati dia gugup bukan main.
“Oh, Tuan CEO?” gumam si resepsionis. “Apa Anda sudah membuat janji, nona?”
“Oh? Ehm, belum. Apakah harus membuat janji dulu?”
“Kalau begitu, maaf sekali, nona. Tanpa perjanjian, Anda tidak bisa bertemu dengan Tuan Ambrosio. Ya, harus membuat janji dulu.”
“Bisakah aku bertemu dengannya sekarang? Aku sedang terburu-buru, aku harus masuk kerja sejam lagi ....”
Resepsionis itu tampak membuat panggilan telepon internal, lalu dia tersenyum pada Sisilia. “Maaf sekali, nona, jadwal CEO sudah penuh sampai bulan depan. Menurut saya, Anda tidak bisa menemuinya sekarang.”
“Menurutmu, ya?” ujar Sisilia ketus, karena dia sedang kesal. “Kalau begitu kita lihat bagaimana menurutnya ....” Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor telepon Ambrosio. Ambrosio yang memberikan nomor itu padanya, karena sekarang sudah menjadi keluarga, dia boleh meneleponnya kapan saja, katanya. Dia malas sekali melakukannya sebenarnya.
Berengsek dialing ....
Setelah sekali bunyi nada tunggu, teleponnya dijawab.
“Halo?” suara dingin Ambrosio terdengar.
“Kakak ipar,” sapa Sisilia. “Aku di lobi kantormu, aku perlu bertemu denganmu. Kita harus bicara!”
Ambrosio memutuskan panggilan dan tidak lama berselang, si resepsionis menerima panggilan masuk. Wanita itu terlihat mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik, Pak, akan saya laksanakan!” Setelah menutup teleponnya, dia melihat pada Sisilia dan tersenyum. “Mari, Nona, saya antarkan ke ruang CEO ....”
Resepsionis membimbing Sisilia masuk ke lift khusus lalu menekan tombol yang menuju langsung ke ruang kerja CEO mereka.
Begitu sampai di lantai 30, pintu lift terbuka. Sisilia keluar seorang diri dari lift, si resepsionis meninggalkannya untuk kembali ke lobi.
Sisilia memasuki koridor yang redup dan ada sebuah pintu besar bertuliskan CEO berwarna keperakan. Dia membukanya dan tampak sebuah ruangan besar dengan pencahayaan temaram. Ruangan itu bernuansa Viktoria dengan domi.nasi warna merah marun dan hitam. Ada beberapa jendela besar dengan tirai putih tipis, meredam cahaya matahari dari luar. Ada sofa tamu yang besar berwarna kehitaman, dan di ujung ruangan, sebuah meja kerja besar dan seorang laki-laki dalam setelan gelap duduk di sana.
“Selamat datang, Sisilia! Senang kau akhirnya berkunjung kemari,” sapa Ambrosio.
“Ya, kau senang, tetapi aku tidak!” balas Sisilia dingin. Matanya masih meneliti ruangan kerja Ambrosio. Kesannya dingin dan tak terjamah. Kemudian dia berdiri di depan meja Ambrosio, menatap tajam pada laki-laki itu. Tangan di dalam saku mantelnya “Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau inginkan, Ambrosio?”
“Ah ....” Ambrosio menghela napas dan bergerak dari kursinya, menuju lemari bar untuk menuang minuman. “Kau mau?” tanya Ambrosio pada Sisilia sambil mengangkat sebuah gelas.
“Tidak!” jawab Sisilia tegas. “Aku harus bekerja setelah ini, tidak ada waktu untuk basa-basi dan minum-minum denganmu.”
Ambrosio tertawa lemah mendengarnya. Ia sebenarnya ingin basa-basi dan minum-minum dengan wanita itu. Ia ingin melihat bagaimana jika perempuan itu mabuk dan kehilangan kontrol dirinya. “Minumlah dulu, walaupun cuma segelas, setelah itu aku akan bicara denganmu,” katanya sambil membawa segelas minuman kepada Sisilia, segelas lagi untuk dirinya.
“Yah, dan berisiko aku akan salah melakukan tindakan pada pasienku, menghadapkanku pada tuntutan hukum. Itukah yang kau inginkan? Bagus sekali!”
Tangan Ambrosio tergantung di udara. Wanita itu benar juga. Dia harus bekerja setelah ini. Akhirnya Ambrosio menenggak kedua gelas minuman itu dan meletakkan gelasnya ke meja dengan sedikit mengentak.
Masih terlalu siang untuk minum, pikir Sisilia, apa pria itu tak bisa lepas dari minuman keras? Itu tidak baik untuk kesehatan.
Pria itu berdiri menyender di sudut meja kerjanya dan tangannya bertaut di depan da.da. Ia menatap wanita di depannya dan menyempatkan mengagumi kecantikannya. Dia tidak secantik kakaknya, tentu saja, tetapi mata wanita ini hitam tampak polos dan berkilau-kilau cerdas. Mata besar dan alis datar, bibir tebal dan mungil berwarna kemerahan alami, pipinya berisi dan bersemu kemerahan, membuat Sisilia tampak ramah dan bersahabat, tidak seperti kakaknya.
Kecantikan Anastasia adalah kecantikan bak dewi agung, wajahnya berkelas, tulang pipi yang tinggi, hidung mancung, mata tajam, berkilau seksi, alisnya tinggi menonjolkan figur wajahnya yang cantik dengan golden ratio. Tubuhnya bak manekin, selalu dalam gaun mewah yang membungkus lekuk tubuhnya yang indah. Kecantikan yang mewah, berkelas dan seksi menggoda.
Adiknya ini, Sisilia, kebalikan kakaknya. Tampak sederhana, apa adanya dan lugu tetapi bicaranya—menurut Ambrosio—selalu bersikap defensif. Membuatnya tidak mudah didekati dan bagi Ambrosio, membuatnya penasaran.
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Ambrosio.
“Kenapa kau ingin menikahiku?”
“Sudah jelas, 'kan karena aku menginginkanmu. Aku tidak akan menikahi orang yang tidak kuinginkan”.
Terdengar dengkus sinis hidung mungil Sisilia. “Jika kau tidak menikah dengan kakakku, mungkin aku mau menikah denganmu,” sahut Sisilia gamblang. Maksudnya, wanita gila mana yang akan menolak menikah dengan CEO? Tidak usah pakai embel-embel terpaksa kalau bakalan menikmati malam indah bersama seorang CEO tampan. “Tetapi karena kau sudah menikah, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak akan memosisikan diriku sebagai perebut suami orang.”
“Kau tidak merebut,” bantah Ambrosio “Kau berkolaborasi ....”
Sisilia terperangah. Dia maju selangkah. Ingin sekali menerjang laki-laki itu dan menjambak rambutnya yang licin bagaikan lilin itu. Giginya bergemeletuk menahan marah. “Terus terang sajalah, Ambrosio! Kau tidak menginginkanku, kau hanya perlu tambahan wanita untuk memuaskan nafsumu. Demi Tuhan, kau bisa mendapatkannya dengan mudah. Bukan hanya satu, bahkan puluhan. Kau bisa mengumpulkan puluhan wanita sebagai haremmu. Dan kau bilang kau menginginkanku? Apa aku ini semacam tantangan bagimu, Ambrosio? Apa aku dan keluargaku semacam lelucon bagimu?”
Dia benar! Ambrosio mengakuinya dalam hati. Ia mangut-mangut mendengar perkataan Sisilia. “Tantangan ...,” ujarnya kemudian. “Bisa dibilang begitu. Kalian sekeluarga ini adalah penipu besar, makanya aku ingin bermain-main dengan kalian!”
***
Bersambung ....
( ◜‿◝ )♡