"M-mengapa harus saya, Pak!" Sekuat tenaga Sabrina menahan napas dan memejamkan mata saat wajah pria itu berada di sisi wajahnya.
Arsa menarik kepalanya mundur. Tangan lentik itu masih berada dalam genggamannya bahkan semakin erat. "Aku sendiri tidak tahu, Sabrina, apa yang membuat aku memilih kamu untuk menjadi istriku!"
"Istri kedua!" Sabrina menimpali.
"Ya istri kedua," sahut Arsa tersenyum.
Pupus sudah harapan Sabrina sebelumnya yang menyangka jika sang atasan memiliki perasaan kepadanya. Nyatanya, pria itu pun tidak tahu dengan alasannya sendiri.
Treet! Treet!
Getaran ponsel milik Arsa yang berada di atas meja, mengagetkan keheningan yang tercipta di antara keduanya.
"Iya, Sayang!" ucap Arsa, setelah menaruh ponsel di dekat telinganya, pada seseorang yang berada di sambungan telepon.
Sabrina tahu, jika orang yang saat ini berbicara dengan bos-nya adalah Lara —sang istri. Empat tahun bekerja sebagai sekertaris Arsa, tentu saja gadis itu hafal.
Panggilan 'sayang' yang Arsa berikan pada istrinya itu, terkadang membuat Sabrina iri di tengah kejomloannya yang sudah lama. Namun, ia selalu sadar diri. Semuanya tentu saja karena kesalahannya sendiri. Sudah banyak pria, baik dari teman satu kantor atau teman-temannya kuliah dulu yang berusaha mendekatinya, tetapi semua ia tolak secara halus. Sabrina belum berpikir untuk mencari kekasih, pekerjaannya sekarang membuat ia terlalu nyaman. Ia masih ingin memberikan yang terbaik bagi para adik-adiknya di panti asuhan.
Ya, setiap akhir pekan di akhir bulan setelah ia mendapatkan gajinya, maka Sabrina dan Nita akan datang ke panti untuk menjenguk ibu panti dan juga adik-adiknya. Hal itu sudah ia lakukan sejak masih kuliah. Meski hanya memiliki sedikit uang sembari mengatur keuangan —membagi biaya sehari-hari dan kuliah— ia tetap datang.
Berbeda dengan Nita, yang tinggal —satu rumah sewa— dengan Sabrina, temannya itu sudah memiliki kekasih yang merupakan teman kerjanya. Meski kadang iri, tapi Sabrina senang melihat temannya bahagia.
"Kamu sudah di bawah?" tanya Arsa sedikit terkejut. Begitu pun dengan Sabrina yang dengan cepat melepaskan tangan kiri Arsa dari genggamannya, kemudian bangkit berdiri.
Arsa yang melihat sikap sang sekertaris, hanya menoleh dengan wajah datarnya.
"Ya, Sayang. Aku tunggu!" Pria itu memutuskan sambungan teleponnya dan memandang Sabrina.
"Kalau begitu saya permisi kembali ke meja saya, Pak!" Sebelum diusir, Sabrina lebih dulu pamit.
"Apakah kamu harus setakut itu pada Lara, Sabrina?" tanya Arsa, seolah tak suka.
"Bukannya takut, Pak. Saya hanya merasa tidak enak saja pada Mbak Lara," sahut Sabrina.
"Kalau begitu saya permisi, Pak!"
"Ya sudah!" Arsa memalingkan wajah, enggan menatap Sabrina yang meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa.
***
"Hai, Sabrina!" sapa Lara ketika sudah berada di depan meja gadis itu.
"Hai, Mbak. Udah selesai kerjaannya? Tumben masih siang udah mampir!" Senyum mengembang di wajah Sabrina.
"Tadi aku ada meeting di sekitar sini, jadi sekalian mampir deh!" jawab Lara dengan wajah yang selalu ramah.
"Oh gitu. Mau masuk?" tanya Sabrina menunjuk pintu berwarna coklat tua —ruangan sang direktur.
"He-em. Enggak lagi sibuk atau lagi ada klien 'kan?" tanya Lara memastikan.
"Enggak ada. Hari ini Pak Arsa enggak ada schedule ke luar kok, Mbak!"
"Ya udah kalo gitu. Aku masuk dulu yah, Sab?"
"Ok!"
Sabrina segera menyandarkan punggung ke belakang kursi. Rasa tegang yang muncul sejak mengetahui istri direktur itu sudah berada di area kantor, pelan-pelan hilang ketika wanita itu masuk ke ruangan suaminya.
"Heuh, untung saja!" gumam Sabrina.
Jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Tentu saja gadis itu pun membutuhkan pasokan energi untuk konsentrasi bekerja, dengan tidak membiarkan perutnya kosong.
Ketika ia beranjak dari duduk, setelah sebelumnya mendapat pesan dari temannya dari bagian divisi lain yang mengajaknya makan bersama di kantin, pintu ruangan direktur terbuka. Lara dan disusul kemudian oleh Arsa, keluar dari ruangan itu.
"Kamu mau ke mana, Sab?" tanya Lara.
"Mau ke kantin, Mbak. Biasa, makan siang."
"Ya udah, bareng kita aja yuk! Kita juga mau makan siang."
"Di kantin?" tanya Sabrina, sedikit melongo.
"Hehe, bukan. Kita mau nyoba kuliner baru. Ada restoran Sunda yang mau kita kunjungi. Ikut yuk!" ajak Lara antusias.
"Eh, enggak deh, Mbak. Lain kali aja. Terima kasih untuk tawarannya." Berusaha menolak dengan halus. Sebisa mungkin ia tidak menatap Arsa, yang terlihat dari sudut matanya, pria itu tidak melepaskan pandangan padanya.
"Beneran, Sabrina. Ikut sama kita yah, biar rame, ya kan, Sayang?" Meminta dukungan dari sang suami.
"Iya, Sabrina. Kamu bisa ikut kita." Dengan suara khasnya, yang selalu membuat gadis itu selalu merasakan debaran yang aneh di dalam dadanya.
"Terima kasih, Pak. Tapi saya sudah janji dengan teman saya untuk makan bareng di kantin."
"Batalin aja, Sab!"
"Sayang, sudahlah. Jangan dipaksa. Mungkin lain kali Sabrina enggak akan nolak. Betul begitu 'kan, Sabrina?"
"E-eh, iya, Pak! Lain kali, mungkin saya bisa ikut kalian!" gagap Sabrina menjawab.
"Ya sudahlah, kalau begitu kita duluan yah, Sab!"
"Iya, Mbak!"
Sabrina melangkah bersama Arsa, mendahului gadis itu yang berjalan di belakangnya, yang hanya bisa memandang kemesraan pasangan suami istri itu.
"Bagaimana bisa aku menghancurkan kemesraan mereka dengan menjadi duri di kehidupan rumah tangga keduanya?" gumam pelan meluncur dari mulutnya.
Bahkan gadis itu tidak habis pikir, bagaimana bisa ia juga terpesona akan ketampanan yang —memang sempurna— dimiliki oleh bosnya itu.
Sabrina terus berjalan menuju kantin untuk berkumpul dengan para karyawan yang lain.
***
"Gila memang atasan kamu, Sab?" ujar Nita ketika keduanya tengah menikmati program acara di televisi.
"Aku juga enggak ngerti, Ta. Padahal aku udah nolak terus dari awal dan alasan aku juga sama. Tapi tetap aja dia minta hal itu terus." Berbicara sambil mengunyah keripik kentang di tangannya.
"Emang sih dia ganteng, ganteng banget malah. Cuma sayang dia 'kan udah ada yang punya," ujar Nita terkekeh.
"Iya kamu bener, Ta! Aku enggak mungkin ambil suami temen baik aku sendiri."
"Beda halnya kalau dia itu jomlo, aku juga mau deh ngejarnya walau udah punya si Teja." Tawa terbahak keluar dari mulut Nita.
"Dasar kamu, Ta!" Turut terkekeh sembari melempar keripik kentang ke arah temannya itu.
"Bener tahu, Sab. Lelaki kaya Pak Arsa itu jarang banget. Ganteng, kaya, dan baik pula. Paket komplit deh. Dan aku perhatiin dari cerita kamu itu, kayanya dia juga bukan seorang player." Menarik bungkusan keripik dari tangan Sabrina.
"Ya, emang yang aku lihat gitu. Tapi entahlah kalo di luar perusahaan, aku kan enggak merhatiin sejauh itu, Ta!"
"Iya juga sih. Mana kita tahu yah, dia player atau bukan kalo belum pernah ada buktinya."
"Ya karena belum ada buktinya, makanya aku bilang dia bukan seorang yang suka mainin perempuan." Tutup Sabrina ikut merogoh isi dalam bungkusan di tangan Nita.
***