1. Sorry Seems to Be The Hardest Word?
Suatu malam di lantai rooftop sebuah apartemen, terlihat siluet seorang gadis menangkup kedua kaki untuk menghilangkan dingin yang menyergap. Sesekali gadis itu mendunga ke langit, melihat gemerlapnya gemintang yang berkerlap-kerlip membuat indah gelapnya malam. Semilir angin menambah kesan mistis kelamnya malam. Tapi, itu diabaikan si gadis. Dia tidak peduli pada mistis atau dingin.
Samar terlihat pundak gadis itu naik turun, tanda hatinya tidaklah seindah gemerlap langit malam itu. Sesekali dia usap air mata yang meluruh. Dia sedang tidak ingin menikmati suasana rooftop yang biasanya indah dan menjadi tempat mereka bertemu, sejenak melepas penat.
Mereka? Si gadis tersenyum pahit.
Ya, dia dan seorang lelaki tampan penghuni salah satu unit griya tawang di apartemen ini.
Apakah lelaki itu kekasih si gadis ini?
Kekasih? Entahlah. Hanya kedua cucu Adam ini yang tahu status hubungan mereka. Apakah mereka sepasang kekasih, atau hanya sekadar penghuni griya tawang di apartamen yang sama, atau seorang atasan dan bawahan di kantor atau bahkan tidak ada perasaan apapun yang terlibat pada keduanya.
Dagu gadis itu dia tumpukan ke atas lutut yang tertekuk. Samar terdengar suara langkah kaki yang dia hapal, bergerak mendekatinya. Tapi gadis itu tahu langkah kaki itu terhenti tidak begitu jauh dari posisinya duduk.
Kenapa dia berhenti? Apakah dia terkejut melihatku ada di sini? Kukira dia sengaja ke atas sini karena tahu ini adalah tempat favoritku, favorit kami. Aaah aku lupa, tempat ini tidak akan lagi menjadi tempat favorit kami untuk bertemu.
“Eheem…” suara deheman itu mencoba mencari perhatian dari si gadis. Tapi siluet gadis tadi tampak membeku, tidak tertarik.
Langkah kaki itu semakin mendekat ke arah tempat duduk si gadis. Terdengar langkah kaki yang berat, seberat helaan nafas yang dihembuskan terpaksa oleh si pemilik langkah kaki.
“Sebentar lagi tengah malam, angin juga semakin kencang, kenapa masih di sini? Masuk yuk.” Sebuah suara yang sangat lembut menyapa. Si pemilik suara, seorang lelaki, duduk di sebelah kanan si gadis yang masih saja abai padanya.
Tidak ada respon apapun dari si gadis, seperti yang sudah diduga oleh si lelaki. Kali ini angin malam berhembus lebih kencang dari sebelumnya, si lelaki melihat gadis di sebelahnya menggigil.
“Huuuffht…” sekali lagi sebuah helaan nafas keluar dari mulut si lelaki, seperti sebuah kelelahan atau keputusasaan yang dia ingin buang. Dia buka sweater yang tadi dia kenakan, kemudian disampirkan ke tubuh si gadis untuk sedikit mengusir dingin.
“Renatta, ini sudah jam sebelas malam. Kamu tidak pakai sweater ataupun jaket dan ada di rooftop ini sedari tadi kan? Turun yuk, tubuhmu mulai menggigil kedinginan.” Bujuk rayu si lelaki.
“Tidak usah sok perhatian padaku. Aku masih ingin di sini, silakan kalau kamu mau turun, tidak perlu menungguku.” Ketus jawaban si gadis yang bernama Renatta.
Yaa, tidak perlu menungguku seperti dulu yang biasa kamu lakukan. Menungguku di sini untuk menikmati gemintang.
“Sepertinya akan turun hujan, kita masuk yuk.” Masih saja lelaki tadi pantang menyerah.
Dijawab dengan gelengan kepala si gadis keras kepala ini. Gadis itu, Renatta, menoleh ke arah kirinya. Akhirnya mata mereka bersirobok walau hanya ditemani temaram lampu dan gemerlap gemintang, tapi lelaki itu tahu, mata gadis itu berkolam, menunjukkan betapa si gadis di sebelahnya ini bersedih hati, karenanya. Yaa, dialah sumber kesedihan si gadis ini.
“Turunlah, tinggalkan aku sendirian di sini.” Usir Renatta, tapi dengan suara lemah.
“Renatta, jangan keras kepala! Kumohon kita kembali ke unit ya.” Kali ini suara si lelaki sedikit naik, tanda kesabaran yang mulai terkikis. Reflek, tangannya menggamit tangan Renatta bermaksud dia tarik untuk turun dari tempat itu.
Tapi lelaki itu kaget saat merasa tangannya ditepis dengan kencang oleh Renatta.
“Sudah kubilang, tidak usah pura-pura peduli padaku!” desis Renatta, kali ini penuh penekanan tidak ingin diganggu.
“Demi Tuhan, Renatta, aku tidak pura-pura. Angin berhembus cukup kencang, ini sudah tengah malam. Bagaimana kalau hujan turun disertai petir?” lelaki itu sampai memijit pelipisnya, bingung mencari cara agar Renatta mau turun bersamanya.
Sedetik, Renatta berjengit saat mendengar kata petir, tapi hanya sedetik saja. Tubuhnya yang tadi sempat berdiri karena ditarik si lelaki, kembali dia hempaskan ke kursi santai.
“Sudah kubilang tinggalkan aku sendiri di sini.” Desis Renatta.
“Renatta, aku harus bagaimana lagi agar kamu memaafkanku? Sudah ribuan kali aku minta maaf tapi kamu selalu seperti ini, bertingkah konyol! Menimpakan semua kesalahan padaku seolah akulah pelaku kejahatan dan kamu korbannya! Jangan bertingkah playing victim! Bukankah kamu juga merespon apa yang aku tawarkan?” tanpa sadar, lelaki itu keluarkan keluh kesah bernada tinggi. Sayang, sedetik kemudian, dia menyesali diksi yang terucap begitu saja tanpa dia pikirkan akibatnya.
“Renatta… a… aku…” lelaki itu sungguh menyesal, dia mengumpati dirinya dalam hati.
“Tidak perlu lagi minta maaf, toh kamu tidak pernah tulus saat meminta maaf. Seperti katamu dulu, kita tidak pernah berpacaran. Tidak pernah ada status di antara kita. Kamu tidak pernah menyatakan cinta padaku. Sehingga sah saja jika tidak ada kata putus, lagi-lagi seperti katamu, sehingga kamu bebas meninggalkanku begitu saja setelah semua yang kita lalui! Lagipula, sepertinya kata maaf adalah kata yang paling sulit bagimu untuk berucap tulus, juga bagiku untuk berikan maaf.” Suara itu berucap penuh kegetiran, selain bergetar juga menahan amarah yang gadis itu jaga agar tidak meluap.
Renatta merasa lelah. Agar dirinya tidak menghajar si lelaki, Renatta putuskan untuk kembali ke unitnya. Bahunya naik turun, dia menangis dalam diam. Lelaki itu tahu, jurang menganga di antara mereka semakin dalam. Dan sialnya, dirinyalah yang menggali semakin dalam.
Lelaki itu menatap punggung yang menjauh darinya dengan perasaan campur aduk. Perasaannya juga sehancur yang dirasakan Renatta, andai saja gadis itu tahu.
“Renatta, aku ingin kita bisa bersikap seperti dulu, saat tidak ada perasaan di antara kita. Mungkinkah itu bisa terjadi? Hufft…”