Chapter 13 : Ditaksir Bos

2027 Words
"Ciyee... yang baru jalan sama Mas Al!" goda Della pada Luisa yang sedang senyum-senyum sendiri. Luisa menoleh pada Della. Menatap kesal gadis itu. "Kenapa emang kalo jalan sama Al? Iri?" ketusnya. Della menggeleng pelan. Kemudian engambil tempat duduk di atas ranjang samping Luisa yang sedang rebahan. "Kenapa harus iri? Kalo aku mau aku bisa kok ngajak Mas Al jalan!" ledeknya. Luisa mendelik mendengar jawaban Della. Apa-apaan dia mau mengajak Al jalan? Enak saja! Langkahi dulu mayatku, batin Luisa tak terima. "Heh! Kamu jangan coba-coba nikung Kakak ya! Kamu itu masih kecil! Nggak boleh nikung-nikung! Apalagi sama Kakak sendiri!" seru Luisa emosi. Della tertawa melihat ekspresi marah Luisa. "Lah kok gitu? Kan Mas Al belum ada yang punya. Masih milik umum. Jadi Kakak nggak bisa larang-larang kayak gitu!" Luisa makin berang mendengar jawaban dari adiknya. Milik umum? Emang Al terminal apa? Gadis itu meraih bantal yang ada di sebelahnya. Kemudian melemparnya pada Della. Tapi Della begitu lihai menangkisnya. Sehingga bantal itu malah kembali pada Luisa. Della tertawa-tawa saat melihat wajah merah padam kakaknya itu. Buru-buru Della menyingkir. Bergegas menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat melihat ke arah meja rias di kamar Luisa. "Ini jepitan ya? Baru beli, Kak?" tanya Della sembari mengambil sebuah jepitan yang ada di atas meja rias. "Bukan! Itu cemilan! Udah tau jepitan. Pake nanya lagi!" balas Luisa ketus. "Ya elah! Nanya gitu doang kali! Jawabnya nggak usah sewot juga dong!" ujar Della manyun. Dia bingung kenapa Luisa selalu saja ketus dan sewot jika dia tanyai. Kan dia tanyanya juga baik-baik. Jadi apa salahnya, pikir Della. "Eh ini lucu nih! Buat aku ya!" ujar Della senang saat melihat sebuah pita rambut dengan hiasan huruf R di atasnya. Simple tapi lucu. Della jadi tertarik. Luisa memutar bola matanya malas. Gadis itu berdecak pelan mendengar ucapan basa-basi Della. Biasanya juga dia asal comot barangnya tanpa ijin dulu. "Serah!" jawabnya tak acuh. Della meringis kecil. Sepertinya kakaknya itu makin hari makin galak. Gadis itu membatin kenapa bisa ada orang seperti kakaknya, yang malas setengah mati, juga galak dan cuek. Kemudian dia duduk di depan meja rias. Della melepas jilbab dan ikat rambutnya lalu memakai ikat rambut yang tadi. Setelahnya Della merapikan rambutnya. "Nah... cantik kan, sekarang?" pujinya pada diri sendiri sambil terkikik. Luisa menanggapinya dengan malas. Gadis itu lebih memilih berguling-guling di atas kasur sambil memegang ponsel. Memainkan game masak-masakan. Masaknya di permainan aja. Aslinya tidak pernah masak. Padahal kan itu berguna sekali sebetulnya. Luisa jadi bisa praktek masak seperti yang dia lakukan di game. Tapi lagi-lagi malas adalah satu-satunya alasan yang bisa dia berikan. "Makasih ya, Kak. Iket rambutnya bagus. Eh... ngomong ngomong, iket rambutnya nggak ada yang inisial P gitu?" ujar Della saat akan beranjak keluar dari kamar Luisa. "Emang kenapa?" jawab Luisa malas. Gadis itu tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia bermain game dengan serius. Della meringis. "Ya gapapa, sih. Cuma heran aja. Kenapa Kak Luisa beli yang inisial R. Kok nggak L aja? Kan Nama Kakak, Luisa?" ucapnya. Sontak Luisa terkejut. Ponselnya dia jatuhkan begitu saja di atas kasur. Gadis itu menatap ikat rambut yang dipakai Della nyalang. Kemudian tanpa aba-aba, Luisa turun dari kasur. Menerjang Della yang masih berdiri di depan pintu. "Lepas! Lepas nggak!" serunya marah. Gadis itu berusaha menarik ikat rambut yang dipakai Della. "Ampun, Kak! Tolong! Tolong!" jerit Della saat rambut panjangnya dijambak oleh sang kakak. *** Aisyah tersenyum-senyum saat Al memakan makan siang buatannya dengan lahap. Bahkan pria itu memakan habis semua makanan yang dibawanya tadi hingga tandas. "Alhamdulillah..." ucap Al saat sudah menyelesaikan makannya. Aisyah tertawa geli melihat Al mengelus-elus perutnya yang kini terlihat gendut. "Lo udah lama nggak makan ya, Al? Makanan gue ampe nggak ada sisa sama sekali!" ledeknya. Al tertawa meringis sambil menggaruk kepala belakangnya dan memasang ekspresi konyol. Hal itu sontak membuat tawa Aisyah meledak. "Sorry, Ai. Gue khilaf. Habis masakan lo enak banget!" ucapnya malu. Wajahnya yang memerah begitu lucu di mata Aisyah. Entah kenapa ekspresi konyol seperti itu disukai Aisyah. Tapi, bukannya dia suka semua ekspresi Al? Bagian dari diri Al yang mana yang tidak Aisyah suka? Tidak ada. Aisyah suka semua. Sejak dulu, sejak dia mengetahui bahwa dia mencintai sahabatnya itu. Sahabat yang selalu bersamanya. Menjaganya seperti seorang kakak. Membuatnya tertawa saat dia bersedih. Dan menjadi tempatnya bersandar saat dia rapuh. Namun sayangnya perasaan Al tidak sama dengannya. Pria itu menolaknya terang-terangan. Bahkan dia rela pergi dari rumah karena tidak mau dijodohkan dengannya. Papa Al memaksa pria itu untuk berhenti jadi dokter. Kemudian memimpin perusahaan menggantikan papanya juga menikahi Aisyah yang adalah putri tunggal dari Alfian Dewanto, sahabat sekaligus rekan bisnis papa Al. Aisyah sendiri bingung. Apa sesulit itukah menimbulkan cinta di hati Al. Padahal mereka bersahabat sejak kecil. Kemana-mana bersama, nakal bersama, dihukum bersama. Dia kira di hati Al terselip perasaan cinta, meskipun hanya sedikit. Tapi sayangnya hanya dia yang melibatkan perasaan. Al tidak sama sekali. Bahkan sudah berbulan-bulan pria itu menghindarinya. Tidak memberikan kabar apapun padanya. Dan menolak semua teleponnya. Sejak malam perjodohan mereka, Al menghilang begitu saja. Dan baru-baru ini dia bertemu dengan mamanya. "Ai? Aisyah?" Al mengibaskan tangannya di depan wajah Aisyah saat menyadari gadis itu melamun. Aisyah tergagap. Gadis itu tersenyum kaku pada Al. "Lo mau kerja lagi kan, Al? Gue pulang ya?" ucapnya. Al mengangguk pelan. "Oke, Ai. Makasih banyak ya makan siangnya. Sering-sering ya bawain gue makan! Biar gue ngirit!" balasnya sambil tertawa. Aisyah menoyor kepalanya pelan. "Dasar lo! Maunya gratisan aja!" ledeknya. Gadis itu berjalan menuju pintu. "Mau gue anter, nggak?" tanya Al saat tangan Aisyah mencapai pintu. Aisyah mengibaskan tangannya. Gadis itu menggeleng pelan. "Nggak usah, Al. Lo kan masih harus kerja!" tolaknya. Al manggut-manggut. "Oh... ya udah. Orang gue juga cuma basabasi!" jawabnya asal membuat Aisyah mendelik. "Al!!" geram Aisyah. Al tertawa ngakak di atas sofa. Tawa yang begitu dirindukan oleh Aisyah. Gadis itu cepat-cepat membalik tubuhnya, memunggungi Al. Aisyah menghapus satu tetes air mata yang sudah jatuh ke pipinya. "Gue balik!" pamit Aisyah buru-buru. Kemudian gadis itu bergegas keluar dari ruangan Al. Tidak ingin air matanya dilihat oleh pria itu. Al menatap kepergian Aisyah dengan sendu. Seandainya dia tidak tau jika Aisyah menyimpan cinta untuknya, dia pasti akan benarbenar mengantarnya pulang. Tapi tidak sekarang. Al harus menjaga jarak dengannya. Sampai nanti saat Aisyah sudah benar-benar tidak memiliki perasaan apapun padanya. Karena Al tidak mencintainya. Dia memang menyayangi Aisyah. Tapi hanya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih. Dan tidak akan pernah bisa lebih. *** "Lo mau ikut makan siang bareng kita nggak, Sa?" tanya Riska pada Luisa yang saat itu masih sibuk dengan komputernya. Mata Luisa menatap lurus pada layar komputer. Tidak menoleh sedikitpun pada Riska. Namun bibir tipisnya mengerucut. "Lo ngeledek gue ya? Udah tau laporan gue belom selesai. Ntar habis makan siang kan ada meeting. Kalo laporan gue belom selesai juga, bisa mampus gue!" ketusnya. Riska terkikik. Melihat kertas-kertas di atas meja Luisa yang masih menumpuk. "Ya elah. Ngga bakal mampus juga kali! Bos besar nggak akan marah sama lo! Percaya deh!" ujarnya. Luisa mendengus. "Sumpah lo? Mau jamin gue ngga bakal dimarahin sama Pak Raka?" balasnya. Riska manggut-manggut meski Luisa tidak melihatnya. Karena matanya tak lepas sedikitpun dari komputer di hadapannya. "Sumpah! Kan dia naksir elo! Masa iya dia berani marahin cewek yang ditaksir?" ujarnya. Luisa menoleh pada Riska dengan malas. Pandangannya seakan mengancam Riska. "Lo jangan buat gosip yang nggak-nggak! Kalo sampe ada yang denger dan jadi masalah gue cekik lo nanti!" Riska tertawa terbahak. Gadis itu menarik kursinya ke samping Luisa. Lalu duduk di atasnya. Dia menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Luisa. "Emang lo nggak nyadar ya, kalo Pak Raka itu suka sama lo?" ucap Riska berbisik. Luisa mengerutkan dahinya. "Hah? Lo bercanda kan, Ris?" Riska berdecak. Lalu emukul kepala Luisa dengan dompetnya yang tebal hinggagadis itu meringis merasakan sakit. "Lo peka dikit kek! Udah jelas-jelas Pak Raka itu suka merhatiin elo! Di juga sering nawarin lo pulang kan? Coba kalo karyawan lain? Boro-boro!" ceritanya. Luisa terdiam. Berpikir tentang ucapan Riska. Benar juga sih yang dibilang Riska. Raka sering memperhatikannya di kantor. Tapi Luisa pikir itu hanya sekedar perhatian atasan pada bawahannya. Entah itu menanyakan pekerjaan atau hal lain. Juga seringkali pria itu menyapa Luisa duluan. Padahal Raka terkenal cuek pada bawahan. Tidak pernah menggubris sapaan karyawannya. Luisa mengingat-ingat. Memang beberapa kali Raka menawarinya untuk pulang bersama. Tapi Luisa menolaknya. Karena dia tidak mau merepotkan orang lain. Tapi, masa iya sih Raka menyukainya? Menyukai karyawan biasa seperti dia? Dia kan tidak punya keistimewaan sama sekali? "Nggak mungkin, Ris! Udah sana lo pergi makan siang duluan! Lo makin bikin kerjaan gue nggak selesai-selesai kan nih!" ujar Luisa pada akhirnya. Yang bener saja! Masa Raka naksir dia, pikir Luisa. Riska berdecak kesal. Sahabatnya satu ini memang suka ngeyel kalo dibilangin. "Nggak percayaan banget sih, lo!" ucapnya. Luisa diam tidak menjawab. Dia lebih memfokuskan dirinya untuk mengerjakan pekerjaannya. Dan membiarkan Riska mengoceh panjang lebar. "Lah... ini dia si ratu gosip! Dicariin kemana-mana juga!" tegur Riko pada Riska. Gadis itu hanya bisa nyengir melihat ekspresi kesal Riko. "Hehe... lo cari gue ya?" ucapnya sok manis. Riko berdecak. "Bukan cuma gue! Noh anak-anak juga pada nungguin. Tadi bilangnya mau ngambil hape! Taunya ngegosip disini!" omelnya. Riska meringis kecil. Merasa tidak enak karena membuat temantemannya menunggu. "Sorry! Ya udah ayo berangkat sekarang!" ucapnya. Gadis itu bangkit dari kursinya. Saat Riko mendekati Luisa. "Kamu nggak ikut, Sa?" tanyanya lembut. Luisa menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak deh, Rik. Kerjaan aku masih banyak." Balasnya. "Oh... mau dibantuin nggak?" Riska menarik telinga Riko yang tersenyum genit pada Luisa. Membuat pria itu kesakitan. "Jangan goda-godain Luisa! Dia udah ada yang punya!" bentaknya. Riko menatap kesal Riska. Tangannya bergerak memegangi telinganya yang memerah karena perbuatan gadis itu. "Tega lo Ris! Emang siapa sih yang punya Luisa?" "Itu... si Bos!" ujar Riska asal. Luisa mendelik garang. "Riska!!" serunya kencang. Riska terkekeh. Sementara Riko tampak kebingungan. "Bos siapa?" tanyanya. "Udah ayo buruan! Kita udah ditungguin tuh!" ucap Riska menarik tangan Riko. Lebih baik dia cepat-cepat kabur sebelum sahabat galaknya itu ngamuk. Luisa menghela nafas panjang dan mengelus dadanya pelan. Dia berusaha bersabar agar tidak stress. Riska itu sama saja seperti Della. Selalu saja membuatnya emosi. Untung dia nggak punya riwayat sakit darah tinggi. Bisa-bisa dia kena stroke menghadapi dua gadis itu. Luisa kembali menatap layar komputernya. Kurang dua laporan lagi yang harus dia selesaikan. Lumayan nanti dia masih bisa istirahat di kantin jika pekerjaannya lebih cepat selesai. Baru saja dia akan menyimpan data laporan yang baru di kerjakan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dia kira Riska kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Tapi saat gadis itu melihat sosok yang masuk ke ruangannya, Luisa langsung tertegun. "Pak Raka?" "Hai, Sa! Nggak istirahat?" tanyanya sambil tersenyum manis pada Luisa. Gadis itu menggeleng pelan. "Nanti, Pak. Nunggu ini selesai dulu," jawabnya menunjuk ke layar komputernya. "Kamu istirahat dulu aja! Pekerjaannya nanti diterusin setelah jam istirahat!" balas Raka. Pria itu berdiri di samping meja kerja Luisa. Bersindekap melihat layar komputer Luisa. Jika saja hati Luisa tidak terpaut pada Romeo, pasti Luisa sudah jatuh hati pada pria tampan ini. Raka sungguh sosok pria idaman. Ganteng, kaya, mapan, baik. Sempurna untuk semua gadis. Tapi tidak untuk Luisa. Bagi Luisa sosok idamannya hanya Romeo. Si dokter tampan itu. Pria yang senyumnya mampu melelehkan setiap sendi di tubuh Luisa. Dan setiap kata-katanya seperti mantra yang terus terngiang di telinganya. Pria yang meneleponnya semalam. Sampai membuat Luisa tidak bisa tidur saat dia mengucapkan selamat malam. Hanya sebuah kata yang menurut Luisa begitu manis saat diucapkan Al. "Tapi nanti laporannya mau dipake meeting setelah jam istirahat Pak," ujar Luisa sopan. "Udah gapapa. Nanti aja terusin. Sekarang kita makan siang yuk!" balas Raka. "Tapi, Pak... nanti saya dimarahin Pak Ridwan." "Nanti saya yang bilang sama Pak Ridwan!" Luisa terdiam ragu. Gadis itu menunduk tidak berani menatap wajah bosnya. Menimbang-nimbang antara mengikuti ajakan Raka atau tidak. Di saat dia berpikir, Luisa merasa tangannya tiba-tiba ditarik. Sehingga gadis itu refleks berdiri. Raka menarik tangannya, menggandengnya menuju ke arah pintu. "Saya nggak terima penolakan! Kita makan siang dulu! Baru nanti kamu bisa lanjut kerja!" ujarnya. Pria itu membawa Luisa keluar kantor. Sedangkan Luisa malah terbengong. Memasang wajah bodohnya saat Raka menariknya menuju tempat parkir. Dia tau tidak bisa menolak perintah bosnya itu. Jadi gadis itu hanya mengikuti langkah Raka tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD