Al tersenyum geli melihat Aisyah sedang mencampur tepung dan telur di baskom. Karena tidak hati-hati, tepung berceceran memenuhi kitchen seat. Bahkan sampai mengenai celemek yang dipakai gadis itu.
"Katanya udah jago masak? Masak air ya?" sindir Al.
Aisyah menghentikan gerakan mencampur bahan-bahan untuk membuat kue lalu meletakkan mixer yang tadi dia pegang ke atas meja dapur. Gadis itu memanyunkan bibirnya.
"Emang udah jago tau! Cuma prosesnya sedikit berantakan! Kan lo udah pernah cobain waktu itu!" balasnya ketus.
Al tertawa renyah. Melihat wajah merengut Aisyah adalah hiburan untuknya. Lebih baik melihat wajah kesal gadis itu daripada melihat wajah seriusnya saat memasak. Al menghampirinya dan mengambil alih mixer kemudian menyingkirkan tubuh Aisyah.
Pria itu dengan cekatan mencampur semua bahan dengan mixer sambil membelakangi Aisyah. Sementara matanya diam-diam melirik gadis itu.
"Udah sana lo duduk aja! Biar gue yang bikin. Ntar kalo lo yang bikin gue nggak berani jamin kuenya aman dikonsumsi apa nggak!" ujar Al menyeringai.
Al tersentak saat kepalanya dijitak oleh Aisyah. Namun bukannya kesal, Al malah tertawa terkikik.
"Bercanda kali, Ai. Ngambekan deh lo!"
"Tau ah. Gue males sama lo! Lo bikin aja itu kue! Gue mau nonton tv!" ujar Aisyah. Gadis itu membuka celemeknya kemudian berjalan ke arah pintu dapur.
Al mendengus melihat seringai di bibir tipis Aisyah. "Halah! Bilang aja lo mau lepas tanggung jawab! Pake pura-pura ngambek
lagi!"
Dan benar juga ucapan Al. Tawa Aisyah langsung menyembur. Gadis itu berlari keluar dapur dengan tawa renyahnya meninggalkan Al yang harus bertanggungjawab menyelesaikan kekacauan di dapur yang dia buat dengan muka masam.
***
Al berjalan menuju ruang tengah dimana Aisyah sedang menonton kartun sambil tiduran di sofa. Pria itu menutup muka Aisyah dengan telapak tangannya yang besar, menghalangi pandangan Aisyah dari layar televisi.
"Al!" seru Aisyah kesal.
Al tertawa kemudian mengambil tempat duduk di samping sofa tempat Aisyah tiduran. Dia menurunkan kaki gadis itu ke lantai tanpa aba-aba. Al menyodorkan piring berisi beberapa potong kue bolu buatannya pada Aisyah.
Mata Aisyah berbinar menerima kue dari tangan Al.
"Wah... udah jadi ya?" ujarnya senang.
"Hm... kayaknya enak nih!" pekiknya girang. Gadis itu mengambil sepotong kue lalu melahapnya dengan cepat.
"Enak Al!" serunya.
Al tertawa terkekeh. Pria itu menggeleng pelan. "Jelas enak lah! Kan gue yang bikin. Kalo lo nggak tau lagi deh!" ujarnya bangga.
Aisyah menyipitkan matanya menatap Al. Gadis itu mengendikkan bahu. Kembali menyuapkan potongan kue bolu ke mulutnya. Memakannya dengan nikmat.
***
Raka berjalan memasuki ruang tengah rumah Aisyah dengan langkah santai. Tadi salah seorang pembantu di rumah Aisyah menyuruhnya ke ruang tengah karena Aisyah sedang ada disana bersama dengan temannya.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Raka pun masuk ke ruang tengah mencari keberadaan Aisyah. Pria itu mengernyit saat melihat sosok Aisyah sedang duduk di sofa depan televisi bersama seseorang.
Dahi Raka berkerut menebak-nebak sosok pria yang sedang bergurau dengan Aisyah. Dari punggungnya, Raka seperti mengenal pria itu. Tapi dia tidak tau wajahnya. Raka pun menghampiri mereka.
"Ai..." panggilnya pada Aisyah.
Aisyah memutar badannya. Menoleh pada Raka. Begitu pula dengan pria yang disampingnya. Mata Raka membulat saat melihat siapa pria yang sedang bersama Aisyah. Raka buru-buru berbalik, namun Aisyah dengan langkah cepat menghampirinya. Menahan lengan Raka agar tidak pergi.
"Ka! Lo mau kemana?" ujar Aisyah.
Raka mendengus, membuang pandangannya ke samping. Tak mau bertatapan dengan Aisyah ataupun Al. "Ngapain dia disini?" balasnya dingin.
"Gua yang minta Al kesini, Ka! Please jangan bersikap kayak gitu!" ujar Aisyah pada Raka.
Raka berdecih. "Bersikap kayak gimana maksud lo?"
"Ya nggak gini, Ka. Ayolah... gue mohon kalian damai. Gue udah maafin Al. Lo juga harusnya bisa-"
"Gue maafin dia? Sorry ya, Ai. Gue nggak bisa. Bokap gue hampir meninggal karena dia. Dan dia nggak peduli sama sekali! Dia malah sibuk sama dunianya sendiri! Dia nggak pernah mikirin kami sama sekali!" sindir Raka tajam.
"Tapi itu kan udah lama, Ka! Seenggaknya Al sekarang udah kembali. Masalahnya juga udah lewat. Pleaselah..." desah Aisyah lemah. Dia tau ini akan terjadi. Raka pasti menolak kehadiran Al.
Al terdiam menatap Raka yang seakan jijik melihatnya. Terlihat sekali pria itu muak padanya. Al menghela nafas panjang. Lalu bangkit dari duduknya.
"Gue pulang Ai," ujarnya seraya berlalu keluar dari ruang tengah rumah Aisyah.
"Al... " Aisyah berusaha menahan kepergiannya. Namun Al tetap melanjutkan langkahnya.
"Gue balik, Ai. Udah malem."
"Nggak, Al. Lo nggak boleh kemana-mana. Ka... please lah jangan gitu!" Aisyah beralih pada Raka.
"Udahlah, Ai."
"Lo nggak boleh pergi, Al. Lo baru sebentar disini," ujar Aisyah memelas.
"Besok gue kesini lagi," balas Al.
"Nggak! Pokoknya lo nggak boleh balik sekarang!" Aisyah bersikeras menahan kepergian Al.
Raka mendengus. Dari sudut matanya, pria itu melirik Al yang bergeming tidak berusaha mengatakan sesuatu padanya. Dia sungguh kecewa pada Al. Mengingat kembali masa lalu mereka, membuatnya kembali merasakan sakit hati.
"Biarin aja, Ai. Dia emang pengecut. Seenaknya lari dari masalah. Kabur gitu aja tanpa mau repot-repot peduli sama orang lain," sindir Raka pada Al.
Matanya menatap lurus ke depan. Dia tidak melihat perubahan ekspresi sendu Al saat dia berkata seperti itu. Raka sudah terlanjur sakit hati pada pria itu.
Aisyah mendelik. Gadis itu sudah akan membuka mulutnya untuk membentak Raka, namun Al menahannya. Pria itu memberi isyarat pada Aisyah untuk tidak melakukannya.
"Gue pulang. Udah malem. Assalamualaikum," pamitnya.
Aisyah melepaskan tangannya dari lengan Al. Membiarkan pria itu berjalan keluar dari rumahnya. Menghela nafas panjang, Aisyah menatap Raka dengan wajah sendunya.
"Gue tau lo kecewa sama Al. Lo sakit hati sama dia. Tapi harus lo inget, Ka! Yang terjadi waktu itu bukan cuma karena kesalahan Al. Kita semua punya andil di dalamnya," ujar Aisyah lirih.
Gadis itu berlalu melewati Raka. Naik ke tangga menuju ke kamarnya. Meninggalkan Raka sendirian termanggu di ruang tengah.
Raka menghempaskan tubuhnya ke atas sofa empuk disana. Pria itu menenggelamkan kepalanya ke lutut.
Mengacak rambutnya asal, Raka kembali terngiang kata-kata Aisyah. Dia sadar jika itu memang bukan hanya kesalahan Al. Namun dia tetap tidak bisa memaafkan Al.
***
Al menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Dia merasa lelah karena seharian ini banyak pasien di klinik. Pria itu memijit kepalanya yang terasa pening. Matanya melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja. Diraihnya ponsel berwarna gold itu.
Saat kunci ponselnya terbuka, sudut bibir Al terangkat membentuk sebuah senyuman. Matanya bersinar saat melihat wajah cantik bagai bidadari yang dia pakai sebagai wallpaper ponselnya.
Al mengulurkan tangannya meraba layar ponsel. Mengusap lembut foto yang dia ambil diam-diam saat mereka bersama di Mall beberapa waktu lalu. Perlahan, jarinya menelusuri foto sang bidadari. Seolah sedang merasai wajahnya sungguhan.
Karena begitu menghayati, Al sampai mencium layar ponselnya secara tidak sadar. Kemudian dia terkikik sendiri. Al menggaruk kepalanya sambil memasang wajah malunya. Entah malu pada siapa. Apa dia baru saja membayangkan mencium gadis itu, batinnya dalam hati.
Al kembali tersenyum. Dan kali ini senyumnya berujung pada tawa kecil. Sepertinya dia perlu berobat ke psikiater karena baru saja terlintas di benaknya suatu saat ketika dia pulang ke rumah, wajah cantik gadis itulah yang menyambutnya di depan pintu.
Al menghela nafas panjang. Pria itu memegangi dadanya yang terasa berdebar kencang. Kenapa hanya dengan membayangkannya saja, bisa membuat dia berdebar-debar seperti itu?
Sebuah suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Al berusaha memusnahkan senyumnya. Mengembalikan wajahnya sedatar sebelumnya. Lalu mempersilahkan masuk orang yang menunggu di luar pintu ruangannya.
***
Luisa yang baru tiba di ruangannya mengernyit saat mendapati sebuah kotak persegi berukuran besar di atas meja kerjanya. Gadis itu mencabut sebuah note tempel yang ada di bagian atas kotak.
Temui aku di Restoran Claire jam tujuh malam.
~R~
Mata Luisa membulat penuh. Gadis itu terkejut dengan apa yang dia dapatkan pagi ini. Jantungnya berdetak kencang saat melihat insial R yang tertulis di atas notes.
"Ciye.... yang punya pengagum rahasia sekarang," ledek Riska yang tiba-tiba sudah ada di belakang Luisa.
Luisa melotot pada Riska. Buru-buru merebut kotak persegi untuknya yang akan dibuka oleh Riska. Riska meringis saat melihat Luisa memasang ekspresi seramnya.
"Ngapain lo? Mau buka-buka tanpa ijin!" sergahnya.
Riska tersenyum sok manis pada Luisa. "Kan gue kepo, Sa."
"Penyakit lo nggak sembuh-sembuh emang! Kepo aja jadi orang!" cibir Luisa.
Riska terkikik. Matanya melirik pada kotak tadi yang kini dibuka perlahan oleh Luisa. Gadis itu terkesiap saat melihat sebuah dress berwarna pink ditarik keluar oleh Luisa dari kotak persegi itu.
Riska berdecak kagum melihat Luisa mengepas dress itu ke badannya. Luisa terlihat begitu senang menerima dress itu. Matanya bersinar cerah. Bukan hanya senang karena diberikan dress cantik, namun juga karena orang yang memberikannya.
"R itu siapa sih, Sa? Lo kenal?" tanya Riska penasaran.
Luisa tersenyum kecil seraya mengangguk menjawab pertanyaan Riska.
My Romeo, ujarnya dalam hati.
***
Mata Al yang tadi redup karena kelelahan, kini membulat sempurna. Terbuka lebar kala melihat sosok yang berdiri di depan pintu ruangan praktiknya. Dia kaget, sangat. Dan saking kagetnya Al sampai berdiri dari duduknya.
Dia tidak menyangka bahwa orang itu akan datang menemuinya. Terlebih dengan ekspresi yang biasa saja. Tanpa raut tegang dan penuh emosi seperti beberapa hari lalu saat mereka bertemu di rumah Aisyah.
Dengan canggung, Raka masuk ke dalam ruangan praktik Al. Tanpa melihat wajah Al yang tercengang karena kedatangannya. Mengamati setiap jengkal ruangan tempat Al mencari nafkah selama ini.
Sedang Al terdiam di tempat. Membiarkan Raka melihat-lihat ruangannya. Pria itu tersenyum tipis berusaha menepis kecanggungan di antara mereka.
Tanpa disuruh, Raka menghempaskan pantatnya di sofa tidak jauh dari meja kerja Al. Duduk menyilangkan kakinya di atas. Pria itu tersenyum mengejek.
"Lumayan nyaman juga tempat kerja lo! Pantes aja lo betah sampe nggak pulang-pulang!" sindirnya.
Al mengendikkan bahunya sekilas menjawab sindiran Raka. "Lo mau minum?" tanyanya.
Raka mendengus. "Minuman gue minuman mahal. Apa disini ada?" ujarnya meremehkan.
Al tersenyum kecil. "Disini cuma ada air putih. Kalo lo mau."
Pria itu bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kulkas di sudut ruangan. Mengambil sebotol air putih dingin. Juga tak lupa mengambil gelas bersih dari rak kaca di sebelahnya. Dan menghidangkannya di depan Raka.
"Tapi kalo lo emang mau Martini, gue pasti beliin. Meskipun beresiko gue ngga makan sebulan."
Tawa keras Raka membahana di ruang kerja Al. Pria itu terbahak mendengar lelucon Al. Setelah cukup lama Raka tertawa, pria itu pun akhirnya menghentikan tawanya.
Raka pun membuka suara, "Gue kasih lo satu kesempatan buat nebus kesalahan lo yang lalu!" ujarnya tegas.
Sementara Al terdiam tanpa suara. Dia hanya menatap Raka tanpa ekspresi. Meskipun sejuta kegundahan dan juga penyesalan memenuhi benaknya.
"Papa sakit. Gue harap lo mau pulang! Temui Papa!" ucap Raka lirih.
Al menghela nafas panjang. "Papa nggak akan mau ketemu sama gue. Yang ada gue bakal diusir lagi."
"Dasar bodoh! Lo itu emang nggak peka ya, Al!" maki Raka emosi.
"Emang," balas Al santai.
Raka menggertakkan giginya dengan emosi. Tangannya mengepal kuat. Jika saja dia tidak ingat akibat dari amarahnya dulu, dia pasti sudah melayangkan tinjunya pada Al. Menghajarnya sampai sekarat.
Tapi kemudian bayangan air mata mamanya juga pandangan sendu papanya menurunkan emosinya seketika. Dia tidak boleh menambah rumit masalah. Dia hanya perlu Al pulang.
Raka bangkit dari sofa tempat dia duduk tadi. Berjalan perlahan menuju pintu. Sebelum tangannya menggapai gagang pintu, Raka menoleh pada Al.
"Papa butuh elo, Al! Meskipun di mulut dia bilang benci. Nggak sudi liat lo lagi. Tapi belum tentu hatinya bilang sama. Lo pasti tau itu kan, Romeo Milan."
Al terpaku di tempatnya kini. Hatinya terasa perih. Memikirkan papanya yang menurut cerita Raka sedang sakit. Dia ingin sekali pulang. Tapi tidak bisa. Dia tidak akan sanggup kembali ke rumah. Karena dia sudah bersumpah tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di kediaman keluarga Milan sekalipun mereka mengemis-ngemis padanya untuk kembali.
Pria itu menghela nafas panjang. Matanya menatap kosong ke arah pintu tempat Raka menghilang. Entah sampai kapan dia akan terus seperti itu.
***
Luisa mematut bayangannya di cermin. Gadis itu tersenyum bangga melihat penampilannya malam ini. Dia begitu luar biasa cantik menurutnya, entah menurut orang lain. Luisa menghela nafas berkali-kali. Berusaha mengusir kegugupan yang dia alami.
Saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam tepat, gadis itu pun berlalu keluar dari kamarnya. Berjalan keluar rumah dengan berjinjit. Takut terpergok Della. Karena dia malas bertemu gadis bermulut ember seperti adiknya itu. Nanti pasti Della akan berkomentar panjang lebar saat tau Luisa janji bertemu Al malam ini.
Setengah jam kemudian, Luisa pun sampai di depan Restoran Claire tempat dimana dia dan Al akan bertemu.
"Nona Luisa?" Seorang pria berpakaian rapi menyambut Luisa di depan pintu masuk restoran. Seakan sudah mengenal Luisa.
Luisa mengangguk dan mengikuti kemana arah pria itu berjalan. Gadis itu berdecak kagum melihat kemewahan restoran yang dia datangi. Dia yakin makanan disini pasti sangatlah mahal.
"Itu dia meja anda, Nona!" ucap si pelayan dengan sopan. Menunjukkan sebuah meja khusus dengan tangannya.
Dan disana sudah berdiri sosok yang sangat dia kenal. Pria tampan dengan setelan jas rapi menyambutnya seraya tersenyum manis. Luisa tertegun.
Gadis itu tidak bisa bergerak saat pria itu menghampirinya. Menggandeng tangannya dan membimbingnya untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Luisa mengedip beberapa kali. Meyakinkan dirinya jika ini bukan mimpi.