Luisa tersenyum kecut saat matanya tanpa sengaja menangkap sebuah nama yang dia kenal tertera di kartu undangan. Gadis itu berdecih. Moodnya yang sejak pagi dia jaga agar stabil pun langsung down.
Dengan menahan amarah, disahutnya undangan dia atas meja kerjanya. Membukanya dengan kasar. Dan nama yang dulu memenuhi hatinya itu memang ada disana. Luisa menggertakkan giginya emosi melihat isi undangan pernikahan itu.
Ello Tanudjaya
&
Angel Malika Johan
Dibuangnya undangan itu ke tempat sampah dengan kasar. Melihat nama mereka membut sakit hati yang dulu sudah berusaha dia kubur dalam-dalam kini kembali ke permukaan.
Luisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Menangis dalam diam. Mengingat kesakitannya akibat para pengkhianat itu.
Dua tahun yang lalu, dua orang yang begitu disayanginya itu mengkhianatinya. Mereka menusuknya dari belakang. Ello, pacar yang sudah dua tahun bersamanya menjalin kasih dengan sahabatnya saat kuliah, Angel.
Hubungan itu berjalan cukup lama. Dan Luisa yang begitu polos tidak pernah mengetahuinya. Sampai suatu ketika Luisa yang pulang dari liburannya ke Lombok, gadis itu memergoki mereka tengah jalan bersama.
Awalnya dia masih berpikir positif. Namun saat kedua, ketiga dan seterusnya Luisa memergoki mereka, gadis itu langsung memutuskan pertunangannya dengan Ello. Lalu kabur ke Jakarta. Meninggalkan rumah dan keluarganya di Surabaya.
Lalu ikut merantau bersama sepupunya, Della. Luisa pun kemudian diterima bekerja di sebuah perusahaan besar disana.
Dia memulai hidup barunya disana. Mencoba melupakan masa lalu yang sudah membuatnya sakit hati. Tapi sialnya, ternyata Ello yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan dipindahtugaskan ke Jakarta. Pria itu membawa serta Angel bersamanya.
Luisa pernah bertemu mereka beberapa kali. Dan gadis itu mencoba untuk bersikap biasa saja, meskipun sebenarnya dia ingin menenggelamkan mereka ke dasar Samudra Hindia.
Itulah sebab yang bisa mendatangkan undangan pernikahan mereka ke kantornya. Dengan kesal Luisa menggebrak mejanya dengan kencang. Hal itu membuat Riska, teman satu divisinya merasa terheran.
Gadis itu mendekati Luisa yang sedang merebahkan kepalanya di meja, menangis sesenggukan. Riska menyentuh bahunya pelan. Mencoba menyingkirkan rambut panjang Luisa yang menutupi wajah cantiknya.
"Sa... kenapa lo?" tanyanya pelan
Luisa masih menangis tersedu. Menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengannya yang terlipat. Gadis itu terus merutuki dirinya sendiri. Kenapa rasa sakit itu masih saja muncul. Meskipun dia sudah berusaha melupakannya.
"Luisa, lo nangis?" ucap Riska lirih.
Gadis itu menarik kursinya mendekat pada meja Luisa. Riska mengusap-usap punggungnya. Riska melirik pada kartu undangan yang teronggok di tempat sampah dekat mereka.
Tadi saat dia datang, dia sempat membuka kartu undangan itu. Selain Della, Riska adalah satu-satunya orang yang mengetahui masalah Luisa dengan Ello.
Gadis itu menghela nafas panjang. Menepuk-nepuk pundak Luisa pelan. "Udah, Sa. Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Lo kan udah setuju buat maafin mereka," ujarnya
"Sakit Ris," ucap Luisa lirih.
"Iya gue tau. Tapi lo nggak bisa gini terus. Lo harus move on!"
"Lo nggak tau! Nggak ada yang tau perasaan gue! Kalian cuma bisa bilang udah-udah! Kalian pikir gampang buat kasih maaf ke mereka yang udah nusuk lo dari belakang!" seru Luisa.
Riska terdiam sejenak. Gadis itu kembali membuka suara, "Iya gue emang nggak ngerti apa yang lo rasain. Tapi kalo lo terus kayak gini, lo sendiri yang rugi! Sedangkan mereka malah seneng-seneng!" lirihnya.
"Lo itu harusnya tunjukin ke mereka kalo lo sekarang udah bisa move on! Tunjukin kalo hidup lo lebih baik tanpa mereka! Biar mereka nggak ngasihanin elo terus!" sambung Riska.
"Gue emang menyedihkan dan patut buat dikasihani, Ris!" jawab Luisa terisak.
"Nggak! Mereka yang harusnya lo kasihani! Para pengkhianat kayak mereka itu harus dikasih pelajaran!" ujar Riska marah.
Gadis itu ikut sakit hati mengingat bagaimana sikap sombongnya Ello dan Angel saat mereka mengantar undangan tadi pagi kesana.
Untungnya luisa tadi pagi ikut meeting di luar bersama Pak Julian, salah satu direksi di Indo Milan dan baru kembali saat hampir makan siang. Kalau tidak, gadis itu pasti makin merasa sakit hati diremehkan oleh Angel.
"Lo harus bales mereka, Sa! Sampe mereka nyesel! Sampe mereka udah nggak bisa sombong lagi!" ucap Riska menggebu-nggebu.
Luisa mendongakkan kepalanya, melihat wajah Riska yang memerah menahan amarah. "Gue harus gimana? Gimana cara bales mereka?"
"Lo harus cari calon suami yang kaya raya! Terus lo tunjukin sam mereka! Biar mereka malu karena hidup lo lebih bahagia dari pada mereka yang udah hianatin elo!"
Luisa terdiam. Dahinya mengernyit. Bagaimana bisa dia mencari calon suami yang kaya raya? Dimana dia harus mencari pria seperti itu?
"Gue nggak mungkin bisa dapet calon suami kayak gitu, Ris. Mau cari dimana coba?" balas Luisa putus asa.
Riska menyeringai. "Lo ikutin gue! Gue bakal bantuin elo cari cowok kaya itu! Pokoknya lo harus dapet cowok kaya."
Luisa mendesah pasrah. Gadis itu hanya mengangguk menyetujui penawaran Riska. Setelah dia pikir-pikir benar juga yang dibilang Riska. Dia tidak boleh terus terlihat menyedihkan. Karena Angel akan semakin menginjak-injaknya.
Gadis itu memandangi cermin di depannya setelah membasuh wajahnya di wastafel. Mencuci mukanya yang kusut setelah menangis kejar tadi. Dia bertekat untuk mengikuti saran Riska. Memberi pelajaran pada Ello dan Angel. Dia bersumpah akan membuat mereka malu setengah mati. Seperti yang mereka lakukan padanya dua tahun lalu.
***
"Lo yakin Ris, ini tempat yang tepat?" ucap Luisa pada Riska di telepon malam itu.
"Iya, Sa. Itu kan pesta orang-orang kaya. Pasti banyak pengusaha muda yang ada disitu. Elo coba deh deketin mereka. Siapa tau elo bisa dapetin salah satu diantara mereka!" balas Riska.
Luisa mendesah lirih. Menyapukan pandangannya ke sekitar ruangan besar itu. Dia bisa sampai disini dengan bantuan Riska yang sepupunya punya koneksi di gedung itu.
Dimana dia harus memulainya? Luisa menghela nafas panjang saat suara pembawa acara mulai membuka acara amal tahunan itu. Banyak diantara mereka yang hadir adalah orang-orang kaya. Para pengusaha sukses yang sedang membangun image mereka di depan publik dengan menghambur-hamburkan uang mereka yang bertumpuk untuk benda-benda yang sedang dilelang.
Perbuatan yang memuakkan menurut Luisa. Bagaimana mungkin semua orang berlomba-lomba memperebutkan barang sepele dengan harga fantastis. Kalau Luisa sih ogah banget, mending duitnya ditabung buat umroh saja. Kalau ingin beramal tinggal pergi ke panti asuhan saja kan? Tidak perlu cari muka di depan kamera.
Luisa tersentak saat sebuah tepukan kecil mendarat di pundaknya. Gadis itu terlonjak kaget. Sehingga membuat orang yang menepuk pundaknya tadi terkekeh. Luisa memasang muka masamnya. Kesal pada pria itu.
"Sendirian?"
Luisa berusaha tersenyum tipis. Udah tau sendirian tapi masih nanya, batinnya.
"Iya," jawabnya singkat.
Pria itu terlihat mengangguk-angguk pelan.
Luisa mengamatinya dari atas hingga bawah. Sepertinya dia orang kaya. Wajahnya lumayan juga. Diliriknya jas yang dipakai pria itu. Agaknya jas mahal itu. Otak Luisa pun langsung bereaksi cepat. Ini saatnya.
Dengan senyum yang begitu manis, Luisa mendekatinya. Mencoba membuka pembicaraan dengannya. Berusaha menjalin keakraban dengan pria yang ditaksir umurnya sebaya dengan dirinya itu.
Rupanya pria bernama Raka itu adalah seorang direktur muda yang kini memimpin perusahaan keluarganya.
Gadis itu langsung bisa menebak betapa kayanya pria itu. Raka orangnya lumayan ramah. Dia supel. Gampang akrab dengan orang. Luisa pun dengan mudah berbincang dengannya.
Luisa hanya bisa mengangguk-ngangguk saat Raka bercerita mengenai keluarganya. Raka yang masih muda terpaksa memimpin perusahaan milik keluarganya karena kakaknya menolak untuk menjalankan perusahaan. Dan lebih memilih untuk mengabdi kepada masyarakat dengan ilmu yang dia miliki.
Luisa tidak bertanya lebih lanjut apa pekerjaan yang kakaknya. Terlihat sekali raut wajah sendu Raka saat bercerita tentang kakaknya. Sepertinya pria itu merindukan kakaknya.
Luisa tersenyum tipis saat Raka tiba-tiba berpamitan ke toilet saat sedang berbincang dengannya. Gadis itu menghabiskan minumnya. Kemudian beranjak menuju meja panjang yang di atasnya terdapat banyak makanan. Berniat mengambil puding yang terlihat lezat dari sana.
Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, gadis itu tanpa sengaja menginjak gaunnya sendiri dengan sepatu hak tinggi yang dia pakai. Luisa terjatuh tepat di bawah meja berisi makanan. Gadis itu memegangi kakinya yang terasa sakit sekali.
Gadis itu mencoba bangkit dengan berpegangan pada kaki meja. Sialnya, taplak meja yang panjang hingga menjuntai ke lantai itu tersangkut tangannya. Hingga piring berisi makanan di atasnya terjatuh tepat ke tubuh Luisa
Gaun biru laut yang dipakainya pun kotor terkena tumpahan berbagai macam makanan. Luisa meringis saat merasa menjadi pusat perhatian, gadis itu menutup wajahnya malu. Berusaha pergi dari sana. Namun karena kakinya terkilir, Luisa tidak bisa berdiri sendiri.
Untungnya ada seorang pelayan yang membantunya di saat semua orang terbengong melihatnya berlumuran kuah rendang dan juga bakso. Dengan menahan malu, Luisa mencegat taksi di depan gedung setelah berterimakasih pada pelayan baik itu.
Di sepanjang jalan, Luisa menangis tersedu. Benar-benar sial nasibnya. Niatnya ingin mencari pria kaya yang bisa dipacari, malah dia mendapat malu. Luisa bersumpah seumur hidupnya dia tidak akan lagi kembali kesana. Meskipun tempat itu penuh dengan laki-laki kaya sekalipun.
Si sopir taksi merasa kebingungan melihat Luisa yang menangis terisak. Pria paruh baya itu segera meminggirkan taksinya. "Neng, kenapa nangis? Baru diputusin pacarnya ya?" tebaknya.
Luisa makin terisak. Apa dia sedang mengejeknya? Jangankan pacar, gebetan saja dia tidak punya. Tangisnya makin kencang. Setelah Ello dan Angel, kini sopir taksi pun ikut mengejeknya.
"Huaaa!! Gue dikatain!" tangisnya.
Si sopir taksi pun panik melihat tangis Luisa yang makin kencang. "Aduh, Neng. Jangan nangis! Nanti dikira orang saya mau macem-macemin Eneng! Diem ya, Neng!"
Luisa menangis kian kencang. Biar saja si sopir taksi ini digebuki masa karena dikira berbuat jahat padanya. Biar digebuki sampai mati pun Luisa tidak peduli. Malah dia ingin sekali membunuh orang sekarang ini.
"Eh, Neng! Malah makin kejer! Gimana sih ini!" gerutu si sopir taksi karena Luisa tak kunjung berhenti menangis.
"Ya udah mending Neng turun disini aja deh! Daripada nanti saya dihajar masa karena dikira penjahat! Turun Neng!" suruhnya.
Luisa menghentikan tangisnya. Dia mendelik pada si sopir taksi songong itu. Gadis itu menggeram marah. Berniat menendang perut gembulnya. Namun dia lupa jika kakinya terkilir. Alhasil Luisa malah berteriak kencang kesakitan.
"Huaaa!! Kaki gue! Kaki gue patah!" teriaknya panik.
Si sopir langsung terkejut. Melihat kaki Luisa yang memang membengkak. "Lah? Kakinya sakit ya Neng? Pantesan nangis mulu. Sampe bengkak gitu. Kayaknya harus diamputasi itu, Neng!" ucapnya asal.
Luisa menjerit kencang. Kurang ajar sekali ini si sopir taksi. Bisa-bisanya mendoakan kakinya diamputasi. Awas ya, nanti kalau kakinya sembuh. Pasti akan dia cari itu si sopir taksi. Terus dia amputasi lehernya, geram Luisa.
"Kaki gue... huaaa!!" tangisnya.
"Aduh... gimana ini! Saya anter ke rumah sakit ya, Neng?" tawar si sopir taksi.
"Udah cepetan! Jangan banyak omong! Kaki saya sakit banget ini!" omel Luisa.
"Iya-iya. Duh... ngerepotin aja si Eneng. Udah bau, cerewet, nangisnya kenceng lagi!" gerutu pria itu membuat Luisa langsung mendelik tajam.
Gadis itu hanya bisa merintih kesakitan saat si sopir mengantarnya ke sebuah klinik. Luisa memandang kesal pria itu. Bisa-bisanya dia malah dibawa ke klinik bersalin. Astaga!
"Pak! Gimana sih ini! Bapak gak bisa baca apa? Ini klinik bersalin! Kenapa Bapak bawa saya kesini!" ujar Luisa geram.
Si sopir hanya cengar-cengir sambil menggaruk kepala plontosnya. "Aduh, Neng. Maapin saya! Habisnya saya nggak tau jalan. Baru jadi sopir taksi!" jawabnya membuat Luisa terbelalak.
Astaga, nasibnya sial sekali hari ini. Luisa menepuk dahinya pelan. Tadi kakinya yang sakit. Kini kepalanya juga ikut pusing. Gadis itu menangis tersedu.
"Udah jangan nangis, Neng! Saya panggilin suster biar bantu Eneng masuk! Saya nggak bisa nganter. Udah malem. Saya mau pulang!" ujarnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah sakit. Meninggalkan Luisa yang syok.
Luisa menangis terisak. Nasibnya benar-benar sial.