5. Menegaskan Status

1215 Words
Akhirnya, Indira berhasil mengajak Regar untuk menyaksikan secara langsung bagaimana putri kesayangannya pentas. Sedari tadi Paula terus mengumbar senyumnya. Jarinya menari di atas tuts piano. Sesekali ia bersitatap ke arah sang ayah yang ternyata hadir di tengah-tengah penonton. "Cantik banget si Paula," celetuk Indira masih tetap fokus menatapi Paula di atas panggung. Ia sendiri tak sadar jika sedari tadi menjadi perhatian Regar. Lelaki yang tengah duduk di atas kursi roda itu mengulas senyumnya memandangi wajah polos Indira yang terkagum-kagum menyaksikan penampilan piano yang suaranya mengalun merdu itu. "Tentu! Anak saya.." ucap Regar dengan bangganya. Tatapan kesal Indira mengarah pada Regar, lelaki di sampingnya itu memang sangat percaya diri. Tak lama kemudian, setengah main jalannya permainan piano Paula. Sesosok wanita tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka berdua. Ia mengambil duduk di sebuah kursi yang terletak tepat di samping kursi roda Regar. "Ekhm! Maaf saya terlambat." "Hm." Hanya deheman singkat yang Regar berikan. Dengan susah payah menelan ludahnya sendiri, Indira paham dengan situasi dan kondisi yang rasanya amat mencekik dirinya itu. Pasalnya, dirinya, Regar dan mama kandung Paula duduk di satu deretan yang sama. Ia sesekali melirik wanita seksi yang berpenampilan rapih itu. Indira yakin, bahwasannya mama Paula menyempatkan waktunya disela-sela sibuk mengurus kantor. "Halo? Saya Pewita. Mama Paula." Momen tak terduga dan langka. Indira sempat melongo sesaat. Ia mengira bahwasannya wanita itu akan mengabaikan kehadirannya. Namun ternyata, di depan Regar. Wanita yang berstatus sebagai mama Paula dan mantan istri Regar itu menyapanya. Dan, kedua mata Indira semakin melotot ketika sebuah tangan putih mulus mengarah padanya. Kegugupannya tak dapat tersembunyi dengan apik. Indira menarik napasnya dan mulai menjabat tangan yang mengudara itu. "Saya Indira. Ee-ee kakak Paula." Kakak. Ya, mungkin hanya itulah yang cukup Pewita ketahui. Sungguh gila apabila Indira mengenalkan identitas dirinya yang sesungguhnya. Kecanggungan pasti akan semakin mendominasi di antara interaksi yang mereka lakukan. Tetapi siapa sangka. Regar yang mendengar jawaban Indira merasa kurang puas itu menyahut, "Sayang, kamu lupa?" Sayang!? Nuhun Gorengan jatuh? Terkesiap karena dipanggil dan diberi senyuman manis oleh Regar, Indira terpaksa mengukir senyum gregetnya. Apa-apaan duda beranak satu ini? Ia tak paham kondisi dan perasaan diantara perempuan! Sialan. "Sayang?" "....." Pewita awalnya masih tak percaya dengan Regar yang memanggil Indira dengan sebutan demikian. Hingga ia putuskan untuk bungkam dan menunggu kelanjutan perkataan mantan suaminya itu. Sekali helaan napas kasar Indira terdengar oleh Regar. Ia merasa puas. Saatnya untuk mengerjai calon istrinya itu. "Saya tanya, kamu lupa? Mengapa kamu berbohong di depan mama Paula?" "Y-ya?" Indira menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap Regar tak percaya. Sementara ia pun dapat dengan jelas melihat tatapan tak suka yang terpancar terang-terangan dari mata cantik Pewita. "Pewita?" panggil Regar sembari menoleh kepada mantan istrinya itu. "Iya?" "Kenalkan. Ini Indira. Calon istri saya, sekaligus mama tiri Paula. Baik dan pengertian pada putri kita, kamu tak perlu khawatir." Regar tersenyum manis. Bertingkah semaunya sendiri memang telah mengakar didiri Regar. Ayah satu anak itu memang selalu berbicara terang-terangan. Ia terlalu bersikap acuh pada dampak yang nantinya akan ditimbulkan. Pewita mengulas senyumnya. Manis sekali. Hampir Indira tertipu jika itu merupakan senyum tulus seorang ibu. "Oh jadi ini. Baguslah.. kita bisa 'kan mulai berbagi tugas?" tanya Pewita pada Indira tiba-tiba. Indira pun hanya bisa menganggukinya. Lantas apalagi yang hendak ia berikan sebagai jawaban? Ia sudah merasa tak enak hati karena berbohong di awal pertemuan. Hendak menolak? Mana bisa. Toh memang apa yang dikatakan Regar benar adanya. Ia harus mulai memberanikan diri menghadapi sikap mama Paula yang belum bisa terdeteksi oleh dirinya. Beberapa saat kemudian, acara pentas itu usai. Paula sangat bahagia karena mendapat juara 2. Baginya sudah lumayan dari pada tahun kemarin yang tak mendapatkan hadiah apapun. "Mama!!" teriak gadis kecil itu sembari mengangkat piala emasnya. Ia berlari kecil menghampiri Pewita. Memeluknya erat. Sekuat tenaga Pewita mengangkat tubuh Paula dan membawanya ke dalam gendongan. "Putri cantik Mama. Juara dua! Hebat!" "Paula pengennya juara satu! Tapi nggak apa-apa deh dari pada nggak dapat juara. Ya 'kan Daddy?" "Iya betul. Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Nanti diacara pentas selanjutnya semoga Paula bisa juara satu ya.." harap Regar. Tangan panjangnya terulur mengusap rambut gadis kecil itu. Potret keluarga bahagia, menurut Indira. Lantas mengapa bisa wanita sempurna, penyayang, dan pekerja keras seperti Pewita ini diceraikan oleh Regar? Regar benar-benar masih normal 'kan? Indira benar-benar tak percaya jika ia nantinya akan bersaing dengan Pewita. Tak sanggup! "Kak Rara?" "Y-ya?" Indira tersentak dari lamunnya ketika mendapati Paula memanggilnya. Gadis kecil itu sedikit menunduk dan menunjukkan senyum sedihnya. "Kenapa Sayang?" Indira mencoba bertanya. "Paula minta maaf ya? Kak Rara nggak marah 'kan?" Melihat kedua bola mata Paula yang kini menatapnya dengan begitu polos dan tulus untuk mendapat maaf darinya. Indira benar-benar harus bersyukur nantinya jika ia akan menjadi ibu sambung untuk Paula. Gadis kecil itu benar-benar telah mengerti cara meminta maaf. Indira tersenyum, "iya Sayang. Kak Rara nggak marah kok. Memangnya Paula salah apa?" Paula menggeleng. Lalu ia menatap mamanya yang juga tersenyum. Dapat dengan jelas Indira lihat, bahwa Pewita tersenyum sinis ketika Paula memanggilnya dengan sebutan 'kakak'. Tapi tak masalah. Mungkin memang seperti itu cara Pewita tersenyum. "Mas, saya izin bawa Paula ke Mall." "Baiklah." "Hati-hati ya Sayang.." Regar mengusap kepala putrinya lagi. Usai kepergian Pewita yang membawa Paula. Indira pun kembali mengantar Regar untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan pulang pun, Indira tak mengeluarkan kata. Ia hanya diam menatapi jendela di sebelahnya. Hingga..sebuah tangan menggenggam tangannya tanpa aba-aba. "Ee-eh." "Kenapa? Tidak boleh? Lantas, tangan siapa yang boleh? Pewita?" Bugh! Satu pukulan kecil mendarat di d**a Regar. Lelaki itu mengaduh dan berakting kesakitan. "Sepertinya kamu bernafsu sekali dengan d**a saya. Hingga tiap hari tak pernah absen untuk memukulinya." "Dih! Jangan terlalu percaya diri ya Mas! Lagian d**a Kenan lebih lebar dan menarik," kata Indira tanpa menatap Regar. Ia sesungguhnya merutuki perkataannya sendiri. Bisa-bisanya ia membandingkan d**a calon suaminya dengan d**a teman dekatnya. Celaka di depan mata! Regar tiba-tiba melakukan pergerakan yang sungguh tak pernah Indira bayangkan. Apalagi posisi keduanya yang tengah duduk di kursi belakang, dengan sopir yang fokus menyetir di depan. Tiba-tiba Regar merangkul lehernya. Hingga keduanya berdekatan dengan jarak tiga jari. Deru napas Regar terdengar tak tenang. Indira hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Pikirannya justru tertuju pada bapak sopir taxi yang menyetir di depan. Apakah beliau melihat keduanya? Sial! Bisa-bisa menimbulkan kesalahpahaman. Ketika Indira hendak menjauhkan wajahnya, Regar justru menyatukan hidung mereka. Ia berkata dengan suara serak, "Bergerak sedikit lagi, bibir saya yang akan bertindak." Tak mampu lagi mengedipkan matanya. Indira pasrah. Ditengah kepasrahannya dan juga pikirannya yang tak karuan. Ia sebenarnya menebak-nebak, sebenarnya apa yang hendak Regar lakukan terhadapnya? Mengapa juga harus sekarang dan di sebuah taxi!? "Jangan bandingkan saya dengan lelaki lain. Apalagi lelaki yang dekat dengan kamu. Saya benci. Saya adalah saya. Sekali pun diri saya tidak lebih baik dari dia." Indira benar-benar tahu kini. Akar masalahnya adalah perkataannya sendiri yang asal nyeplos. Gadis itu merutuki kebodohannya beberapa saat yang lalu. "Tetapi satu hal yang perlu kamu tanamkan di pikiran dan hatimu," kata Regar yang masih menggantung. Indira pun masih bungkam. Ia tak berani mengeluarkan perkataan. Indira hanya diam mendengarkan. Dan menikmati bau napas Regar yang segar dan memabukkan untuknya itu. "...bahwa saya adalah calon suami kamu. Tunggu sebentar lagi. Kata 'calon' akan terhapuskan." Taxi pun terhenti. Adegan keduanya pun berakhir. Indira menyadarkan dirinya sendiri yang sebenarnya masih syok dengan perkataan Regar barusan. Setelah membayar ongkos taxi. Ia pun membantu Regar untuk keluar dari mobil dan duduk kembali di kursi rodanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD