6. Gerakan Mantan Istri

1149 Words
Terkadang keadaan yang terjadi di lapangan berbanding terbalik dengan apa yang kita tebak di angan. Seperti halnya yang Pewita tebak. Wanita yang digadang-gadang akan menjadi calon mama baru putrinya itu ternyata mampu mengatasi serangan diamnya. Beberapa saat seusai insiden yang menimpa mantan suaminya. Paula dipasrahkan kepadanya melalui si mbak. Ia pun tentu dengan senang hati dan tangan terbuka merawat Paula. Si mbak bercerita sekilas kepadanya tentang insiden yang menimpa Regar. Ternyata semua ulah Indira. Gadis kuliahan yang famous dan berasal dari keluarga berada. Dan fakta terakhirnya yang membuat Pewita terkejut adalah Indira calon istri Regar--mantan suaminya. "Halo Sayang. Sudah bangun?" Mengesampingkan segala pikiran yang berkelana. Pewita tak suka mendengar kenyataan yang diutarakan oleh si mbak. Entahlah.. apakah ia menyesali perpisahannya dengan Regar? Bisa jadi. "Sudah Ma. Ma..gimana keadaan Daddy? Daddy baik-baik saja 'kan? Ma..beberapa hari lagi Paula pentas piano. Daddy bisa hadir nggak ya?" "..nggak bisa hadir ya Ma?" Serentetan pertanyaan Paula dan raut sedih yang terpancar di wajah cantik gadis kecil itu membuat Pewita tak tega. Ia pun membawa Paula ke dalam dekapannya. Menenangkan Paula yang terlihat khawatir dengan ayahnya itu. "Paula.." Paula mengangkat kepalanya tanpa berkata. Ia menatap sang mama yang sepertinya hendak mengutarakan sesuatu. Pewita berkata, "Paula? Sebenarnya mama nggak mau ngasih tahu Paula soal ini. Tapi Paula harus tahu dan harus hati-hati." "Soal apa Ma?" tanyanya polos. "Jadi gini. Sebenarnya Daddy kecelakaan karena ulah Indira." "Kak Rara?" Paula mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi sang mama menceritakan semua detailnya hingga ia paham. Paula menahan amarahnya, "jadi, ini semua karena Kak Rara. Paula benci sama Kak Rara!" Selama jalan-jalan ke Mall, guna membuat Paula bahagia. Pewita terus memutar otaknya agar Paula dan Indira tidak bisa dekat. Baginya gadis kemarin sore itu tak pantas bersanding dengan Regar. Mau jadi apa Paula nantinya!? "Paula.. sini Sayang.." Pewita melambaikan tangannya pada gadis kecil yang baru saja selesai bermain bom-bom car itu. Pewita merangkut putrinya dan mengajaknya untuk makan. "Mainnya sudah Sayang. Ayo makan.." Selama makan, Pewita kerap mencuri-curi pandang pada Paula yang terlihat sangat senang hari ini. Pertama, sudah pasti karena ia juara dua. Kedua, karena habis bermain di game fantasy Mall ini. Ketiga... "Paula lagi senang ya? Mama lihat dari tadi senyum-senyum terus," tegur seorang ibu yang mengamati tingkat putrinya. Paula tersenyum lebar dan menjawab, "Ma, Kak Rara baik banget deh! Kemarin Paula sudah salah besar. Ternyata Kak Rara sangat bertanggung jawab. Paula jadi nggak enak sama Kak Rara." Gadis sekecil itu sudah sangat dewasa. Paula dewasa di usia dini. Bagi Pewita ini merupakan anugerah sekaligus bencana. Akan semakin sulit langkahnya untuk mencuci otak Paula agar membenci Indira. "Paula nggak salah. Kan memang kenyataannya Kak Raramu itu yang menyebabkan Daddy lumpuh." "Tapi Ma-" "Nggak ada tapi-tapian Sayang. Kak Rara tetap salah. Kamu habiskan udang cryspi-nya tadi katanya pengen banget." Pewita mengakhiri pembahasannya menyangkut Indira. Ia paham, saat ini bukanlah yang tepat untuk mengadu kedua belah pihak. Ia harus menahan busur panahnya sebelum panah yang ia lepaskan tepat mengenai musuh. Tidak seperti biasanya. Seusai bersenang-senang dengannya, Regar akan datang menjemput. Kali ini tidak. Pewita sendirilah yang harus mengantarkan kembali Paula untuk pulang ke rumah. Sementara itu Indira benar-benar ditahan oleh Regar. Ya memang Indira tidak ada kelas hari ini. Akan tetapi ia sungguh malas jika harus berduaan di rumah dengan duda beranak satu itu. Apalagi Paula tidak di rumah dan si mbak sedang berbelanja ke minimarket. Bukan karena apa-apa. Indira hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Paula yang masih kecil dan hanya mengerti dengan perkataan orang dan penglihatannya. Sungguh seseorang yang tingkat kesalahpahamannya terbesar dan sudah pasti ditakuti oleh Indira kali ini adalah Paula. Mau berkata apapun, kelak Paula akan menjadi putrinya. Ia tak ingin menjadi seorang figur ibu yang tak disukai oleh anaknya. "Kenapa bengong? Mikirin cara bagaimana kabur?" Indira memberikan tatapan tajamnya. "Enggak." "Terus?" "Nabrak!" "Ya sudah sini.. sini nabrak saya. Saya suka kok Ra." Dengan cengengesan andalannya, Regar menggodai calon istrinya. "Cuman Mas saja yang suka, saya nggak!" "Ya nanti lama-lama juga suka," kata Regar dengan raut wajah yang lebih serius. Entahlah, tiap menatap mata Regar yang seperti ini. Indira selalu merasa bahwa dibalik sikap Regar yang sering berubah-ubah, kadang cengengesan, kadang menyebalkan, menakutkan dan sebagainya. Itulah sebenarnya salah satu diantara seribu cara lelaki itu untuk membuat Indira semakin dekat dengannya. "Sudah ah! Saya mau pulang!" Indira bangkit dari duduknya. Ia salah mengira jika Regar akan meloloskannya. Mengingat pergerakan lelaki itu tidak bebas karena kakinya belum sembuh dan hanya duduk di kursi roda. Namun nyatanya.. Kedua tangan kekar Regar memeluk erat perut Indira dari belakang. Hal tersebut tentu saja membuat Indira terkejut. "Jangan pergi..saya sendiri." Begitulah kata Regar dengan napasnya yang terasa di kemeja Indira yang tidak terlalu tebal itu. "M-mas lepas." "Tidak mau. Nanti kamu tinggalkan saya." Kekukuhan Regar memang tak bisa diganggu gugat. Indira pun akhirnya mengalah dan memutuskan untuk di sini sesampainya Paula atau si mbak kembali pulang. "Sudah 'kan? Ayo lepas dulu Mas," pinta Indira. Pasalnya meskipun sedang sakit. Ternyata tidak mengurangi kekuatan seorang pria sebenarnya. Regar masih tetap kuat dan berotot. Hingga membuat Indira yang berusaha melepaskan diri pun tak bisa. Brugh.. Boro-boro melepaskan diri. Indira justru jatuh terpental dan duduk di paha Regar. Wajahnya memanas saat ini juga. Ini kali pertama baginya berinteraksi dengan lelaki hingga sedekat ini. Ketika lamunnya buyar dan mencoba bangkit. Tiba-tiba pintu terbuka lebar dan menampilkan raut wajah Paula yang telah memerah. "Kak Rara!?" Paula berlari kecil ke arah keduanya. Sedangkan Indira kini telah berdiri. Ia cemas jika Paula melihatnya yang duduk dipangkuan sang ayah. Ini sungguh tidak seperti apa yang gadis itu lihat. Dengan menyilangkan kedua tangannya. Seakan hendak menginterogasi. Paula pun bertanya, "Kak Rara, kenapa duduki Daddy? Memangnya tidak ada tempat duduk!?" "Ee-ee itu.." "Kak Rara tidak sengaja Sayang. Dia hampir jatuh. Jadi Daddy yang tangkap." Regar mengulas senyumnya. Tatapannya beralih pada Pewita yang masih berdiri di tengah-tengah mereka. "Terima kasih," ucap Regar diperuntukkan Pewita. Karena wanita itu telah bertanggung jawab dan memulangkan Paula sampai rumah hingga selamat. "Sama-sama." Indira merutuki adegannya yang terjadi karena Regar itu. Bagaimana tidak? Apa maksud lelaki itu yang tak mau melepaskan pelukannya? Apa belum cukup puas Indira membiarkannya leluasa memeluk perutnya? Dasar! Duda kurang kasih sayang. "Ekhm. Saya pamit pulang Mas, Mbak.." Ketika baru satu langkah Indira beranjak. Pewita lebih dulu menyela, "Eh, tidak usah berpamitan. Saya yang harusnya berpamitan." "Saya pulang dulu Mas," pamit Pewita pada Regar yang hanya mendapati anggukan dan senyum tipis mantan suaminya itu. Paula entah mengapa tiba-tiba merengek. "Mama! Mama jangan pulang! Nggak boleh.." "Nggak bisa Sayang. Mama harus pulang. Paula ingat PESAN Mama ya. Makan yang banyak juga biar cepat besar." Dengan penuh kasih sayang seorang ibu. Pewita mengusap lembut rambut hitam Paula. Seketika perasaan Indira tak enak. Apalagi setelah mendengar Pewita sengaja menekankan pada kata 'pesan'. Sebenarnya pesan apa yang Pewita berikan kepada Paula? Ditambah lagi dengan senyum Pewita padanya yang terkesan muak. Indira bukannya tak tahu macam-macam senyuman orang. Ia cukup mahir untuk mengetahui dan merasakannta. 'Mbak Pewita? Sebenarnya apa maumu?' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD