*Tiga Hari Kemudian*
“ Syukurlah, akhirnya kamu sudah kembali sadar.” Ucapan itu tentu saja membuat Alina yang baru saja membuka matanya pun terkejut. Kepalanya diputar mencari sumber suara.
“ Siapa, anda? Dan aku sekarang berada dimana?” Mata Alina lurus menatap wajah Gama yang sedang duduk dikursi sebelah Alina. Wajah Gama terlihat begitu cerah saat melihat Alina yang sudah koma selama tiga hari pun akhirnya kembali sadar
“ Perkenalkan, saya Gama Abimana. Saya ingin minta maaf secara langsung, karena sudah membuat kamu seperti ini,” ucapnya dengan penuh penyesalan.
“ T – tuan, Gama?”
Alina terkejut saat mengetahui kalau laki – laki tua itu adalah Gama Abimana, orang paling terkenal di Tanah Air dan juga dihampir negara – negara Asia bahkan Namanya pun terkenal di beberapa negara Eropa dan Amerika.
“ Gak usah terlalu sungkan seperti itu,” ucap Gama sambil menatap tajam wajah Alina yang tentu saja menginggatkannya pada seseorang. “ Justru sebaliknya, saya mau minta maaf yang sebesar – besarnya, karena akibat kelalaian sopir saya, kamu mengalami hal buruk seperti ini,” tambahnya belum berani untuk mengatakan kalau Alina pun mengalami keguguran, karena takut membuat jiwanya kembali ngedrop.
“ Tidak apa – apa, Tuan. Mungkin semua ini sudah menjadi jalan takdir saya harus mengalami kecelakaan,” jawab Alina merasa kagum terhadap sosok orang besar seperti Gama Abimana yang begitu rendah hati, tidak seperti keluarga Mahendra yang menganggapnya sebagai sampah karena beda golongan.
Ternyata orang yang lebih besar seperti Gama Abimana terlihat sangat baik. Padahal Namanya begitu besar, tidak seharusnya seorang seperti Gama Abimana melakukan hal seperti ini pada Alina. Dia bisa menyelesaikan semuanya dengan memerintah bawahannya saja, tidak harus langsung turun tangan.
“ Ada yang ingin saya tanyakan sama kamu, itu pun kalau kamu tidak keberatan.” Gama memasang wajah serius. Matanya tertuju pada kalung yang melingkar dileher Alina.
Memang sejak awal melihat kalung itu, ada banyak pertanyaan dalah diri Gama saat itu. Dan bukan itu saja, wajah Alina pun mengingatkannya pada seseorang yang telah lama meninggalkan rumah, dan sampai saat ini belum pernah kembali.
“ Tuan mau nanya soal apa?”
Gama menarik nafas pelan, mencoba untuk menenagkan pikirannya, kalau nanti jawaban Alina tidak sesuai dengan harapannya. “ Kalung itu? kamu dapat darimana?” tanyanya sambil menunjuk kalung yang melingkar dileher Alina.
Pertanyaan Gama sedikit membuat Alina terkejut. Karena selama ini, tidak ada seorang pun yang pernah memperhatikan kalung liontin permata biru itu. Alina pun tidak pernah mencari tahu tentang batu yang ada diliontin miliknya itu, karena memang itu barang warisan yang diberikan sang ibu saat dirinya berusia sepuluh tahun, saat sang ibu menitipkannya di panti asuhan. Dan sampai saat ini sang ibu tidak diketahui kabarnya lagi, namun diyakini, kalau ibunya itu sudah meninggal.
Alina pu melepaskan kalung itu, lalu menggenggamnya dengan erat. “ Kalaung ini, peninggalan mendiang ibuku,” jawabnya sambil mendekap kalung didadanya.
Gama terkejut dengan jawaban Alina. Pikirannya saat ini mulai mengaraha pada diri Wanita itu. ‘ Apa jangan – janga, Alina adalah anaknya Shafira?’ batinnya sambil menatap wajah Alina.
Sebuah nama terlintas dibenak Gama saat itu ‘Shafira?’ siapa Shafira? Dan ada hubungan apa Gama dengan orang yang bernama Shafira?
Dengan bibir sedikit bergetar, Gama kembali bertanya, “ Apa, Nama ibumu, Shafira?”
Kali ini Alina yang terkejut dengan pertanyaan Gama ‘Bagaimana Tuan Gama bisa tahu nama ibuku?’ batinnya sambil menatap tajam wajah Gama Abimana dan belum memberikan jawaban secara langsung tentang kebenaran kalau ibunya bernama Shafira.
“ Kamu gak perlu takut, saya tidak memiliki niat buruk dengan menanyakan nama ibumu.” Gama mencoba untuk meyakinkan Alina tentang pertanyaanya itu yang masih belum terjawab.
“ Sejujurnya aku tidak tahu pasti nama belakang mamahku, Tuan. Tapi benar, kalau nama depannya adalah Shafira, dan nama itulah yang selalu aku ingat sampai kapan pun.”
Jawaban dari Alina lagsung membuat wajah Gama terlihat sendu. Ada kesedihan terlihat diwajahnya saat mendengar kalau Alina sempat menyebut mendiang ibunya. Dengan begitu sudah bisa dipastikan, kalau Shafira sudah meninggal.
“ Ada apa, Tuan? Kenapa Tuan terlihat begitu sedih?” tanya Alina penasaran.
Dan bukan hanya Gama saja yang terlihat begitu sedih saat mengetahui kalau Alina adalah putrinya Shafira. Sang Ajudan pun terlihat begitu terpukul saat mengetahui kalau Shafira sudah meninggal.
“ Tuan harus sabar dan Ikhlas melepas kepergian Nona Shafira. Tapi walau begitu, Tuan juga harus bersyukur, karena Nona Shafira meninggalkan penerus,” ucap sang Ajudan yang langsung membuat Alina terlihat kaget, saat mendengar sang ajudan memanggil ibunya dengan sebutan Nona.
“ Nona?” lirihnya sambil menatap Gama bergantian dengan sang Ajudan. “ Ini…maksudnya apa? Mamah saya hanya Wanita biasa, tidak pantas disebut Nona?”
Gama tidak menjawab pertanyaan Alina. Dia pun kembali bertanya pada Alina, “ Siapa nama ayahmu?”
Gama seperti ingin memastikan kalau Alina adalah benar – benar putri Shafira Abimana.
“ Ayahku bernama, Haikal.” Kembali Gama terkejut saat mendengar nama Haikal. Dan kebenaran kalau Alina adalah putri Shafira Abimana pun semakin kuat.
“ Apa ayahmu masih hidup?” tanyanya membuat Alina pun berubah sedih.
Dan tentu saja perubahan Alina ini sebagai jawaban kalau ayahnya pun sudah meninggal. “ Papah aku sudah meninggal ebih dulu, bahkan aku juga belum tidak bisa melihat seperti apa wajahnya, karena papah meninggal saat usiaku dua tahun. Dan semejak itulah, mamah banting tulang untuk menghidupiku.” Alina menjeda sejenak ceritanya.
“ Kerja keras yang dilakukan mamah membuat dirinya sering sakit – sakitan, dan Ketika usiaku sepuluh tahun, mamah pun menitipkan aku kepanti asuhan. Sejak saat itulah mamah tidak pernah kembali menemuiku, dan menurut kabar yang aku terima, mamah dinyatakan sudah meninggal.”
Gama menoleh kepada sang Ajudan. “ Cari keberadaan Nona Shafira sampai ketemu. Aku yakin, kalau putriku masih hidup.”
“ Baik, Tuan,” jawab sang Ajudan dengan cepat.
Alina yang menengar Gama menyebut Shafira sebagai putrinya pun langsung terkejut. Matanya menatap wajah Gama yang tersenyum padanya. “ Kamu jangan khawatir, nak. Kakek pasti akan berhasil menemukan mamah kamu, dan kakek sangat yakin, kalau mamah kamu masih hidup.”
Tangan Gama mengelus wajah Alina dengan lembut. Sementara Alina terlihat masih belum bisa mempercayai dengan pendengarannya saat ini. Apakah benar kalau dirinya adalah cucu dari seorang Gama Abimana? Apakah benar kalau dirinya terlahir dari keluarga Abimana?
Sungguh suatu kejadian yang bisa dibilang sangat tidak mungkin dan tidak bisa dipercaya begitu saja. Mungkin ada nama yang sama dengan ibunya? dan juga nama yang sama dengan ayahnya? tapi apa mungkin semuanya bisa sebegitu sama?
Dalam ragu dan penuh pertanyaan, Alina pun kembali bekata, “ Maaf, Tuan, tapi itu sangat tidak mungkin kalau mamah saya adalah putri kandung Tuan Gama. Soalnya selama ini mamah tidak pernah bercerita apapun soal keluarganya.”
Gama tersenyum mendengar keraguan Alina. “ Kakek sangat yakin kalau kamu adalah cucu kakek,” jawabnya.
“ Tapi, atas dasar apa Tuan Gama begitu yakin kalau aku adalah cucu Tuan?” tanya Alina penasaran.
“ Ada beberapa bukti yang membuat kakek yakin kalau kamu adalah cucu kakek, putri dari Shafira Abimana, pewaris utama keluarga Abimana. Dan berhentilah memanggil kakek dengan sebutan Tuan, nak.” Gama kembali menatap Alina yang diyakini adalah cucu kandungnya.
“ Kemiripan kamu dengan Shafira itulah yang pertama dan membuat Kakek penasaran tentang siapa kamu sebenarnya. Dan ditambah lagi denga kalung yang kamu pakai itu.” Gama menjeda sejenak untuk meneguk air minum. “ Liontin itu adalah batu permata langka dan hanya ada lima di dunia ini. liontin itu kakek berikan pada ibumu saat dia berusia tujuh belas tahun. Didalam liontin itu ada sebuah nama Shafira dengan warna emas dan kakek yakin kamu sudah mengetahuinya.”
Alina terdiam. Apa yang dikatakan oleh Gama tentang liontin itu adalah benar. Didalam batu permata terdapat tulisan Shafira dengan warna emas.
“ Ditambah lagi dengan nama ibumu yang sama dengan nama yang ada dalam liontin itu.” Gama melanjutkan penjelasannya. “ Dan yang terakhir, adalah nama ayahmu yang juga sama dengan nama kekasih mamah kamu waktu itu adalah Haikal,” jelasnya begitu detail, hingga membuat mata Alina berkaca – kaca.
Ada rasa haru dalam hati Alina saat ini. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau dirinya adalah cucu dari Gama Abimana yang terkenal dan terkaya se Asia. ‘Andai kamu tahu siapa aku, mas. Sudah pasti kamu tidak akan berani menghina dan mencampakan aku,’
Alina memjamkan matanya merasakan sakit dalam hatinya. Airmatanya mengalir membasahi pipinya, sehingga membuat Gama bertanya padanya.
“ Kakek mau tanya satu hal, boleh?” Alina pun mengangguk. “ Waktu kamu keserempet mobil kakek? Kamu sebenarnya habis pulang dari mana?”
Alina menarik nafas berat, dan menghembuskannya secara kasar. “ Aku habis diusir oleh mantan suamiku.” Gama terkejut mendengar pengakuan Alina. “ Mas Nawan memilih mencampakanku demi menikahi perempuan lain, Kek.”
Wajah Gama seketika berubah gelap. Tangannya terkepal menahan kemarahan, saat mendengar kalau sang cucu diperlakukan tidak manusiawi oleh mantan suaminya. “ Siapa nama Suamimu?” tanyanya dengan nada gemetar karena marah.
“ Nawan Mahendra. Dari keluarga Mahendra,” jawab Alina sambil memejamkan matanya.
“ Danar!” teriak Gama memanggil sang ajudan.
“ Saya, Tuan,” jawab Danar dengan sigap.
“ Cari tahu tentang keluarga Mahendra! Dan tutup jalur bisnisnya dengan cepat! Buat keluarga itu bangkrut sebagai bayaran atas perlakuannya pada cucuku!”
Alina langsung terkejut mendengar perkataan Gama yang begitu tegas meminta ajudannya untuk menghancurkan keluarga Mahendra
“ Apa yang kakek lakukan?” tanya Alina dengan mengerjapkan mata
Gama melirik Alina yang tengah memperhatikannya. “ Kakek harus memberi pelajaran pada orang yang sudah berani menghina dan mencampakan kamu. Siapa pun dia yang sudah berani membuat kamu menderita, harus menerima balasan yang setimpal.”
Alina terdiam sejenak, kemudian berkata. “ Tapi, kakek tidak perlu melakukan hal seperti itu.”