Ketika Nana Bertemu Davin (Lagi)

1136 Words
Setelah sampai di daerah Puncak, dari kejauhan Davin melihat sebuah bus berhenti di tepi jalan dengan banyak orang di sekitarnya. "Sepertinya busnya bermasalah," pikir Davin. Penasaran, ia memperlambat laju mobilnya. Matanya tertuju pada sosok seorang perempuan di tepi jalan. Nana berdiri di tepi jalan, bus yang ia naiki mogok karena masalah pada mesinnya. Setelah membayar ongkos pada kondektur, ia memutuskan untuk menjauh dari bus dan mencari bus lain. Saat Nana mulai menjauhi bus dan penumpang lainnya, sebuah mobil sport hitam mendekatinya. Ia merasa pernah melihat mobil itu sebelumnya. Mobil tersebut berhenti tepat di sampingnya, dan seorang lelaki keluar dari mobil itu. Davin. "Hai, Mbak!" sapa Davin seakan sudah kenal sangat dekat dengan Nana. Setelah Nana melihat Davin, ia baru ingat jika Davin yang mencegahnya bunuh diri. Nana menautkan alisnya, tidak tertarik untuk menjawab. "Ya," jawab Nana singkat. Davin berbasa-basi, "Mbak mau kemana? Busnya mogok ya?" "Harus ya saya jawab?" Nana menjawab dengan nada ketus. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa saat ia sedang kesusahan malah Davin yang muncul. Davin berpikir dalam hati, "Haduh, baru kali ini ada perempuan nggak senang aku tanya. Apa karena dia trauma sama yang namanya laki-laki ya." "Maaf, Mbak, kok sinis sekali. Saya ingin memberi tahu juga bus Puncak akan agak telat datangnya. Sepanjang perjalanan tadi saya nggak melihat bus. Apa Mbak mau saya antar ke tempat tujuannya?" Davin bertanya dengan nada lembut. Nana berpikir, "Kalau aku nunggu bus, butuh waktu lama. Tapi kalau aku ikut dia, aku kan nggak tahu dia orang baik atau nggak." Nana bingung. Akhirnya, Davin mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menunjukkan kartu identitasnya. "Ini identitasku, silakan foto dan kirimkan ke orang tua, saudara, atau temanmu. Biar mereka tahu kamu pergi denganku." Nana tidak tertarik melakukan apa yang diminta Davin, tetapi ia melihat nama lelaki itu: Davin Tri Sanjaya. Davin membujuk, "Ayolah, Mbak. Saya ini orang baik." Nana akhirnya membuat keputusan, "Baiklah." Nana berpikir jika tak ada jalan terbaik selain menerima bantuannya. Davin tersenyum dan membuka pintu untuk Nana. Ia terlihat semangat sekali. Sementara Nana berharap keputusannya menerima tawaran Davin itu benar. Setelah Nana masuk dan Davin juga masuk, Davin meminta Nana memasang sabuk pengaman, tetapi ternyata Nana tidak bisa memakainya. Akhirnya, Davin membantu, dan adegan romantis pun tersaji. Nana berusaha tidak melihat ke arah Davin, sementara Davin mencuri kesempatan dengan memandangi Nana. Nana berkata, "Sudah belum sih?" "Sudah, Mbak, sudah," jawab Davin. Davin menanyakan alamat yang akan dituju Nana. Nana menyebutkan alamat panti asuhan yang diberikan Emanuela. Davin mengangguk lalu mulai melajukan mobilnya. Setelah mobil melaju beberapa meter, Davin menyalakan musik di mobilnya. Musik pop dengan lagu-lagu galau menemani perjalanan mereka di daerah Puncak. Davin fokus menyetir dan sesekali melirik ke arah Nana yang terlihat sedih, memandangi kaca mobil tanpa henti. Davin berpikir, "Sepertinya Mbak ini ke Puncak untuk menenangkan diri." Sementara itu, di sisi lain, Nana terus berdoa dalam hati, "Semoga dia adalah orang baik dan tidak macam-macam padaku." Keduanya terdiam dalam perjalanan, hanya diiringi alunan musik yang menyayat hati. Perjalanan yang sunyi itu terasa begitu panjang bagi Nana, yang mencoba menemukan ketenangan di tengah kegundahan hatinya. Davin, meski penasaran, memilih untuk tidak bertanya lebih jauh, memberikan ruang bagi Nana untuk merenung dan menenangkan diri. Sementara itu di sebuah restoran, Shakira duduk bersama kedua temannya, Fani dan Rika. Fani bertanya dengan wajah serius, “Jadi kamu beneran mau nikah sama calon kakak iparmu?” Shakira tersenyum dan mengangguk, “Iya, benar.” Rika ikut angkat suara, “Lah, memangnya nggak akan jadi masalah kedepannya? Kamu sudah tahu calon suamimu itu gimana orangnya?” Shakira menjawab, “Kalau untuk masalah sih palingan kakakku bakal agak cemburu. Untuk Kak Kenzi, aku sudah tahu kok dia orangnya baik dan rela berkorban demi aku. Kemarin aja aku minta penambahan mahar, dia ngasih dong, satu set perhiasan.” Fani terbelalak tak percaya, “Kamu beruntung, Shakira!” Rika berkata, “tapi aku kok ragu ya sama calon kakak iparmu itu. Ragu kalau dia benar-benar baik. Kamu bahkan belum benar-benar mengenalnya. Dua bulan loh. Itu baru kelihatan baiknya aja. Memangnya kamu nggak akan menyesal, Shakira? Kamu belum menyelesaikan kuliahmu. Siap nggak kamu terus kuliah setelah nikah?” Shakira menjawab keraguan Rika dengan yakin, “Tentu saja siap. Kak Kenzi itu pintar, pasti dia akan membantuku untuk urusan kuliah.” Rika mengangguk, “Ya semoga saja begitu.” Meskipun wajahnya terlihat tak yakin. Shakira pun berkata lagi, “ah iya, aku ingat, aku mau minta uang untuk seragam bridesmaid. Izin sebentar ya, aku telepon Kak Kenzi dulu.” Fani dan Rika mengangguk setuju Shakira menelpon Kenzi dan dalam dering pertama teleponnya dijawab, “Halo, Kak Ken sayang.” “Iya sayang, ada apa?” Tanya Kenzi dari seberang telepon. Shakira menjawab, “Aku butuh uang untuk beli kain bridesmaid. Bisa transfer sekarang?” Kenzi terdengar keberatan, namun ia bertanya, “Emm... okay, berapa yang kamu butuhkan?” Shakira menjawab Nggak banyak kok. Ayolah, Kak. Aku lagi sama teman-teman nih menggoda dan memberikan kode agar Kenzi menurut. Kenzi menjawab, “Baiklah, aku transfer sekarang.” Di perusahaan tempat Kenzi bekerja, ia berada di dekat toilet, ia mendapat telepon dari Shakira sesaat setelah ia keluar dari kamar mandi. Setelah panggilan berakhir, Kenzi mengirim sejumlah uang ke rekening Shakira sambil berpikir dalam hati, "Nana tak pernah begini sejak dulu. Nana nggak banyak maunya seperti Shakira." Tanpa sadar, Kenzi membandingkan Shakira dengan Nana. Sementara itu, Shakira menunjukkan layar ponselnya pada Fani dan Rika, memperlihatkan bukti transfer dari Kenzi. Fani dan Rika kagum dan yakin jika Kenzi lebih mencintai Shakira, “Wah, beruntung banget kamu, Shakira!” Sementara itu di jalan daerah Puncak. Di dalam mobil Davin yang terjebak macet, hujan deras di luar memperlambat perjalanan. Davin dan Nana duduk dalam diam selama beberapa saat, hanya ditemani oleh suara hujan dan musik yang diputar. Davin melirik ke arah Nana, “Oh iya, Mbak. Kita sudah ada di dalam mobil ini sekitar satu jam, tapi kita belum saling kenal nama kita.” Davin mengulurkan tangannya ke arah Nana. “Aku Davin.” Nana menatap tangan Davin sejenak, namun tidak menerima uluran tangan itu. “Nana. Panggil saja Nana.” Davin menarik kembali tangannya dengan senyum tipis. “Oke deh, Mbak Nana.” Nana hanya menatap ke luar jendela, mencoba menyembunyikan kecemasannya. Davin berusaha mencairkan suasana, “Hujannya deras banget ya. Semoga saja macetnya cepat terurai.” Nana masih memandang ke luar jendela, “Iya, semoga.” Davin mencoba mencari topik pembicaraan lain untuk mengisi keheningan. “Jadi, Mbak Nana ke Puncak ada keperluan apa? Kalau boleh tahu.” Nana menjawab, “Ada urusan pribadi.” Davin mengangguk, “Oh, baiklah. Semoga urusannya lancar ya, Mbak Nana.” “Terima kasih,” jawab Nana. Keduanya kembali terdiam, mendengarkan hujan yang semakin deras di luar. Meskipun ada ketegangan di antara mereka, keduanya berharap perjalanan ini segera berlanjut. Davin lalu bertanya hal pada Nana yang membuatnya melihat ke arah Davin
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD