Sapaan salam mulai terdengar dari seberang telepon. Inara menjawab sambil membuka pintu kamar Marisa.
“Gimana acaranya kemarin?” tanya Arfa.
“Em, acara kemarin? Oh, yang kemarin? Ahamdulillah, lancar,” jawab Inara tergagap. Ia menggigit bibir bawah seraya menepuk keningnya.
“Kapan balik ke Malang, Na?”
“Insya Allah besok kalau nggak lusa. Kenapa, Mas?”
“Kopma sepi nggak ada Inara.”
Inara tertawa dengan pipi bersemu merah. Mereka mulai larut dalam obrolan jarak jauh. Marisa yang berada di samping adiknya merasa bersalah. Sikap egoisnya harus memaksa Inara menanggung semua yang seharusnya ia hadapi.
Hampir tiga puluh menit Inara berbincang dengan Arfa. Setelah menutup telepon, ia menutup wajahnya dengan bantal. Marisa semakin merasa bersalah.
“Dek.”
“Apa?”
“Kamu masih marah sama Mbak?”
“Masihlah, Mbak.”
Marisa menghela napas panjang. Kesedihan semakin terasa. Ia tidak bisa jika bertengkar dengan adik satu-satunya itu. Inara adalah sahabat terbaiknya.
“Maaf, Dek. Mungkin nggak akan termaafkan selamanya, ya?”
Dada Marisa mulai terasa sesak. Air mata yang sudah menggenang, siap untuk meluncur dengan mulus.
Inara menyingkirkan bantal yang ada di atas wajahnya, lalu menoleh ke arah Marisa. Ia tertegun melihat wajah penuh penyesalan dari sang kakak.
“Ini semua salah Mbak, pokoknya. Aku jadi kena imbasnya.”
“Maaf, Dek. Aku nggak tau harus ngomong apalagi.”
Inara merengkuh bahu Marisa. Mereka berpelukan sangat erat. Dua saudara kandung itu terbelenggu oleh dilema yang berbeda.
“Mbak tau kan, aku itu sukanya sama Arfa. Baru juga kami dekat. Eh, kok gini,” ujar Inara seraya melepas pelukannya.
Marisa mengangguk pelan. Adiknya itu tidak pernah menyembunyikan sedikit pun rahasia dari dirinya. Bagi Inara, sang kakak adalah sahabatnya juga.
“Makanya aku mau minta cerai dari Syabil.”
Marisa terperanjat mendengar rencana sang adik. Namun, ia bisa memaklumi jika pikiran itu yang terlintas di benak Inara.
“Kamu siap menyandang status janda, Dek?”
Pertanyaan Marisa membuatnya berpikir sejenak.
“Nggak masalah, yang penting aku masih perawan.”
Marisa terkekeh mendengar jawaban Inara. Ia yakin adiknya semalam tidak melalui malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya.
“Yakin, nggak bakal jatuh cinta sama Syabil? Satu kamar, loh.”
“Ih ... amit-amit, deh. Nggak mungkin aku naksir si gendut itu.”
Inara mengetuk meja di samping ranjang Marisa. Ia bergidik membayangkan tubuh Syabil saat masih anak-anak.
“Dek, Dek, lucu banget kamu ini. Jadi gimana? Nggak mungkin sekarang cerainya, ‘kan?”
“Nah itu masalahnya, Mbak. Aku tadi bilang ke Syabil kalau dua tahun lagi. Tapi nggak masalah, aku kan, mau balik ke kampus besok. Kita terpisah atap berbulan-bulan.”
Dengan percaya diri, Inara membayangkan bahwa rencananya akan berhasil. Dua tahun lagi ia akan bercerai dari Syabil. Siapa juga yang sanggup menjalani pernikahan jarak jauh, tanpa cinta pula?
“Emang Syabil kuliahnya di mana?”
Inara mengangkat bahu. “Aku nggak peduli itu, yang penting aku nggak lihat wajahnya tiap hari. Jadi lapar, nih. Aku mau ke dapur dulu, Mbak.”
Gadis penyuka kuliner pedas itu pun melangkah ke dapur. Namun, saat melewati kamarnya, ia mulai memikirkan ucapan Marisa tentang kampus Syabil. Rasa ingin tahunya membuncah, ia pun masuk kamar.
Laki-laki dengan baju koko putih itu masih duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya. Ia melirik sekilas Inara yang membuka pintu kamar. Syabil masih memikirkan permintaan cerai yang keluar dari bibir istrinya.
“Kamu nggak nyiapin perlengkapan buat kuliah?” tanya Inara yang berdiri di samping ranjang.
Syabil mengangkat wajahnya. Ia heran mendengar pertanyaan berbau sedikit perhatian untuknya tersebut.
“Udah siap. Kenapa?”
“Oh,” ucap Inara singkat.
Gadis itu bingung merangkai kata untuk bertanya masalah kampus Syabil. Ia pun menuju lemari pakaian, menyiapkan baju yang hendak ia bawa kembali ke indekos.
“Di kampusmu masa orientasinya gimana?” tanya Syabil.
Inara menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum lebar, mendapatkan jalan keluar untuk mengetahui kampus Syabil. Mereka memang satu angkatan saat sekolah. Namun, Syabil setelah lulus pesantren lebih memilih mengabdikan diri selama dua tahun. Jadinya pemuda itu baru mulai masuk kuliah tahun ini.
“Seru, nggak ada perploncoan. Mungkin karena aku fakultas keguruan, ya.”
“Seperti itu? Fakultas lainnya?”
“Kayanya teknik yang agak sadis. Kabarnya sih, aku nggak tahu juga.”
“Kalau Fakultas Agama Islam gimana?” tanya Syabil bersemangat.
Inara mengerutkan keningnya. Pertanyaan terakhir Syabil seperti bukan sekadar ingin tahu, tetapi lebih dari itu.
“Mana aku tau kalau FAI,” jawab Inara sambil mengangkat bahu. “Kenapa kamu nanya tentang ospek di kampusku?”
Syabil tersenyum jahil. Akhirnya, Inara penasaran juga dengan kampus tempatnya akan menuntut ilmu itu.
“Kan, aku mahasiswa baru di Universitas Surya Gemilang juga.”
“Apa?!”
Inara tercengang mendengar pengakuan Syabil. Ia terus menggelengkan kepala. Syabil terkekeh melihat reaksi istrinya.
“Enggak mungkin! Kamu mau ngerjain aku, ‘kan? Kerjaanmu kan, ngusilin aku terus pas kecil.”
Tawa Syabil berderai. Ia gemas melihat wajah cemberut Inara. Gadis itu terlihat semakin cantik di matanya.
“Hei, Gendut! Bohong, ‘kan?” teriak Inara di dekat telinga suaminya.
Syabil terperanjat, ia mengusap telinga yang berdengung karena suara cempreng Inara.
“Sakit tau.”
“Biarin. Cepat jawab!”
“Aku nggak bohong, beneran. Aku ambil jurusan Tarbiyah.”
“Nggak! Kamu nggak boleh satu kampus sama aku. Titik!”
“Eh, aku udah daftar dari gelombang satu, ya.”
Badan Inara mendadak lunglai. Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Gadis itu tidak bisa membayangkan jika harus satu kampus dengan Syabil. Bagaimana jika teman-temannya tahu tentang pernikahan tiba-tiba ini?
Inara bangkit dari posisinya. “Kenapa harus daftar di kampus yang sama?”
Syabil terdiam. Pertanyaan Inara begitu sulit dijawab. Ia tidak ingin memberi tahu alasan utamanya. Namun, istrinya itu masih terus menatapnya, menanti jawaban keluar.
“Karena itu kampus terbaik menurutku.”
Inara menghentakkan kaki berkali-kali ke lantai. Tangannya mengepal, ingin mengeluarkan jurus silat untuk menghajar Syabil. Laki-laki di hadapannya itu malah tergelak. Gadis itu pun berlalu ke luar kamar dengan amarah yang menguasai hatinya.
“Subhanallah, lucu banget istriku,” cetus Syabil sambil mengusap d**a.
***
Hari ini Syabil dan Inara akan menuju kota Malang. Tiga hari lagi masa orientasi akan dimulai. Sebagai mahasiswa baru, Syabil akan mempersiapkan dengan sebaik mungkin untuk menjalani ospek.
Semua perlengkapan mereka berdua sudah masuk ke mobil Pak Ibrahim. Kedua belah pihak orang tua akan ikut mengantar ke Malang.
“Kenapa nggak tinggal di kontrakan aja, Nduk? Kan, ada surat nikah sementara itu, nggak pa-pa. Sambil nunggu buku nikah kalian jadi,” bujuk Bu Ibrahim sambil memeluk Inara dari samping.
“Baru bayar kos buat satu tahun, Tan. Eh, Ma,” jawab Inara canggung saat menyebut Bu Ibrahim dengan sebutan baru.
“Saya sudah bilang gitu juga, Mbak. Di ikhlasin aja, eh, Inara gak mau,” tambah Bu Ahmad.
“Nggak pa-pa, Mbakyu. Biar mereka merasakan pacaran seperti yang lain. Saling ngapelin di kos. Bedanya yang ini halal.” Bu Ibrahim senyum-senyum.
“Betul sekali, Ma.”
Syabil mengiyakan ucapan mamanya. Ia mengedipkan satu matanya ke Inara. Namun, gadis itu malah menatapnya dengan sinis. Perang dingin masih terus berlanjut bagi gadis itu.
“Kamu naik motor aja sama Syabil. Masa suaminya dibiarin sendiri,” ujar Bu Ahmad sambil membereskan piring bekas sarapan.
“Biar di mobil aja, Mbakyu,” jawab Bu Ibrahim.
“Setuju, Ma. Capek naik motor.”
Inara lega, mertuanya berada di pihaknya. Ia tidak bisa membayangkan enam jam naik motor CBR berwarna merah itu. Punggung harus tetap tegak karena tidak mungkin memeluk punggung Syabil. Inara mengusap dadanya.
“Iya benar. Nanti kalau capek terus, kapan Mama punya cucunya? Jangan ditunda ya, Nduk. Punya anak pas kuliah nggak pa-pa, kok.”
Mata Inara membeliak mendengar ucapan mertuanya. Punya anak?