Inara melirik Syabil yang terkekeh. Tanpa senyuman, matanya tajam menatap pemuda berwajah bersih tersebut.
“Waduh, Ma. Aku sama Syabil pasti sibuk sama kuliah. Kasihan anaknya nanti. Iya, kan, Bil?” tanya Inara dengan mata terbuka lebar.
“Aku sih, siap-siap aja.”
Syabil terkekeh melihat ekspresi Inara yang sebal. Ia memang berniat menggoda istrinya. Sikap jengkel gadis itu semakin membuatnya jatuh hati.
Bu Ibrahim menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah sepasang pengantin baru di depannya.
“Semua harus siap, nggak boleh salah satu aja,” kata Bu Ibrahim sambil mengusap pucuk kepala menantunya.
Inara manggut-manggut. Ia lalu menjulurkan lidahnya ke arah Syabil. Pemuda dengan jaket berwarna abu-abu itu mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Satu malam saja bersama Inara tanpa melakukan apa pun, sudah bisa membuat rasa cintanya semakin bertambah.
Mereka pun mulai berangkat. Perjalanan yang dilalui lancar walau sempat macet di daerah Batu. Tujuh jam total waktu yang ditempuh. Mobil Innova hitam berhenti di rumah berpagar hitam. Mereka sudah sampai di rumah yang akan ditempati Syabil. Lokasinya berada di salah satu perumahan yang tidak jauh dari kampus Surya Gemilang.
Inara turun dari mobil dengan malas. Ia sudah meminta sang ayah untuk menurunkannya di indekos. Namun, Pak Ahmad malah meminta Syabil yang mengantarnya nanti.
Inara berdecak kagum begitu pintu dibuka. Rumah itu baru dibangun. Aroma cat basah masih tercium kuat. Gadis itu melihat ke dua ruangan yang bersebelahan. Cukup luas dengan dua jendela menghadap taman. Ia langsung terbayang kamar kosnya yang sempit dan sedikit pengap karena tidak ada ventilasi.
“Inara beneran nggak mau tinggal di sini?” tanya Pak Ibrahim begitu melihat Inara yang sibuk melihat kondisi rumah.
“Eh, enggak dulu, Pa. Nanti aja.”
“Nanti kalau pingin nginep nggak perlu takut digerebek. Yang punya kontrakan Pak RT di sini. Temen papa juga, jadi sudah tau kalau kalian suami istri.”
Inara mengangguk pelan. “Baik, Pa.”
Setelah menurunkan barang dari mobil, kedua pasangan paruh baya itu pun pamit. Mereka akan melanjutkan silaturahim ke kolega mereka di Batu sebelum bertolak ke Pati. Inara manyun, ia ditinggal hanya bersama Syabil di rumah dengan ukuran 36 meter persegi itu.
“Bil! Anterin ke kos sekarang!” teriak Inara dari ruang depan. Syabil sedari tadi berada di kamar depan untuk menata barangnya. Namun, tidak ada jawaban terdengar dari sana.
“Bil! Syabil! Kamu ngapain?”
Masih sama, hening. Tidak ada sahutan dari kamar yang pintunya terbuka tersebut. Inara beranjak dari duduknya untuk melihat Syabil.
“Astagfirullah. Malah molor. Syabil!”
Inara menghentakkan kakinya. Ia jengkel melihat Syabil yang tertidur pulas di atas kasur busa tanpa ranjang tersebut. Ia mendekat ke arah laki-laki itu. Inara tertegun saat memandangi wajah yang kelelahan mengendarai motor berjam-jam.
“Cakep juga anak ini sekarang,” ucap Inara lirih. Ia masih terus mengamati wajah Syabil.
“Uhuk, uhuk.”
Inara tergemap begitu melihat Syabil terbatuk walaupun dengan mata yang masih terpejam. Ia segera berlari ke luar kamar.
Syabil membuka sebelah matanya, memastikan bahwa Inara sudah tidak ada di kamar. Laki-laki itu tersenyum semringah. Kalimat terakhir yang diucapkan Inara seakan membawa dirinya terbang.
“Inara, Inara.”
Syabil bangun dari posisinya. Ia sebenarnya tidak tidur, hanya merebahkan badan yang lelah. Namun, panggilan dari Inara yang meminta diantar tadi, mendatangkan ide untuk menjahili istrinya.
“Pulang ke kos sekarang?”
Suara Syabil membuat Inara menoleh ke belakang dengan sedikit terkejut.
“Kamu baru bangun, ‘kan?”
“Iya, emang kenapa?” tanya Syabil mengulum senyum.
“Enggak. Kamu tidur kan, tadi?”
“Iya. Kenapa, sih?”
Inara menggeleng, kemudian berlalu meninggalkan Syabil yang terkekeh pelan. Laki-laki itu mengepalkan tangan, sukses menjahili istrinya.
Tidak lama kemudian terdengar teriakan Inara dari teras, mengajak Syabil untuk mengantarnya pulang ke indekos. Syabil pun bergegas mengambil jaket dan helm.
“Barangmu banyak gini? Mana muat di motor.”
Syabil menghitung tas bawaan Inara. Satu koper tanggung berisi pakaian dan dua kardus besar berisi makanan.
“Muat. Ayo cepat. Nanti malam aku ada rapat ospek.”
Inara meraih kardus. Syabil yang mengangkat koper, kemudian menaruhnya di atas tangki bensin. Setelah menutup gerbang, Inara bergegas naik.
Jarak antara indekos Inara dan kontrakan Syabil kurang lebih satu kilometer. Mahasiswi pendidikan bahasa Inggris itu memilih lokasi yang terletak di kawasan perumahan depan kampus tepat.
“Berhenti!”
Pekikan Inara membuat Syabil harus menarik rem mendadak. Tubuh gadis itu terdorong ke depan hingga tak berjarak dengan punggung Syabil.
“Udah dibilang blok C nomor tujuh masih aja bablas!” omel Inara sambil turun dari motor. Syabil terkekeh, ia malah bahagia ada kejadian rem mendadak. Pemuda itu lalu memarkir motornya di depan rumah berlantai tiga, rumah singgah Inara.
Inara mengeluarkan kunci dari tas selempangnya. Baru akan membuka pagar, sosok gadis dengan celana denim ketat dan kemeja sebatas pinggang berdiri di hadapannya.
“Mau ke mana, Yas?” tanya Inara pada Yasmin, teman sebelah kamarnya.
“Cari makan. Kamu sama siapa? Naik travel?”
Inara menggeleng. Ia hanya menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah Syabil.
“Wih, gandengan baru lagi, Na. Cakep yang ini dari pada Arfa.”
“Apa-an, sih. Dia bukan gebetanku, tau.”
Syabil berdeham. Ia menangkupkan kedua tangan ke arah Yasmin.
“Perkenalkan, saya Syabil. Su-”
Belum selesai Syabil bicara, Inara menginjak kaki laki-laki di sebelahnya dengan keras. Suaminya itu pun mengaduh.
“Sepupuku maksudnya. Eh, itu Ivan udah datang.”
Inara lega. Kedatangan kekasih Yasmin itu bisa mengalihkan rasa penasaran teman indekosnya tersebut. Dua sejoli itu pun berlalu dari hadapan Inara dan Syabil.
“Siapa Arfa?” tanya Syabil penuh selidik.
Inara menghentikan langkahnya. Ia mendekat ke arah Syabil. Tatapan gadis itu tampak serius.
“Bukan urusan kamu. Urusan kita itu satu. Jangan sampai orang-orang di kampus tau kita sudah menikah. Titik!”
Syabil terdiam. Ia mulai memahami karakter Inara. Dirinya bisa saja menggunakan kuasanya sebagai seorang suami yang sah di mata agama. Syabil pun tersenyum dengan manis.
“Oke. Aku ikuti permainanmu. Ya sudah, aku balik dulu. Kalau butuh bantuan w******p aja.”
Inara mengangguk tanpa senyuman. Ia bergegas masuk ke rumah tanpa menunggu Syabil berlalu dari hadapannya.
“w******p apa? Nomor aja nggak ngerti.”
Inara terbahak. Ia melangkah dengan semangat. Tiba di indekos, itu artinya terbebas dari pernikahan mendadak.
***
Na, Malang dingin banget, ya. Aku gak kuat.
Inara membaca pesan dari nomor yang tidak tertera di kontak ponselnya. Keningnya berkerut. Ia pun melihat profil si pengirim. Sebuah gambar dua tangan yang memamerkan cincin.
“Kaya nggak asing sama ini cincin.”
Inara melihat cincin yang terpasang di jari manis sebelah kanannya. Matanya membeliak. Ia pun segera membalas pesan tersebut.
Tau dari mana nomorku
Dari mertuaku, dong. Aku kelaparan, Na
Inara tergelak membaca balasan Syabil. Ponselnya tiba-tiba berdering.
“Apa, Bil? Lapar itu makan. Bukan lapor.”
“Aku belum paham warung makan di sini. Taunya cuma jalan ke arah kosmu. Aku ke sana sekarang.
“Jangan--”
Belum sempat Inara membalas ucapan Syabil, sambungan telepon sudah diakhiri.
“Ngerepotin orang aja.”
Inara mendengkus kesal. Ia baru saja tiba di indekos. Jarum pendek sudah menunjuk angka sembilan. Rapat pembahasan persiapan ospek cukup membuatnya penat.
“Na! Ada tamu.”
Suara Yasmin terdengar melengking dari luar kamar. Inara bergegas mengambil jaket.
“Mas ganteng itu namanya siapa?” tanya Yasmin begitu Inara membuka pintu.
“Mas ganteng?”
“Sepupumu tadi.”
Inara tergelak mendengar Yasmin menyebut Syabil dengan sebutan Mas ganteng.
“Ganteng dari Hongkong? Eh, kamu baru pulang?”
Yasmin tersenyum simpul sambil berlalu masuk ke kamarnya. Inara hanya bisa menghela napas panjang. Satu temannya itu mulai membuatnya khawatir karena pergaulannya.
Inara membuka pintu ruang depan. Syabil sudah duduk di bangku yang terletak di teras. Laki-laki itu menyilangkan tangan di depan d**a seraya menyandarkan punggung ke dinding.
“Cari makan sendiri nggak bisa?”
“Nggak tau, Na. Nanti kalau dapat warung yang nggak enak gimana?”
Inara mencebik. Ia pun duduk di sebelah Syabil.
“Kok, malah duduk?”
“Ini udah malam. Kos mau tutup, nunggu diusir satpam perumahan aja kamu sekarang.”
Syabil melihat ponselnya. Ia menganggukkan kepala.
“Masa ada batas waktu suami datangi istri? Aku kan--”
Inara menutup bibir Syabil dengan tangannya. Laki-laki berambut lurus itu terkesiap. Wajah gadis itu begitu dekat dengan wajahnya.