Inara memasang wajah masam di samping teman masa kecilnya. Ia benar-benar tidak percaya dengan peristiwa yang sedang dialaminya saat ini. Kakak tercinta yang batal menikah di mana undangan sudah tersebar. Lebih tepatnya Inara sedang berusaha agarMarisa tetap bisa menikah.
“Kenapa kamu nggak nolak aja perjodohan ini?”
Syabil yang sedang menatap rimbunnya buah mangga di depan pagar rumah, sontak menoleh ke arah Inara.
“Kamu mau keluargamu jadi perbincangan orang banyak?”
“Ya, nggak mau-lah!” jawab Inara sambil berdecak kesal.
“Kalau gitu terima aja saran dari kedua orang tua kita.” Nada bicara Syabil cukup santai menanggapi Inara yang sudah terlihat emosional.
“Kita?” tanya Inara seraya menyipitkan mata sebelah kiri.
Syabil mengusap dahi sambil meringis. Ia segera meralat ucapannya.“Maksudnya orang tuamu dan orang tuaku.”
Wajah Inara semakin tertekuk. Ia harus memikirkan jalan keluar untuk menghindar dari perjodohan yang bertujuan menyelamatkan nama baik keluarganya. Gadis bertubuh mungil itu menyesal atas perbuatan Aldo--calon kakak iparnya--yang baru dua hari meringkuk di balik jeruji besi karena tertangkap sedang melakukan transaksi obat-obatan terlarang. Padahal, tiga hari lagi, pernikahan Marisa dan Aldo akan dihelat. Undangan pun sudah disebar seminggu yang lalu.
“Kamu nikah aja sama Mbak Marisa, gimana?” tanya Inara seraya menatap lekat Syabil. Mata gadis itu terlihat berbinar. Ia yakin, Syabil akan mau mengikuti rencananya. Namun, ia sontak menautkan kedua alisnya saat pemuda di hadapannya menggeleng sambil tersenyum.
“Mbak Marisa itu sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Lagian kondisi psikologisnya juga masih terguncang. Kalau dipaksa menikah dengan orang lain, kasihan. Bakal lebih tertekan. Kamu nggak sayang ya, sama kakakmu?”
Inara mencebik. Apa yang diucapkan Syabil ada benarnya. Bukan hal yang baik jika memaksa Marisa tetap menikah di saat pikirannya sedang kalut.
“Sayang bangetlah. Tapi aku nggak mau nikah sekarang. Aku masih kuliah. Apalagi kalau harus nikah sama kamu. Aduh! mimpi buruk.”
Syabil tertawa lepas mendengar pengakuan Inara. Ia menatap putri sahabat ayahnya yang sedang memajukan bibir. Pemuda berwajah teduh itu semakin gemas dengan ekspresi wajah gadis itu.
“Ngapain lihat-lihat?”
Syabil sontak mengalihkan pandangan saat Inara memergokinya. Ia menjadi salah tingkah.“Enggak kok, jangan kepedean, deh.”
“Ish, ini anak masih sama nyebelinnya!”
Inara mengepalkan tangannya. Ia sudah memasang ancang-ancang untuk memukul lengan Syabil. Namun, laki-laki berusia 21 tahun itu segera menghindar. Inara semakin geregetan. Ia menghentakkan kakinya berkali-kali dengan emosional. Walaupun sudah lama tidak bertemu sejak pemuda itu masuk pesantren, Inara masih tetap jengkel dengan kejahilan temannya saat di sekolah dasar itu.
Permintaan sang ayah yang memintanya untuk menggantikan Marisa sebagai calon pengantin, sempat membuat Inara tersulut amarah. Apalagi saat ayahnya bercerita bahwa sudah sejak lama, tepatnya saat ia baru akan masuk kuliah, keinginan menjodohkannya dan Syabil. Jika sesuai rencana, saat Inara selesai kuliah, semua akan diceritakan. Namun, takdir Allah berkata lain. Demi menyelamatkan nama baik keluarga Ahmad, perjodohan pun harus dilangsungkan secepatnya.
“Ya Allah, tolong hambamu ini. Sekarang sudah tahun 2020, bukan lagi zaman Siti Nurbaya,” ucap Inara sambil kembali duduk di kursi yang terbuat dari rotan tersebut.
***
Hari pernikahan yang seharusnya Marisa sambut dengan suka cita, akan diselenggarakan besok pagi. Namun, gadis berusia 25 tahun itu masih terbaring lemah di kamar. Inara menatap wajah kakaknya yang sedang tidur dengan iba. Tentu berat jika berada di posisi Marisa.
“Tapi aku juga berat, Mbak. Harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai,” ucap Inara lirih.
“Insya Allah, keikhlasanmu menyelamatkan nama baik keluarga dinilai sebagai pahala, Nduk.”
Inara terkesiap saat mendengar suara ibunya. Ia tidak menyadari bahwa Bu Ahmad sudah berada di belakangnya sejak awal saat ia membuka pintu kamar Marisa.
“Makasih banyak ya, Nduk. Kalau nggak ada kamu, entah mau ditaruh di mana muka kami. Undangan sudah tersebar. Ibu sayang banget sama Inara,” ucap Bu Ahmad terisak sambil memeluk erat putri bungsunya tersebut.
Inara hanya terdiam. Ia sedang berada di puncak keresahan. Dilema masih menyelimuti pikirannya. Antara keluarga dan hati yang baru saja tertambat oleh sosok mahasiswa yang tidak lain adalah pimpinannya di Koperasi Mahasiswa, salah satu unit kegiatan kampus yang diikutinya.
***
Rumah keluarga Ahmad sudah mulai sibuk sejak fajar menyingsing. Anggota keluarga besar dan tim dari pihak catering sudah mulai melaksanakan tugasnya. Akad nikah akan diselenggarakan pukul sepuluh pagi di masjid sedangkan resepsi pada sore hari di rumah.
Inara mengeringkan rambut hitamnya dengan hair dryer. Ia sedang menanti waktu untuk dirias oleh make up artistic(MUA) yang cukup terkenal dari Malang. Padahal, dirinyalah yang membujuk Marisa untuk memakai jasa MUA tersebut. Inara selalu terpukau dengan hasil riasan Zahra MUA yang akun Instagramnya ia ikuti. Dirinya pun bercita-cita jika menikah ingin menggunakan jasa perias itu. Tidak menunggu lama, impiannya akan segera terlaksana. Pagi ini dirinya akan segera menyaksikan hasil tangan dingin Zahra pada penampilannya.
Ponsel yang ada di atas ranjang berdering. Inara menghentikan aktivitasnya.
“Resta?”
Inara menekan tombol hijau. Belum juga mengucapkan salam pembuka, sahabatnya itu sudah memberinya rentetan kata yang panjang.
“Sungguh terlalu, Inara! Kenapa aku ditinggal pulang? Katanya mau ngajak jadi pagar ayu Mbak Marisa? Aku jadi sendirian nih, di kos.”
Inara tertawa menanggapi omelan Resta. Namun, sedetik kemudian ia terdiam. Bukan saatnya bergurau dengan Resta. Sahabatnya itu tidak perlu tahu cobaan besar yang akan menimpa hidupnya dua jam lagi.
“Kok, diam?”
Inara tergemap.“Kamu, sih, udah dibilang jangan ngisi diklat dulu. Malah berangkat. Ya, sudah, aku tinggal.”
“Iya, iya, maaf. Aku kan, pingin didandani sama Zahra MUA juga, Na. Kamu menang, nih. Keturutan, deh.”
Inara menghela napas panjang. Ia menahan sesak yang menghampiri. Ingin rasanya ia berkeluh kesah pada Resta saat ini. Namun, ia harus menahannya hingga pekan depan saat kembali ke indekos.
Ketukan pintu terdengar. Bu Ahmad memberitahu jika Zahra sudah tiba. Inara segera mengakhiri obrolannya dengan Resta. Saat akan mematikan ponsel, chat dari Arfa—ketua KOPMA—masuk.
Sibuk, ya? Semoga sukses ya acaranya.
Inara meraung seraya membenamkan wajahnya di bantal. Ia pun terisak.
“Aku yang nikah, Mas. Bukan Mbak Marisa.”
Inara tidak membalas pesan Arfa. Ia tidak sanggup untuk hanya mengucap terima kasih. Baru saja mereka dekat. Tepatnya, dua bulan yang lalu sejak dirinya masuk di kepengurusan inti KOPMA yang dipimpin Arfa.
“Nduk, kok, malah tidur. Ini Mbak Zahra udah datang.”
Inara segera menyeka air matanya begitu suara ibunya terdengar. Ia pun segera bangkit dan menyalami Zahra.
“Loh, Mbak yang nikah? Aku pikir kakaknya.”
Inara tersenyum tipis.“Iya, aku yang mau nikah, Mbak.”
Zahra manggut-manggut. Ia sedikit bingung karena dulu Inara waktu ke kantornya untuk membayar DP, bercerita bahwa kakaknya yang akan menikah. Zahra mengedikkan bahu. Ia segera merias gadis yang masih berstatus mahasiswi semester lima itu.
Hampir dua jam lamanya proses untuk membuat penampilan Inara berubah menjadi Barbie Look. Bu Ahmad sampai tercengang melihat hasil riasan Zahra. Beliau terus berdecak kagum.
“Masya Allah cantik sundul langit ini, Nduk.”
Inara tersipu mendapat sanjungan dari ibunya. Ia juga berkali-kali berswafoto di ponselnya. Namun, keinginan memublikasikan gambar ia urungkan. Dirinya tidak mau sampai teman-temannya di Malang mengetahui statusnya, terutama Arfa. Inara meyakinkan dirinya sendiri untuk menutup rapat perubahan status ini sampai kapan pun bahkan jika sudah bercerai.