Inara didampingi sang ibu mulai menuju masjid yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumahnya. Gadis dengan kebaya berwarna putih bertabur renda dan payet itu melangkah dengan malas.
“Manten sih, manten. Tapi jangan kaya siput gini, to, Nduk.”
Bu Ahmad menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya. Inara masih memasang wajah masam.
“Eman-eman riasan istimewamu itu, loh. Iya, kan, Mbak Zahra?”
Zahra yang juga berada di samping Inara mengangguk canggung. Perias itu mulai menyadari adala sesuatu yang berbeda dari setiap momen akad nikah yang selalu disambut dengan suka cita oleh calon pengantin. Kisah Inara ini terasa unik.
“Senyum dong, Mbak. Orang-orang pada lihatin Mbak Inara itu,” ujar Zahra menunjuk ke dalam masjid.
“Iya, Mbak,” ucap Inara singkat. Ia mencoba menarik kedua ujung bibirnya yang terasa kaku.
Calon pengantin perempuan menuju ruangan kecil di samping mimbar. Inara bersyukur tidak menyaksikan Syabil mengucapkan kabul secara langsung. Ibunya meminta pengantin perempuan hadir setelah dinyatakan sah. Jika itu terjadi, mungkin ia akan berlagak seperti di sinetron, menghentikan ijab kabul dengan dramatis.
“Ibu kok, di sini? Kenapa nggak di depan?”
“Jagain kamu, nanti kabur.”
Inara mencebik kesal. Tentu ia tidak punya hati jika sampai keluarganya dua kali menanggung malu.
Di ruang sebelah,Syabil sudah duduk di hadapan Pak Ahmad dan penghulu. Kegugupan mulai menguasai hatinya. Ia akan menyebutkan nama Inara pada ucapan kabul. Sebuah impian yang terpendam sejak ia masih duduk di bangku aliyah. Mimpi yang selalu ia bawa dalam setiap sujud panjangnya.
“Maaf Pak Penghulu,” ucap Syabil saat petugas dari KUA hendak memulai acara akad nikah. “Boleh saya minta waktu sebentar?”
“Silakan. Ada apa?”
Syabil mendekatkan mikropon ke bibirnya. Ia ingin ucapannya terdengar oleh Inara yang berada di ruangan sebelah.
“Saya ingin mempersembahkan surat Ar Rahman untuk calon istri sebelum pembacaan ijab kabul.”
Inara tersentak. Impiannya saat menikah nanti adalah mendapat hadiah bacaan suarat Ar Rahman dari jodohnya. Mimpi itu terkabul dengan cepat.
Tapi kenapa harus Syabil, Yaa Allah?
“Ar-rohmaan. ‘Allamal-qur’aan. Kholaqol-ingsaan.”
Syabil mulai membaca ayat suci Al Quran. Mata laki-laki itu terpejam, mengahayati setiap kata yang terucap. Pun dengan maknanya. Syabil memang sudah hapal beberapa juz dalam Al Quran.
Inara kembali tercengang mendengar lantunan ayat suci yang begitu merdu dari laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Suara Syabil begitu menggetarkan hatinya. Baru kali ini gadis itu mendengar suara pemuda bertubuh tinggi tersebut melantunkan ayat suci Al Quran.
“Fa bi ayyi aalaaa i robbikumaa tukazzibaan. Tabaarokasmu robbika zil-jalaali wal-ikroom.”
Keharuan tiba-tiba menyeruak mengusir kejengkelan yang sedari tadi bersemayam. Inara menyeka cairan bening di sudut matanya dengan tisu. Bu Ahmad yang mendampingi putrinya tersenyum haru.
Ya Allah berkahilah keluarga putri hamba.
Acara pun dilanjutkan dengan prosesi inti. Pak Ahmad menyerahkan Inara lewat ucapan ijab kepada Syabil.
“Saya terima nikah dan kawinnya Inara Syarifa binti Ahmad Aditama dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
Syabil sukses mengucapkan kalimat kabul hanya dengan satu kali tarikan napas. Semua yang hadir mengucap rasa syukur. Pemuda bertubuh tegap itu menarik napas lega. Keharuan menyeruak dalam hatinya.
Hanya satu yang merasakan kesedihan mendalam, sang pengantin wanita. Inara menitikkan air mata. Pernikahan yang seharusnya membuat seorang pengantin itu bahagia, malah dirasakan sebaliknya.
“Nduk, ayo.”
Bu Ahmad menggamit lengan putrinya menuju tempat utama. Mereka masuk melalui pintu yang berada di samping. Undangan yang berada di masjid terperangah melihat Inara yang baru melangkahkan kaki ke ruangan dengan empat tiang besar tersebut. Mereka tampak berdecak kagum dengan wajah gadis mungil yang terlihat manglingi dengan kebaya berkerah sanghai itu.
Syabil masih di tempatnya. Ia lalu diminta pembawa acara untuk berdiri menyambut sang istri. Detak jantung saat mengucap kabul kalah kuat dengan saat ini. Ia begitu berdebar ingin melihat wajah Inara yang sudah sah menjadi pasangan halalnya. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan menundukkan kepala.
Bu Ibrahim—ibu Syabil—yang berada di deretan paling depan, saat mendongak ke arah Inara, tercengang. Wanita paruh baya itu terus berdecak kagum melihat penampilan menantu satu-satunya itu.
“Silakan pengantin laki-laki menyambut kekasih halalnya,” titah pembawa Acara.
Syabil segera mengulurkan tangannya ke arah Inara. Gadis itu masih terdiam hingga Bu Ahmad menyenggol lengannya. Dengan berat hati, ia pun mengecup punggung tangan sang suami sekilas.
“Bentar, Mbak. Diulangi lagi kecup tangannya. Tadi terlalu cepat,” protes fotografer.
“Pelan-pelan, Nduk. Sudah halal nggak papa,” goda Bu Ahmad. Inara hanya mencebik sambil terus menundukkan kepalanya.
Inara pun mengulangi adegan tadi. Ia tergemap saat tangan kiri Syabil menyentuh kepalanya. Ingin rasanya ia berteriak tetapi sangat tidak mungkin. Inara pun menghela napas lega saat fotografer mengucap kata cukup.
“Masya Allah,” ucap Syabil saat Inara mendongakkan wajah. Ia begitu terpesona dengan kecantikan Inara yang semakin menggemaskan di matanya.
Ish, ini anak kenapa pakai kaget gitu. Iya tahu, aku cantik sejak lahir. Nggak usah kaya gitu cobalihatnya.Inara mendengkus kesal.
Hati Syabil berdesir. Untuk pertama kalinya ia dengan waktu yang lama bisa menatap gadis di sebelahnya. Pemuda itu lalu menundukkan wajah.
Acara selanjutnya adalah tukar cincin. Syabil meraih jemari tangan kanan Inara. Detak jantungnya semakin berkejaran saat menyentuh kulit sang istri. Ia belum pernah sekalipun bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya. Dirinya begitu menjaga kontak fisik dengan lawan jenis. Pola asuh kedua orang tua dan juga delapan tahun mengenyam pendidikan di pesantren membuatnya pandai menjaga pergaulan di zaman milenial ini.
“Oke, sekarang Mas Syabil. Istrinya boleh dikecup keningnya.”
Inara mengangkat wajahnya. Ia menatap lekat Syabil seraya menggelengkan kepala. Namun, laki-laki itu tidak menyadari penolakan darinya.
Syabil semakin mendekat ke wajah Inara. Senyuman terus mengembang di bibir laki-laki itu. Ia mendaratkan kecupan dengan sangat lembut di kening Inara.
Keningku ternoda, rutuk Inara sambil memejamkan mata.
Gadis itu hanya bisa pasrah saat Syabil mengecup keningnya setelah tukar cincin. Semua prosesi sudah dilalui. Hal yang paling mengharukan adalah saat sungkeman. Tidak hanya keluargaPak Ahmad dan istrinya tetapi juga Pak Ibrahim berserta istri yang berurai tangis haru.
Semua undangan yang hadir di masjid menuju rumah Pak Ahmad. Syabil digandeng Bu Ibrahim sedangankan Inara bersama Bu Ahmad. Mereka semua berjalan bersisian menuju rumah.
“Udah sah, jalannya deket-deketan dapat pahala, loh, “ goda Bu Ibrahim ke menantunya. Inara hanya tersenyum tipis. “Syabil pasti deg-degan ini.”
Syabil tidak merespon ucapan sang ibu. Ia kemudian melirik istrinya. Gadis itu masih juga tanpa ekspresi, dingin.
“Nggak nyangka ya, Mbak. Kita secepat ini jadi besan. Jalan takdir dari Allah memang indah, meskipun melalui musibah,” ujar Bu Ahmad yang masih diliputi keharuan. Ia tidak menyangka, anak gadisnya yang masih kolokan itu lebih dahulu melepas masa lajang.
***
Inara segera menuju kamar setelah sampai. Ia rasanya ingin menyentuh kasur. Rasa kantuk begitu kuat menyergap matanya. Semalam, dirinya tidak bisa memejamkan mata karena membayangkan nasibnya yang akan menyandang status sebagai istri dan menjalani pernikahan tanpa cinta. Kesedihan selalu terasa saat mengingat Arfa.
“Mbak Inara kalau mau istirahat sambil nunggu jam resepsi silakan aja. Saya bantu lepas kerudungnya.”
“Iya, Mbak. Ngantuk berat ini. Eh, riasannya luntur nggak nanti? Takut aku ngiler.”
Zahra tertawa mendengar celetukan Inara.“Tenang, make up yang aku pakai serba premium. Tahan sampai nanti malam.”
Zahra punsegera melepas kerudung Inara yang dihiasi untaian bunga melati yang menjuntai di samping kanan. Ia hanya menyisakan ciput ninja. Inara mulai melepas kancing mutiara yang berderet dengan jumlah yang banyak. Beruntung ia dibantu oleh asisten Zahra.
“Mbak Inara, kami keluar dulu, ya. Nanti selepas Ashar kita mulai persiapan lagi buat resepsi.”
“Siap, Mbak. Terima kasih.”
Zahra dan asistennya bergegas keluar dari kamar pengantin. Inara pun segera merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Rasa kantuk sudah tidak tertahankan lagi.
Di luar kamar. Bu Ahmad sibuk mencari Inara.
“Istrimu mana, Bil?”
“Sepertinya tadi ke kamar, Bu.”
“Ya udah, kamu istirahat aja dulu di kamar.”
Syabil mengangguk sambil tersenyum. Ia memang mengantuk karena semalam begadang menghapalkan ucapan kabul. Padahal sebelum perjodohan itu terjadi, ia sudah hapal di luar kepala.
“Di kamar mana, Bu?”
“Ya, kamar kalian, Bil. Masa di kamar Ibu sama ayah?” jelas Bu Amad sambil terkekeh. “Udah cepetan sana. Mumpung ada waktu tiga jam. Lumayan buat istirahat.”
Syabil beranjak dari posisinya. Ia melangkah pelan. Saat menyentuh kenop pintu kamar Inara, ia terdiam. Dirnya takut jika Inara marah melihat kehadirannya.
“Aku kan, suaminya.”
Syabil membuka pintu dengan pelan. Ia lalu mengucapkan salam. Hening, tidak ada yang menjawab. Syabil menoleh ke arah ranjang. Ia tersenyum saat melihat Inara sedang tidur di sisi kanan ranjang. Gadis itu berbaring dengan menyamping, menghadap kanan.
Langkah Syabil pelan, pun saat ia menyentuh ranjang. Ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Pemuda itu melepas beskap berwarna putih hingga menyisakan singlet saja.
“Masya Allah, istriku cantik banget,” ucap Syabil lirih. Ia lalu merebahkan tubuhnya di samping Inara. Pemuda berkulit bersih itu berbaring menyamping menhadap Inara. Rasa kantuk yang menghinggapi tadi, seolah hilang saat memandang wajah sang istri. Matanya begitu lekat menatap gadis periang itu. Namun, ia tersentak begitu mata Inara tiba-tiba terbuka.