Kabar Buruk

1223 Words
Inara terperanjat saat Syabil berkata bahwa obat alerginya hanya dirinya yang bisa menemukan. Gadis itu menggaruk kepala yang tidak gatal. Kedua alis yang melengkung sempurna di atas kelopak mata itu saling bertaut. “Jurusanku pendidikan bahasa, bukan farmasi. Ngigau ya?” Syabil menggeleng sembari terseyum manis. Ia kembali bersin-bersin. “Tuh, kan, makin meler. Obatnya apa, Bil?” Inara sudah tidak sabar. Ia merasa kasihan dengan kondisi suaminya itu. Hidung Syabil tampak memerah, kontras dengan kulit wajahnya yang bersih. “Obatnya itu,” ucap Syabil seraya menggantung kalimat. Ia menatap lekat mata Inara. “Jangan marah, ya.” Kening Inara berkerut. Ia bingung dengan obat yang bisa membuat marah jika dirinya mengetahuinya. “Jangan bilang kamu make n*****a, ya. Cerai langsung malam ini!” Inara tercengang dengan pikirannya sendiri. Namun, ia segera menutup mulutnya saat keceplosan mengucap kata cerai. Syabil hanya tertawa mendapati kebawelan Inara. “Astaghfirullah, jahat banget kamu, Na.” “Terus apa?” Syabil menyunggingkan seutas senyuman. Ia menghela napas pelan. Antara iya dan tidak untuk memberitahukan hal tersebut. Wajah Inara terlihat penuh tanya. “Obatnya itu, pelukanmu.” Inara mengerjap tidak percaya. Sedetik kemudian, ia berkacak pinggang dengan mata melebar. “Dasar m***m!” “Sama istri sendiri kan, halal.” Inara sontak menginjak kaki Syabil dengan kekuatan penuh. Laki-laki itu terdengar mengaduh. “Sadis banget, sih, Na.” “Udah dibilang jangan ngomongin soal suami istri di sini,” ujar Inara sambil bergumam. Matanya mengawasi sekelilingnya. Ia lalu mengusap d**a, lega. Namun, baru akan menceramahi Syabil, terdengar suara orang berbicara dari luar pagar. Inara merasa tidak asing dengan suara perempuan yang sedang terisak. “Yasmin?” Inara terperangah mendapati sosok yang muncul dari balik pagar. Wajahnya begitu kusut. Berbeda saat Yasmin keluar dari indekos tadi. Gadis dengan jaket denim itu langsung menghambur ke pelukan Inara. “Kamu kenapa?” Tidak ada kata yang terucap dari bibir Yasmin. Ia terus terisak sambil membenamkan wajah di bahu Inara. Syabil mencolek lengan Inara. “Kenapa?” tanya Syabil tanpa menimbulkan suara. Inara hanya mengangkat bahu. Ia lalu melambaikan tangannya pertanda meminta Syabil untuk pulang. Pemuda itu menghela napas kasar. Baru juga sebentar berkencan dengan istrinya, sudah dapat pengusiran. Inara mengacungkan ibu jari saat Syabil pamit undur diri. Gadis itu segera mengajak Yasmin masuk. “Kamu mau cerita di kamarku apa kamarmu?” “Resta di mana?” tanya Yasmin balik. “Di kamarku.” “Ke kamarmu aja.” Dua mahasiswi itu pun menuju ruangan yang terletak di pojok depan. Resta terkejut saat melihat mata Yasmin sembab. “Kenapa dia?” “Belum tahu.” Yasmin duduk bersandar di dinding dengan tangan mendekap lutut. “Aku putus sama Ivan.” Resta dan Inara tercengang. Kedua ujung bibir mereka kompak tertarik ke atas. “Alhamdulillah,” ucap Resta dan Inara serempak. Yasmin tersentak. Ia membulatkan matanya menatap dua sahabatnya bergantian. “Ternyata kalian benar. Ivan bukan cinta, tapi cuma nafsu.” “Tuh, kan.” Inara berdecak kesal. Tangannya mengepal. Ia ingin sekali menghajar pemuda itu dengan jurus silat yang dikuasainya. “Udah, yang penting Yasmin selamat dari jebakan f**k boy itu. Pokoknya, Yas, kalau ada yang nyatain cinta, lihat dulu. Dia tulus enggak?” Resta memberi nasihat. Aktivis mahasiswa itu memang paling kritis di antara tiga dara itu. “Diputusin kenapa?” tanya Inara penasaran. Yasmin hanya terdiam dengan kepala menunduk. Ia malu jika harus bercerita pada dua sahabat yang setia mengingatkannya itu. “Kamu diajak tidur pasti,” tebak Resta. Inara memukul lengan Resta, memberi isyarat untuk tidak berkata tentang hal yang begitu sensitif tersebut. Yasmin masih terdiam. Gadis itu bahkan semakin menenggelamkan wajahnya di bantal yang ia dekap. “Diam berarti iya.” “Resta!” Inara menggelengkan kepala seraya menghela napas kasar. Ia lalu mengusap punggung Yasmin. Dirinya ingin menenangkan Yasmin terlebih dahulu. “Kalau kamu belum bisa cerita, nggak pa-pa. Aku nggak akan maksa.” Yasmin kembali terisak. Inara kaget, ia lalu merengkuh gadis berambut lurus sebahu itu ke dalam pelukannya. “Aku mau jujur, Na. Maaf karena nggak pernah mendengarkan nasihat kalian.” Inara dan Resta serempak mengangguk. Yasmin menghela napas panjang. “Benar kata Resta.” “Apa?!” pekik Inara tidak percaya. Sedangkan Resta hanya memijit pelipisnya. “Bukan gitu. Jadi, dia itu ngajak, tapi aku tolaklah. Aku masih waras kali. Eh, dia marah. Katanya kalau cinta, aku harus buktikan.” “Dan, buktinya tidur bareng?” sela Resta sambil tertawa sinis. “Terus gimana, Yas?” tanya Inara. “Aku ditampar.” Resta dan Inata tersentak. Mereka sangat prihatin dengan keadaan Yasmin. “Setelah itu, dia minta maaf.” “Kamu maafin?” Inara kembali bertanya. Yasmin menggeleng. Ia lalu menceritakan semuanya hingga keputusannya untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang juga kakak tingkatnya itu. “Na, ponselmu dari tadi getar.” “Biarin. Lagi seru denger cerita Yasmin. Lanjutin, Yas. Dia kenapa kayak marah tadi di depan pagar?” Inara mengalihkan pembicaraan. Ia sempat melihat siapa yang meneleponnya. Saat mengetahui bahwa Syabil, gadis itu memilih untuk tidak merespon. “Dia ngancam, kalau sampai kejadian tadi aku ceritakan sama kalian, katanya mau bikin hidupku nggak tenang.” “Parah, beneran kurang ajar Ivan, tuh.” Resta tersulut emosinya. Meskipun Yasmin juga salah karena tidak menggubris nasihatnya dan Inara. Tetap saja, kelakuan Ivan sudah di luar batas. Tiga dara itu pun mulai larut dalam obrolan. Tidak terasa waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Yasmin dan Resta beranjak menuju kamarnya. Inara meraih ponsel yang ada di atas meja. Saat membuka w******p, ia terkejut mendapati foto yang dikirim Syabil. Inara berulang kali mengerjapkan mata menatap foto itu. Ia semakin tercengang saat membaca chat yang dikirim Syabil.Segera, gadis itu menghubungi suaminya. “Kok, nggak diangkat?” Inara kembali menelepon Syabil. Namun, tetap tidak ada jawaban. Begitu pula dengan chat. Belum centang biru. Inara segera mengganti piamanya dengan kaos lengan panjang dan celana denim. Ia lalu meraih kerudung dan jaket yang tergantung di belakang pintu sebelum keluar kamar. “Ta, Resta.” Inara mengetuk pintu kamar Resta. “Kenapa, Na?” tanya Resta sambil memainkan ponsel. “Temani aku ke rumah sakit sekarang.” Resta mendongakkan wajahnya. “Ngapain?” Inara memperlihatkan foto yang dikirim Syabil. “Mas Ganteng?” Inara mengangguk. Wajah gadis itu sudah terlihat cemas. Resta memahami apa yang dirasakan sahabatnya. Ia pun segera memakai jaket. Mereka segera menuju garasi. “Duh, ini motor kenapa, sih?” Inara berulang kali menekan tombol strater motor Scoopy-nya. Namun, nihil. Mesinnya tidak kunjung menyala. Resta yang menunggu di dekat pagar, menghela napas dalam melihat sikap Inara. Ia berjalan menuju garasi. “Sudah, aku saja yang bawa motor. Bahaya kalau dibonceng orang panik.” “Aku nggak panik, kok.” Resta terbahak mendengar pembelaan Inara. Ia lalu memaksa gadis itu turun dari motor. Mahasiswa manajemen itu lalu menaikkan standar samping. “Loh, kok nyala?” “Dibilang lagi panik, ngeles. Kamu bakalan sampai subuh nunggu motor nyala. Orang standar samping nggak dinaikin.” Inara menepuk keningnya. Ia lupa akan kebiasaannya jika motor sudah masuk garasi, standar tengah wajib ia gunakan. Ia sadar diri, penghuni indekos hampir semuanya membawa motor. Tentu garasi padat dengan motor yang terparkir setiap malamnya. Inara memilih untuk tidak mengambil ruang banyak saat motornya terparkir. Resta segera mengeluarkan motor Inara, sedangkan pemiliknya menutup pagar. Gadis berambut sebahu itu memacu kendaraan roda dua menuju rumah sakit milik kampus yang tidak jauh dari indekos mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD