“Waalaikumsalam,” jawab Arfa sambil tersenyum. Pandangannya lurus menatap sosok pemberi salam yang tidak dikenalnya itu. Sedangkan Inara, hanya terdiam dengan wajah yang terlihat tegang. Gadis itu tidak berani menoleh ke sumber suara.
“Syabil,” ujar Syabil singkat seraya mengulurkan tangan yang segera disambut dengan ramah oleh Arfa. Mahasiswa baru itu lalu duduk di sebelah Inara. Syabil menoleh ke arah gadis yang tengah memegang kening dengan tangan. “Saya temannya Inara.”
Inara menghela napas lega. Apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Syabil ternyata mau mengikuti rencananya.
“Teman satu kelas?” tanya Arfa yang terlihat antusias dengan kedatangan Syabil.
“Bukan, teman SD dulu,” jawab Inara seraya tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Arfa mengangguk sambil kembali menikmati makanannya. Suasana menjadi hening. Ketua KOPMA itu heran. Tadi, sebelum Syabil datang, Inara terlihat bersemangat berbagi cerita. Sekarang, gadis itu hanya fokus pada semangkuk bakso di hadapannya.
“Semester lima juga, Mas? Jurusan apa?” tanya Arfa membuka percakapan.
“Tarbiyah. Saya mahasiswa baru, Mas. Panggil Syabil saja.”
“Loh, baru masuk kuliah?”
Syabil mengangguk sambil menerima pesanan yang di antar ke mejanya. Ia pun bercerita tentang alasannya terlambat kuliah.
“Keren ini, alumni pesantren.”
Syabil hanya tertawa kecil saat Arfa memujinya. Apalagi saat pemuda itu tahu bahwa dirinya adalah alumni pesantren yang cukup terkenal di Indonesia.
Inara masih saja tidak bersuara. Ia jengkel mendapati Syabil ikut bergabung di mejanya. Apalagi melihat dua laki-laki itu mulai asik berbincang. Kesempatan berdua dengan Arfa harus hilang. Padahal hal ini sangat langka untuk didapatkan. Seringnya, mereka makan rame-rame dengan teman-teman yang lain.
“Na, aku duluan, ya. Dosen nge-chat suruh bimbingan dadakan sekarang.”
Inara hanya melongo saat Arfa beranjak dari duduknya. Pemuda itu lalu berpamitan pada Syabil.
“Nggak usah dibayar, Mas. Nanti bareng sama punya saya saja.”
Arfa seketika menolak niat baik Syabil. Namun, suami Inara itu tetap memaksa. Arfa akhirnya menerima traktiran tersebut lalu bergegas menuju ruang dosen yang memanggilnya.
“Gaya, masih dibiayain orang tua aja pake bayarin makanan orang.”
Syabil tertawa kecil mendengar celetukan Inara.
“Mau nambah?”
Inara mencebik sambil menikmati bakso yang masih terlihat penuh di mangkuk.
“Aku nanti ke kosmu, ya?”
“Ngapain?”
“Mau curhat.”
Inara menghentikan suapannya. Ia lalu menoleh ke arah Syabil.
“Curhat apa? Masalah cewek?”
“Tepat. Bikin pusing masalah satu itu.”
Inara terus menatap Syabil. Ia penasaran dengan masalah yang akan diceritakan pemuda di sampingnya. Namun, ia gengsi jika harus bertanya lebih lanjut.
“Mau dibawakan camilan apa nanti malam?”
“Nggak perlu, kamu boros banget dari kemarin ngirimi aku camilan terus. Uang juga masih minta,” cetus Inara sinis.
Syabil menghela napas panjang. Ia sudah menduga jika Inara akan membahas masalah ekonomi. Ia tidak bisa dengan gegabah membahas perihal tersebut di tempat ramai seperti kedai bakso ini. Syabil membutuhkan suasana yang lebih kondusif untuk bisa bertukar pikiran hanya berdua saja dengan istrinya. Namun, tentu saja ini adalah hal yang cukup sulit mengingat Inara selalu memberi ultimatum untuk tidak membicarakan masalah rumah tangga walaupun di indekos sekalipun, apalagi kampus.
“Udah selesai?” Mata Syabil tertuju pada mangkuk yang sudah dijauhkan dari hadapan gadis itu. Pemuda itu melihat isi benda cembung berwarna putih dengan gambar ayam jago di sisinya. “Kok, nggak dihabisin?”
“Langsung kenyang lihat kamu datang.”
Syabil terbahak mendengar celetukan Inara. Ucapan-ucapan spontan gadis itu memang kerap kali membuatnya terhibur walaupun kebanyakan berisi sindiran.
“Bagus, dong. Biar kamu nggak tambah gendut. Lihat aku aja biar nggak makan banyak.”
Inara bergidik melihat ekspresi Syabil yang mendekatkan wajahnya ke arahnya. Ia lalu mendorong kening laki-laki itu.
“Sakit tau, Na.” Syabil mengusap keningnya dengan raut wajah meringis.
“Biarin. Eh, aku gendutan, ya?” tanya Inara sambil memperhatikan tubuhnya. Gadis itu mulai memegang pinggulnya. Ia kepikiran akan ucapan Syabil yang mengatakan agar dirinya tidak bertambah gemuk.
“Belum, kok. Masih langsing. Tunggu saja nanti bakal aku bikin gendut,” jawab Syabil dengan nada lirih di akhir kalimat.
“Apa? Kamu mau bikin aku gendut?” tanya Inara terperanjat. Syabil terkekeh mendapati wajah bingung Inara. “Emang bisa? Camilan yang kamu kirim aja dihabisin teman-teman kos aku.”
Bukan kekehan lagi yang keluar dari bibir Syabil tetapi derai tawa. Ia menggelengkan kepala, kemudian menempuk keningnya pelan. Istrinya memang masih sangat polos.
“Kok, ketawa? Aneh emang kamu, tuh. Dari dulu.” Inara mulai beranjak dari duduknya.
“Eh, mau ke mana?”
“Balik ke kampus.”
Syabil menarik tangan Inara.
“Nggak boleh. Habisin dulu makanannya.”
“Aku udah kenyang, Bil,” jelas Inara dengan nada merengek. Syabil tidak melepas genggaman walaupun gadis itu berusaha meloloskan tangannya.
“Aku nggak akan lepasin tanganku kalau makanan itu nggak kamu habisin.”
Wajah Inara semakin terlihat masam. Ia kembali duduk dengan malas. Syabil melirik gadis di sampingnya, ia melepas genggaman tersebut kemudian mengambil mangkuk di hadapan Inara.
“Tetap di sini dulu.”
Inara tercengang melihat Syabil mulai memakan bakso yang tidak dihabiskannya tadi.
“Bil, sendok itu tadi udah kena mulutku. Kamu nggak jijik apa?”
“Ngapain jijik. Ini namanya romantisme halal. Seperti kebiasaan Nabi Muhammad yang minum dari gelas yang sama dengan Aisyah. Itu pun Rasulullah mencari bekas bibir istrinya terlebih dulu, baru kemudian minum di sisi yang sama.”
Bibir Inara terbuka, begitu pun dengan matanya yang membeliak. Ia sangat tidak menduga bahwa Syabil akan berucap seperti itu. Inara seperti kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan pemuda berkemeja biru polos tersebut.
“Kalu makan itu perhatikan kemampuan kita. Jangan ambil banyak kalau nggak sanggup habisin.”
Inara berdecak kesal. “Aku tadi lapar banget, tapi kamu datang jadi langsung kenyang.”
“Masa, sih?”
“Udahlah, nggak usah dihabisin punyaku.”
Inara kembali mengambil mangkuk yang masih menyisakan tahu dan pentol tersebut. Namun, Syabil kembali menggeser benda tersebut.
“Kita tidak pernah tahu, di bagian mana pada makanan ini keberkahan itu berada.”
Inara hanya menghela napas pendek mendengar ucapan Syabil. Gadis itu mulai menyadari ucapan-ucapan pemuda yang sudah sah menjadi suaminya. Laki-laki berambut lurus itu selalu berucap tentang hal yang membuka wawasannya. Terutama masalah agama. Inara menyandarkan punggungnya di dinding sambil menatap Syabil yang sedang menyelesaiakan makannya.
***
Selepas salat Isya berjamaah di masjid perumahan, Syabil segera memacu motor kesayangannya menuju indekos Inara.
Aku udah di depan.
“Duh, ini anak beneran datang ke sini,” rutuk Inara yang sedang menonton film di laptop bersama Resta.
“Didatangi suami kok, ngeluh.”
“Suami tak dianggap.”
“Husst, jangan gitu. Ntar kamu kualat baru tau rasa kamu, Na.”
“Nggak akan,” ucap Inara sambil meraih kerudung yang menggantung di belakang pintu.
“Dasar pengantin mahasiswa.”
Resta tergelak mendapati mata Inara yang mendelik ke arahnya. Sahabatnya itu pun berlalu dari kamar menuju teras.
“Kamu nggak kedinginan?” tanya Syabil begitu Inara datang mendekat ke arahnya dengan hanya mengenakan piama lengan panjang.
“Biasa aja.”
“Kok, aku kedinginan, ya?”
“Dasar manja. Udah beberapa minggu di Malang masih juga kedinginan.”
Syabil merapatkan jaketnya. Ia terus saja menggosok hidungnya. Setiap malam menjelang, hingga pagi hari, pemuda itu merasakan hidungnya berair.
“Kamu kenapa?” tanya Inara yang memperhatikan tingkah tidak biasa laki-laki disebelahnya. Belum juga pertanyaannya terjawab, Syabil mulai bersin berulang kali.
“Tisu, mana tisu?” Syabil menutup hidungnya seraya menundukkan kepalanya. “Na, ingusku keluar, nih.”
Syabil terus membekap hidungnya. Inara ikut bingung. Ia pun segera masuk kembali ke rumah. Tidak lama kemudian, ia datang dengan tisu satu kotak.
“Cepet, Na. Netes terus, nih.”
Inara segera menyerahkan lima lembar tisu ke arah Syabil. Pemuda itu bergegas membersihkan hidungnya.
“Alhamdulillah, lega.”
“Jorok banget. Sana cuci tangan dulu di keran,” titah Inara seraya menunjuk keran air yang ada di balik pagar. Tanpa protes, Syabil segera melaksanakan perintah istrinya.
“Tersiksa rasanya bersin-bersin terus tiap malam sampai subuh.”
“Emang kamu nggak pernah gini pas mondok?”
Syabil menggeleng sambil mengeringkan wajahnya yang sudah ia basuh tadi.
“Kan, pondok daerahnya panas. Malang, dingin banget.”
“Berarti kamu ada bakat alergi udara, nih.”
Inara menatap Syabil seraya menyilangkan tangan di depan d**a. Tatapannya seolah menganalisa gejala yang dialami pemuda itu.
“Harus diobati, Bil,” imbuh Inara menegaskan.
“Kamu mau nyuruh aku ke dokter? Ogah banget.”
“Terus mau tersiksa kaya gini terus? Terserah, deh.” Inara mencebik kesal.
Syabil tersenyum melihat ekspresi istrinya. Meskipun sering kena omelan Inara, tetapi dirinya merasa gadis itu sudah mulai perhatian kepadanya.
“Aku tau obatnya, kok.”
“Udah beli?” tanya Inara. Syabil hanya menggeleng pelan. “Cepat beli, dong. Gimana, sih?”
“Obatnya susah didapat. Padahal gratis.”
Inara menautkan kedua alis mata. Ia penasaran dengan obat yang dimaksud Syabil.
“Obat apa namanya?”
Syabil hanya terkekeh seraya memperhatikan deretan giginya. Inara yang melihat tingkah laki-laki itu jadi kesal.
“Masalahnya cuma kamu yang bisa bawa obat itu.”
“Hah, aku?!”