Sumber Sira

1528 Words
… Juli, Agustus, September 2007 …           Hidup di pondok pesantren itu rasanya memang jauh berbeda dibandingkan dengan hidup di kota saat diriku masih sekolah SD. Dulu pas jaman SD, bangun tidur selalu lebih dari jam enam pagi, sehingga jarang sekali diriku menjalani shalat Subuh berjamaah di masjid. Tapi ketika sudah tinggal di pesantren, waktu dua puluh empat jam hanya terasa sepuluh jam, karena saking banyaknya kegiatan.           Sekarang sudah masuk jam setengah enam pagi. Di pagi inilah aktifitas mengaji kitab Riyadhus Shalihin di mulai, di mana penceramahnya adalah ustadz Zubaidi, selaku ketua di pondok pesantren ini.           “Hadirin jamaah yang di rahmati Allah, ketahuilah bahwa kekayaan, kemiskinan, ketampanan maupun kejelekan bukanlah suatu pembeda manusia dalam pandangan Allah. Karena sesungguhnya hidup ini hanyalah ujian semata, Allah menguji semua hambanya agar bisa mengetahui siapakah yang paling bertaqwa,” terang beliau.           “Kunci kebahagiaan hidup di dunia ini hanyalah dua, yaitu sabar dan syukur, di mana ketika kita mendapatkan masalah atau musibah kita bersabar. Dan apabila kita diberikan rizki maka kita sikapi dengan bersyukur, Insya Allah selama kita bisa menerapkan dua hal tersebut, hidup kita dijamin pasti bakal bahagia,” terang beliau kembali.           Tiga puluh menit pun telah berlalu, usai sudah beliau menyampaikan ceramah singkatnya. Dan kini tiba saatnya aku dan seluruh santri mempersiapkan diri dalam menjalani aktifitas di sekolah.            “Vian, ikut gue yuk!” seru Imam.            “Ke mana Mam?” tanyaku.            “Sarapan pagi di kantin depan.”            Lalu kita berdua mulai duduk di kantin sambil menikmati sepotong roti dan secangkir kopi.            “Oh ya Mam, Lu bisa main gitar nggak?” tanyaku.            “Bisa sih dikit-dikit. Dulu sih sejak gue masih kelas dua sudah pernah belajar, tapi jarang banget pegang gitar karena gue lebih suka mainin ukulele.”            “Oh, begitu.”            “Kok tumben banget Lu nanya soal itu.”            “Nggak apa-apa sih. Dulu gue pernah punya grup band, tapi sekarang gue udah ngundurin diri,” terangku.            “Emmm, kenapa gtu?”            “Ya karena gue sekarang kan udah mondok, nggak memungkinkan kan kalau latihan.”           “Begitu ya, ya sudah kita masuk kelas dulu yuk!” seru Imam.            Seiring perjalanan waktu, aku jadi merasa terbiasa di sini, di mana setiap hari harus bangun jam setengah empat pagi untuk persiapan shalat Subuh di masjid, usai shalat pun masih ada dua kegiatan lagi, yang pertama mengaji Al-Qur’an, dilanjutkan dengan dengan mengaji kitab kuning, ya beginilah cobaan berat bagi santri baru, inginnya bisa tidur lagi usai shalat Subuh, hidup di pondok pesantren mana mungkin bisa.           Kecuali di saat hari Jum’at saja. Kebetulan segala kegiatan banyak yang diliburkan di hari ini termasuk kegiatan belajar di sekolah. Di hari Jum’at inilah aku, Imam, Yunus dan juga Fredi mulai bermain-main di halaman sekolah. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, kita mulai menikmati hangatnya mentari dengan bersantai di gazebo. Tak hanya mengobrol tapi kita juga coba bernyanyi bersama, agar suasana bisa terasa lebih asyik dan menyenangkan.           “Lama-lama gue jadi pengen beli gitar nih,” ucapku.           “Ya tinggal beli aja kan bisa,” jawab Yunus.           “Emang di pondok boleh nyimpen gitar? Ntar kalau ketemu pengurus gimana?” sahut Fredi.           “Mana gue tahu. Tapi Irvan anak kamar sebelah kok boleh tuh nyimpen gitar,” tukasku.           “Wajar aja kali, dia kan santri lama, lah kitaaa? Baru aja mondok tiga bulan,” sahut Imam.           “Hmmm, ngomong-ngomong ngapain dari tadi kita ngomongin soal musik.” Yunus menggumam.           “Ya iyalah, Vian kan pengen jadi artis,” celetuk Fredi.           “Bisa aja Lu Fred,” timpalku.           Kebetulan saja karena sekarang sudah masuk di hari Jum’at, teman-teman di kamar D1 lagi ngajak main ke sebuah sumber air. Aku nggak tahu nama sumbernya apa, yang jelas di siang ini pada pukul jam satu, sekitar dua belas anak akan berjalan kaki ke arah barat sejauh dua kilometer.           “Mam, kita mau ke sumber apa sih namanya?” tanyaku.            “Aku juga nggak tahu apa nama sumbernya, udah kita ikutin aja sama temen-temen yang lain.”            “Kamu bawa duit nggak?” tanyaku.            “Ya bawalah, ntar kita makan apa,” jawab Imam.            “Aku lupa nggak bawa nih, tapi kalau ntar aku laper, aku pinjem uangmu dulu ya,” pintaku.            “Beres.”           Tak lama juga perjalanan yang telah kita lalui bersama, hanya dalam waktu tiga puluh menit, akhirnya kita semua telah tiba di sebuah sumber yang bernama sumber Sira. Pemandangan di sumber ini sangat indah sekali, banyak sekali anak-anak yang berenang di situ termasuk kita. Tanpa ada banyak waktu, kita semua langsung menanggalkan pakaian serta menceburkan diri ke sumber itu. Wowww, airnya terasa sangat dingin sekali.           Usai ku berenang, tiba-tiba datang gerombolan perempuan berjilbab dengan berbondong-bondong ke tempat ini. Kumulai penasaran, akankah mereka semua juga akan berenang.           “Mam, tuh cewek-cewek dari mana?” tanyaku.           “Oh, itu santriwati-santriwati putri dari pondok sebelah.”           “Terus ngapain mereka semua ke sini?”           “Setahuku sih mereka lagi berlatih vokal.”           “Maksud Lu.”           “Iya, mereka semua ke sini tuh mau latihan paduan suara.”           Para santriwati tersebut mulai menata barisannya dengan cukup rapi. Kumulai memperhatikan bagaimana cara mereka latihan. Dengan suara yang cukup lantang, mereka serempak berteriak, “doo ree mii faa sooll laa sii doo.” Begitu merduanya nada-nada yang mereka bunyikan membuatku terpaku dan tak mau pergi untuk sekedar melihat mereka dalam berlatih.           Menyikapi hal tersebut, kumulai merindukan teman-teman grup bandku dulu. Ingin rasanya diriku kembali berlatih, entah itu mengcover lagu atau manggung di setiap ada acara. Kumulai berpikir sejenak, mungkinkah aku bisa membangun kembali grup ini walau harus berganti personil. Kuakui bahwa diriku masih memiliki semangat yang tinggi dalam bermusik, dan ku masih ingin mengasah kemampuanku agar tidak hilang. Entahlah semoga secepatnya akan ada jalan terbaik.           Berbicara soal kegiatan, di pondok tidak ada istilah free, banyak sekali segala kegiatan yang harus dijalani terutama aktifitas mengaji. Tentunya segala kegiatan yang kita ikuti juga ada absen, jika ketahuan alfa, maka siap-siap menerima hukuman dari pengurus. Kumulai bimbang dalam mengatur waktu ini, bilamana waktuku telah habis karena banyaknya kegiatan pondok yang harus diikuti, lantas kapan ku bisa mengatur waktu untuk latihan mandiri.           “Halo Vian.” Panggil Yunus sambil memukul pundakku.           “Ehhh Lu Nus, ngagetin orang aja deh.”           “Lu sore-sore gini ngapain ngelamun aja.”           “Ihhh siapa juga yang ngelamun, gue cuma lagi bosen aja kok.”           “Ya sudah daripada Lu bete nggak jelas di sini mending ikut gue yuk!” serunya.           “Mau ke mana emang?” tanyaku.           “Ke kafe deket pondok tuh, ngopi aja bentar. Di situ juga full musik kok tempatnya.”           “Oh ya, kelihatannya cukup menarik tuh. Ya sudah ayo berangkat.”           “Nah, begitu dong.”           Kita berdua mulai keluar dari gerbang, dan melewati pondok putri yang terletak di utara gedung sekolah. Rasa semangat mulai terbakar ketika kita sudah sampai di kafe ini, tempatnya memang lumayan sederhana tapi cukup menarik.           “Mbak pinjem gitarnya ya.” Ucapku pada seorang pelayan.           Saat itulah kumulai menikmati secangkir kopi sambil bernyanyi. Cukup banyak juga lagu yang telah kita nyanyikan berdua, semua ini karena diriku sudah sangat rindu dalam bernyanyi apalagi memegang gitar ini.           “Suaramu lumayan enak juga kalau nyanyi ya,” celetuk Yunus.           “Emmm, bisa aja Lu kalau ngeledek gue.”           “Serius loh, sejak kapan Lu belajar nyanyi?”           “Ealah Yunus gue kan udah pernah cerita sama Lu kalau gue punya band dulunya.”           “Hehehe, iya sih.”           “Kalau gue pikir-pikir sih, bisa nggak ya kita bangun grup band di pondok,” gumamku.           “Kayaknya sulit deh, kan belum tentu teman-teman bisa bermusik.”           Ketika waktu telah di tiba sore hari, ada satu kegiatan yang tempatnya berada di sekolah, yaitu Diniyah bagi santriwati, kalau untuk santri putra, waktunya di malam hari usai shalat Isyak. Sore habis Ashar santri putra tidak ada kegiatan, kebanyakan dari santri putra pasti melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya mubah, apakah itu bermain bola di lapangan atau tiduran di dalam kamar.           Lain daripada aku, aku pribadi setiap datang waktu sore selalu meluangkan waktu untuk bermain tenis di lapangan sekolah. Dalam hati, sebenarnya niatnya bukan karena ingin main tenis, hanya saja aku ingin caper (cari perhatian) di hadapan santri putri yang sedang menjalani kegiatan diniyah, hehehe.           Saking padatnya kegiatan, tidak terasa juga jika diriku sudah empat bulan di sini. Sebentar lagi bulan puasa akan tiba, nggak tahu apakah kegiatan tetap berjalan seperti ini atau mungkin ada pengurangan kegiatan. Aku sendiri berharap, semoga tidak banyak kegiatan yang akan terlaksana, karena di luar bulan puasa saja sudah sangat capek, apalagi di saat bulan puasa. ***           Alhamdulillah selama beberapa bulan tinggal di sini, rasanya cukup betah sekali, di mana aku mulai mengenal banyak teman, baik itu teman sebaya atau juga kakak kelas. Dalam satu kamar ini diisi oleh lima belas santri termasuk aku, dan diantara semua teman yang kukenal, ada dua teman yang menurutku paling unik dan seru.           Temanku yang bertubuh tinggi dan memiliki kulit warna sawo matang itulah namanya Yunus, dia itu paling enak kalau diajak ngobrol maupun diajak jalan-jalan saat berkeliling desa, tapi sayangnya Yunus itu karakternya agak sedikit penakut, namun uniknya lagi, uangnya lumayan banyak, jadi nggak heran kalau teman-teman sekitar suka meminjam uangnya unutk beli rokok.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD