Rahmawati

1578 Words
 … Agustus, September, Oktober 2007 …           Aku mulai terbangun dari tidurku ketika denting waktu telah menunjukkan di angka tiga pagi. Adzan Subuh belum terdengar kecuali hanyalah suara Qira’ah yang terdengar sedikit keras dari masjid. Inginku melanjutkan tidurku sampai datang waktu Subuh, tapi rasa kantuk tak lagi singgah untuk menemani sehingga lebih baik kulaksanakan Qiyamul Lail saja. Ketika telapak tangan dan kening telah menyentuh sajadah, dan lidah mulai mengucapkan kalimat Subhanallah, saat itulah ku mulai berdoa. Berdoa untuk kebaikan diriku, dan juga kebaikan untuk kedua orang tuaku.           Rasa rindu mulai terasa setelah beberapa bulan tidak bertemu, namunku tetap bersabar dalam menyikapi hal ini. Lagipula satu bulan mendatang sudah masuk di bulan puasa, tidak lama akan hal itu semua santri juga pasti menikmati liburannya di rumah. Entah apakah teman-temanku grup bandku masih merindukanku atau tidak, yang jelas aku tidaklah ada maksud hengkang. Bilamana grup ini masih tetap berdiri, aku siap untuk mengembangkannya.           “Vian.” Panggil Yunus ketika tiba jam enam pagi.           “Iya Yunus.”           “Coba kamu ke kamar D2 sekarang, Irvan lagi mencarimu tuh.”           “Ngapain juga dia manggil aku?” tanyaku.           “Udahlah, pokoknya kamu ke sana sekarang!”           “Oke deh.”           Lalu kumulai berjalan menuju kamar sebelah.           “Halo Vian,” sapa Irvan.           “Ya Van. Ada apa kok tumben banget manggil gue?”           “Iya, karena ada yang pengen gue omongin sama Lu.”           “Emang mau ngomong apa?” tanyaku dengan penuh penasaran.           “Oh ya, kata Yunus Lu bisa nyanyi ya?” tanya Irvan balik.           “Bisa sih sedikit-sedikit.”           “Hmmm, jadi gini. Gue berencana mau ngebangun grup musik band di kampus ini sih. Jadi gue butuh orang-orang yang sekiranya bisa main musik. Karena tiap akhir semester kita selalu ngadain acara di sekolah, jadi gue berharap Lu bisa berpartisipasi.” Terang Irvan yang membuat hatiku meledak.           “Oh gitu ya Van, emang selama ini gimana?” tanyaku.           “Selama ini kita mainnya masih akustik’an. Makannya gue pengen dari tahun ke tahun bisa ada perubahan.”           “Oke deh, barangkali gue bisa gabung.”           “Yakin ya! Ya sudah mulai sekarang Lu bisa nentuin siapa saja orang-orang yang solid ada di grup band kita. Soal pemain drum atau perkusi, Lu nggak usah bingung karena ada teman gue yang namanya cak Inul. Jago banget dia main drum,” terang Irvan kembali.           “Oke deh siap.”           Setelah berbincang-bincang dengan Irvan, kini aku memutuskan untuk membangun grup musik di kampus ini. Kumulai merancang personil, diantaranya ada aku sebagai vokalis, Irvan dan Imam sebagai gitaris, Yunus sebagai bassis dan yang terakhir ada cak Inul sebagai drummer. Secepatnya kita semua harus segera berkumpul untuk membicarakan misi dan waktu untuk latihan. Syukur Alhamdulillah aku bisa kembali membangun grup ini walau personilnya orang-orang baru, Insya Allah selama kita semua memiliki niat yang serius, pasti bisa sukses untuk ke depannya. ***           Pagi buta. Aku masih belum mengerti mengenai apa maksud dari kata pagi buta, kiasan yang sungguh sangat lucu. Ahh sudahlah, untuk apa juga kuharus merisaukan hal itu, sama sekali tidak ada untungnya juga. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, rajin juga ternyata aku ya! bisa berangkat pagi-pagi, padahal dulu pas masih duduk di bangku SD, sampai di sekolah mungkin jam tujuh kurang lima menit           Sebenarnya sengaja aku datang pagi-pagi karena yang jelas kuingin sarapan pagi sendiri meski harus makan sepotong roti.           “Ehh Vian, ngapain kau di situ,” sambut Irvan.           “Emm, lagi duduk-duduk aja Van. Lu mau ke mana? Tumben pagi-pagi udah berangkat.”           “Biasalah, mau ngerokok dulu di belakang kelas.”            “Yaelah, kirain mau apa.”            “Ya sudah ahh, gue cabut dulu ya.”            “Awas ada pengurus loh.”          Hahh, dari dulu kerjaannya Irvan selalu saja begitu, merokok sembunyi-sembunyi dari temen-temen, emang siapa juga yang minta.           Di bawah pohon Cheri ini aku kembali duduk sendiri. Mungkin sebentar lagi suasana di sekolah juga mulai ramai dipadati anak-anak yang mau bersekolah. Dari kejauhan sepertinya kumulai memandangi seorang wanita, dia berjalan bersama temannya kearahku. Sebaiknya ku mengalihkan pandanganku saja, karena takut menimbulkan rasa curiga pada dirinya.           Saat pelajaran berlangsung, entah kenapa kumulai teringat akan sosok perempuan tadi. Begitu cantik wajahnya, serta halus tutur katanya dalam berkata-kata. Rasa penasaran mulai datang, membuatku bertekad untuk bisa mengenalinya lebih cepat. Bilamana kumemiliki rasa kagum untuknya, janganlah sampai timbul rasa dengan dalam, karena kutakut jika pada akhirnya akan membuahkan banyak luka. Lebih baik kupikirkan saja rencana grup band ini untuk ke depannya.           Jam istirahat pun telah tiba usai bel berbunyi. Saat diriku baru saja keluar kelas, tiba-tiba aku terkejut dengan pemandangan yang membuat hati ini jadi deg-degan. Ya, perempuan yang tadi pagi kupandangi telah berdiri di depan kelasnya, ingin rasanya diriku untuk menyapanya, akan tetapi aku tak tahu, siapakah namanya.           Kebetulan juga, tak jauh dari tempat itu kulihat cak Inul, yang sedang terduduk sendiri di dekat pohon Cheri, membuatku bertekad untuk iseng menanyakan siapakah nama perempuan itu, barangkali cak Inul bisa tahu.            “Halo cak Inul,” sapaku.            “Ehh Vian, ngapain kau ke sini?” tanyanya.            “Nggak ngapa-ngapain sih.”            “Nih, ngopi dulu aja, biar tenang.”            “Iya makasih cak Inul. Oh ya, aku boleh tanya sesuatu nggak?” tanyaku sambil sedikit gugup dan malu-malu.            “Ya silakan kalau mau tanya ya tanya aja.”            “Tuh cewek yang lagi duduk di depan kelas tuh siapa namanya?” tanyaku dengan pelan.              “Oh, itu namanya Rahma, dia itu ketua OSIS di sekolah kita.”            “Oalahh begitu.”            “Kenapa kamu kok tanya soal itu, kamu naksir sama dia,” celetuk cak Inul.            “Ahhh nggak, apaan sih cak Inul nih, bikin malu aja deh.”            “Emm iya bercanda kali.”           Akhirnya waktu untuk pulang sekolah telah tiba, aku mulai berjalan sendiri menuju kamar di pondok. Sepertinya kumerasa ada sesuatu yang benar-benar tidak beres dalam pikiran ini, di mana usai tadi siang di saatku memandangi wajah Rahma, hati ini mulai terasa gelisah.          Semenjak awal pertama kali mondok, aku nggak pernah ada rasa suka sama santriwati siapa pun, namun entah kenapa bayangan wajah Rahma semakin kuat dari waktu ke waktu.            “Hmmm, sepertinya aku jadi merasa kagum sama dia,” batinku.          Sampai waktu malam tiba, rasa-rasanya aku jadi seperti orang gila, selalu saja senyum-senyum sendiri di saat pikiran ini selalu membayangkan wajahnya, membuatku tak sabar agar hari berganti hari, demi bisa melihatnya dirinya lagi.           Tok tok tok tok.           Suara ketukan pintu mulai terdengar keras dari setiap pintu, menandakan waktu Subuh akan segera tiba, sehingga pengurus mulai menggedor-gedor pintu tiap kamar agar semua santri segera bangun. Begitu juga dengan diriku, hari ini aku sangat bersemangat sekali dalam menjalani aktivitas di pagi hari. Aku mulai heran, tak biasanya diriku merasakan hal yang sedemikian, mungkin hal ini terjadi karena ada sesuatu yang aneh pada diriku, khususnya pada hatiku.           “Vian, entar sebelum berangkat kita ke warung Basuni yukz!” seru Yunus.           “Emmm, di mana itu? Terus ngapain kita ke sana?” tanyaku.           “Sarapan Soto plus ngopi-ngopi sebentar. Warungnya ada di pojok perempatan tuh.”           “Oh begitu. Oke deh.”           Lalu aku, Yunus dan seluruh santri mulai memasuki masjid untuk menjalani shalat Subuh. Usai hal tersebut terlaksanakan, kita mulai mengaji Al-Qur’an, tepatnya di kelasku akan belajar juz 30, yaitu surat An – Naba.           “Amma Yatasaaaa Aluuunnn.”           Dalam belajar kali ini, surat An-Naba hanya sepuluh ayat saja yang kita pelajari. Karena kita harus fokus dulu dalam melafalkan makharijul huruf dan tajwid dengan benar. Kemarin di saat diriku belum masuk pesantren, membaca surat-surat juz 30 bagiku sangat mudah, namun setelah mengikuti kegiatan mengaji di pesantren, ternyata bacaan Al-Qur’anku masih banyak yang harus diperbaiki. Entahlah, sesulit apapun dalam belajar, selagi semua bisa dinikmati pasti akan mudah juga.           Seperti biasa, setiap pagi sebelum menjalani aktifitas di sekolah kita kembali mengaji kitab kuning, tepatnya di hari ini kita akan belajar kitab Aqidatul Awwam, yang membahas tentang ketauhidan serta kerasulan nabi Muhammad SAW. Setelah tiga puluh menit ustadz Sulhan menerangkan, aku jadi mulai tertarik dengan kepribadian nabi Muhammad yang begitu luar biasa, yang telah berjuang dalam meruntuhkan masa-masa kebodohan menuju masa yang terang benderang.           Mencintai Nabi Muhammad SAW merupakan bagian dari kewajiban kita sebagai umatnya, karena selain jasa-jasanya yang begitu besar di dunia, juga di akhirat nanti beliaulah yang akan menolong kita dihadapan Allah ketika seluruh manusia mulai membutuhkan pertolongan di akhirat nanti. Ustadz Sulhan juga menjelaskan bahwa tidak ada satupun makhluk yang lebih diidolakan kecuali hanyalah Nabi Muhammad. Selama ini terkadang kita keliru, kita jauh lebih mengenal sosok seorang artis dan pemain bola tanpa pernah mengenal siapa nabi kita. Hal inilah yang tanpa sadar akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan serta akhlak yang jauh dari tatanan agama, bukankah nabi Muhammad itu terlahir yang salah satunya adalah menyempurnakan akhlak manusia.           “Ya sudah berangkat yuk!” seru Yunus sebelum kita menuju sekolah.           “Oke.”           Lalu kita berdua mulai berjalan menuju warung Basuni untuk menikmati sarapan pagi dan secangkir kopi. Tak begitu banyak apa yang kita berdua bicarakan, lebih-lebih semua juga tentang musik. Kuakui selama diriku masuk pesantren, jarang sekali diriku bisa menyempatkan waktu untuk latihan, semua perlu dimaklumi karena terkendala alat, waktu dan juga aturan pesantren.           Hari ini akan menjadi hari bahagiaku, yang membuat hatiku mulai berbunga-bunga usai mengetahui sosok Rahma, ya perempuan kelas tiga yang kusukai. Saat tiba di sekolah pun, diriku hanya bisa terduduk sambil menunggu dirinya datang. Tapi tak lama juga kumenanti, karena dirinya tiba-tiba hadir tak jauh dari pandangan mata memandang, dalam hatiku mulai berkata.           “Kusuka kamu apa adanya.”        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD