Bab 13 : Bersama
Mungkin Louis telah kembali memiliki hati nurani, laki laki itu mau membawa serta Cydney utuk tetap disisinya. Mungkin mereka akan tinggal bersama disebuah petak kecil yang bisa melindungi mereka dari dinginnya malam, hujan atau bahkan panas terik yang menyengat pada siang hari.
Louis berjalan dengan gontai, sementara Cydney mengikuti laki laki itu dari belakang. Memeluk lengannya sendiri dan menempati bekas bekas jejak kaki Louis. Namun tiba tiba dia berhenti, membuat Cydney harus menabrak tubuh kekar itu.
"Kita perlu bertemu dengan seseorang yang bisa memberikan kita identitas baru. Tidak mungkin kita tetap hidup dengan nama kita saat ini,'' ujar Louis.
"Terserah, aku ikut saja. Kamu tahu kan aku tidak punya uang. Hanya kamu yang aku miliki.'' Cydney kembali memperlihatkan deretan giginya, agar Louis tidaklah marah.
"Sudah aku duga, kamu pasti akan sangat merepotkan aku, dan membuat kerugian besar padaku,'' cerca Louis, entah serius atau hanya dalam candaannya. Pasalnya Cydney tidak pernah melihat laki laki itu tersenyum. Wajahnya begitu datar, lurus saja seperti rel kereta.
"Kalau aku sudah bekerja aku akan ganti kerugianmu, jangan khawatir aku wanita hebat. Ayahku sering mengatakannya padaku." Cydney menerawang jauh pada hamparan sungai yang luas di bawahnya.
Benar sekali, mereka tengah berada di ats jembatan terpanjang di Kota Maxtron. Jembatan yang begitu indah dengan lampu lampu LED yang berada pada tiap pilar penyangga.
"Kamu merindukannya?" Pertanyaan yang begitu konyol, dan bahkan itu membuat Cydney tersenyum. Seakan tidak tahu manusia seperti apa Louis itu.
"Tanpa kamu bertanya seharusnya kamu tahu, bahwa cinta pertama bagi wanita adalah ayahnya sendiri. Satu satunya lelaki yang tidak akan membiarkan anaknya tersakiti dan kelaparan. Rela mengorbankan apapun demi sang anak. Seperti yang dilakukan kepadaku, meskipun pada akhirnya semua ini, merenggut nyawanya, juga kebahagiaan aku sendiri.''
Cydney bersandar pada besi dan berbalik, kini posisi mereka berlawanan arah. Louis masih menikmati tenangnya air yang mengalir. melihat satu kapal yang mulai mendekat dan akan lewat dibawah jembatan di mana mereka berdiri saat ini.
"Karena aku tidak pernah tahu bagaimana dan rupa mereka. Hidup terlalu keja, bahkan aku tidak percaya dengan ada atau tidaknya Tuhan. Jika memang ada seharusnya dia memberi pertolongan padaku, atau bahkan padamu kan?" Tanpa menoleh, Louis justru menyita perhatian Cydney. Gadis itu kembali pada posisi sebelumnya.
"Aku turut berduka, tapi, Tuhan menolongku, lewat kamu. Bahkan aku berada disini karenamu dan campur tangan Tuhan kan? Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai-Nya. Kamu bernapas dan menghirup udara karena-Nya juga kan?"
"Masa bodoh, jika kamu mau ikut bersamaku, patuhi semua yang aku perintahkan, kini, akulah atasanmu. Dan- bahkan jika aku menginginkan dirimu kamu harus siap!" Louis mengulum senyum, sudah pasti dia mengatakan itu karena ingin mengecoh gadis itu, agar dia tidak jadi ikut dengan dirinya.
"Oke! Apa bedanya kamu dengan Marco! Jika hanya itu syarat yang aku lakukan agar bisa tetap bertahan hidup kenapa tidak? Asalkan tidak seks bebas dengan puluhan lelaki bergantian setiap harinya, itu membuat aku muak!" sungut Cydney berlalu meninggalkan Louis ke arah berikutnya. Namun justru Louis kembali ke arah sebelumnya.
"Kamu salah arah!" teriak Louis.
"Ck, dasar!" Cydney berlari dan mengejar Louis, tetapi sepertinya laki laki itu sengaja menggoda Cydney, dia kembali lagi ke jalan d mana Cydney sebelumnya berjalan.
"Sudah aku bilang kamu salah jalan!" Louis berlari dengan cepat meninggalkan Cydney.
"Louis! Fuckk you!" umpat Cydney, tetapi dia pun mengejar laki laki itu, dan melompat pada unggung pria itu. Mengunci tangannya pada leher Louis, agar dia tidak terjatuh.
"Akh!" pekik Louis karena kaget. Namun laki laki itu sama sekali tidak menolak, dia justru memegang pantatt Cydney agar gadis itu tidak terjatuh seperti yang dia takutkan.
"Kamu mengumpat pada bosmu? Bersaplah menerima hukuman dariku," tukas Louis, melanjutkan perjalanannya. Dia tidak menurunkan Cydney, karena gadis itu sudah pasti lelah karena terus berlari sejak beberapa jam lalu.
"Apakah otak laki laki hanya berisi seks saja? Jika tidak, pasti judi, wanita, taruhan, dan kembali lagi kemesum," cerca Cydney.
"Itulah lelaki, tapi, aku tidak segila Marco, yang menyiksa wanita sampai seperti itu, aku tetaplah berbeda dari dia. Jadi jangan samakan aku dengan Marco gilaa itu!"
"Deal! Tapi aku sekarang lapar, kepalaku pusing, sepertinya aku ingin pingsan," kikih Cydney. Dia bercanda pada ucapannya ingi pingsan, tetapi dia serius dengan lapar dan juga pusing.
"Setelah keluar dari jembatan ini, kita bisa langsung makan. Ada salah satu temanku yang tinggal di dekat sini. Dia juga yang akan membuatkan identitas baru kita." Cydney menyandarkan kepalanya pada bahu Louis dan mengangguk. Dia terlalu lelah untuk menjawab.
Sepanjang perjalanan, pun hanya hembusan angin yang terdengar dan terasa. Sesekali suara klakson mobil berbunyi. Serta deru deru mobil yang berkendara dengan kecepatan tinggi. Namun tidak ada pergerakan bibit dari Louis dan Cydney. Bahkan gadis itu, tertidur. Kuncian di tangannya pun sudah terlepas.
Dasar, tukang tidur, umpat Louis dalam hatinya. Benar saja, dua puluh menit berlalu, keduanya tiba di sebuah rumah yang berada di sisi sungai dan dibawah jembatan. Hanya dengan sepetak bangunan. Entah bagaimana orang itu menjalani kehidupannya. Namun segala keperluan yang dibutuhkan Louis semua ada di sana.
"Bro?! Bagaimana kabarmu? Sudah lama tidak kemari? Jangan bilang mau kembali meminjam uang," sergahnya.
"Sebaiknya cuci otakmu! Agar tidak selaku berpikir buruk tentangku!" sungut Louis. Dia menerobos masuk. Karena punggungnya sudah nyeri, membawa tubuh Cydney sejak beberapa menit lalu.
Dia menidurkan Cydney pada ranjang sempit milik Michael. Dengan berhati hati dan dibantu oleh sang kawan. Louis pun menyambar gelas yang ada disisinya. Dia meneguknya hingga amblas.
"Kehausan? Seperti buronan saja." Michael menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam.
"Aku kini memang menjadi buronan. Tapi, bukan buronan rentenir gila itu, ini jauh lebih gila lagi. Pembunuh, p*****l, rentenir, dan semua gelar dia kenakan. Bahkan lebih tepat di sebut dengan mafia gila!" jelas Louis dengan kesal.
Jika mengingat semuanya rasanya beban dosa dipundaknya akan semakin bertambah. Dia sadar bahwa selama ini, dosanya sama sekali tidak berkurang, tetapi semakin bertambah. Sekalipun Louis tidak mempercayai Tuhan. Namun, urusan dosa dia tetap mengingatnya.
Dia ingin keluar, tetapi kondisi selalu menyeretnya kembali pada dosa dan juga kesalahan kesalahan fatal. Berjudi, dan berjudi. Hanya itu yang dia lakukan. Sekali menang, ribuan kali dia terkalahkan.
Louis menceritakan semuanya, dia bahkan menceritakan tentang Cydney. Michael memanglah teman Louis yang bisa diandalkan. Namun terakhir kali, Michael benar benar tidak bisa membantu, karena dia sama sekali tidak memiliki uang sebanyak yang Louis butuhkan. Dia berharap temannya bisa sadar dan tidak lagi terlilit oleh hutang.
"Lalu, apa yang bisa aku bantu? Syukurlah aku tidak pernah bertemu dengan irang seperti itu di sini. Jangan sampai dia memporak porandakan tempat persembunyianku," tutur Michael.
"Aku pastikan tidak, jika kami bisa segera pergi Michael. Sudah pasti kamu tahu apa yang kami butuhkan. Dua indentitas baru, selanjutnya kami akan memikirkan cara lain agar bisa keluar dari kota ini," ujar Louis. Dia sudah lelah. Dia pun ingin tidur barang sebentar.
"Baiklah, akan segera siap dalam beberapa jam, tidurlah. Aku akan bekerja. Jangan lupa membayar semua hutangmu Lo!" Louis memukul kepala Michael, menyalurkan tanda kekesalannya yang masih sempatnya mengingatkan hutang hutangnya dulu.
"Aku akan bayar setelah semuanya selesai, dengan ucapan terima kasih. Perkataan yang tidak pernah aku ucapkan bukan?" Louis pun berbaring di bawah ranjang Cydney.
"Dasar! Beban teman kamu memang," sungut Michael.
Bagaimana mereka menjalani kehidupan selanjutnya. Mungkin Marco akan benar benar menghilang dari kehidupan Louis dan Cydney. Namun, bagaimana dengan keduanya? Menjadi teman, atau lebih dari sekedar teman, atau menjalin hubungan yang hanya menjadi sebuah simbiosis mutualisme.
Saling menguntungkan satu sama lain, dan menjadi pengisi kekosongan selama pelarian? Bisakah keduanya melewati masalah demi masalah berikutnya? Karena hidup akan selalu berteman dekat dengan masalah, luka, dan cinta.
To be continued ...