Her Ex

1230 Words
                Hiruk piruk kota membuat Celine menarik napas panjang, akhirnya ia bisa menikmati libur panjang nya setelah bekerja selama bertahun-tahun di sana, hanya untuk acara pernikahan hingga honeymoon saja, Celine tida tanggung-tanggung mengambil cuti hingga tiga minggu, entah apa yang akan ia lakukan, padahal rangkaian pernikahan dan jika honeymoon saja pasti hanya memakan waktu sepuluh hari, mengingat bahwa caln suaminya itu adalah dokter.                 “Sampai ketemu nanti, jangan kemana-mana, setelah ini saya tidak bisa kontrol kamu, tidak bisa jagain kamu seperti kemarin, jangan aneh-aneh, kalau butuh sesuatu berkabar jangan pergi sendiri.” Pesan Al karena sebentar lagi mereka berdua akan di pingit, mereka tidak akan bertemu lagi selama tujuh hari ke depan,  karena memang sudah aturannya.                 “Siapp pak Dokter! Gak kemana-mana kok, kan juga ada ibu, kalau kamu nyariin aku tanya ke ibu aja.” Jawab Celine. Lalu Al mengangguk, ia mengeluarkan dompet nya lalu menarik salah satu kartu yang ada di sana lalu ia berikan kepada Celine.                 “Pakai, siapa tau ada kebutuhan kamu.”                 “Aku punya uang sendiri kok.”                 “Pakai saja.” Ucap Al, lalu Celine menerima nya. Celine menimang kartu tersebut, bingung harus ia apakan kartu itu sebab ia juga masih punya jenis kartu yang sama, dan limit nya belum habis.                 “Saya jalan dulu ya, sampai ketemu hari H nanti.” Sambung Al sesaat sebelum ia pergi, Celine mengangguk lalu ia melambaikan tangannya kepada pria itu, perlahan mobil Al menjauh dari pandangan Celine, lalu setelahnya gadis itu masuk ke dalam rumah. Suasana rumah nya saat itu terbilang begitu sepi, hanya ada ibu nya yang duduk sembari menonton televisi, papa nya belum pulang. Mia seketika berbalik saat melihat Celine muncul dari arah pintu.                 “Kamu sudah pulang.” Ucap Mia. Celine mengangguk kemudian berjalan pelan menghampiri ibu nya. Wanita itu terlihat jauh lebih kurus, ia terlalu stress karena memikirkan masalah Cena, padahal Celine sudah berkali-kali mengingatkannya bahwa pikirannya harus tetap sehat.                 “Maaf ya pulang nya lama, tadi mampir makan dulu. Oh iya, ibu udah makan gak?” Tanya Celine, ia menjatuhkan tubuh nya tepat di samping Mia, sebelah tangannya memijat punggung wanita itu, terlhat jelas dari pancaran mata wanita paruh baya itu bahwa ia sedang tidak berada di dalam keadaan yang baik-baik saja.                 “Sudah.” Jawab Mia, mata nya menatap lurus televisi yang ada di hadapannya.                 “Makan apa? kapan makannya?” Tanya Celine, lagi.                 “Roti, tadi pagi pas sama kamu.” Balas Mia. Celine mendesah frustasi, entah bagaimana caranya agar Mia mau mendengar sarannya, rasanya ia begitu lelah, terlebih lagi ketika Mia terkadang keras kepala jika di beri tahu sesuatu.                 “Bu… penyakit ibu bisa kambuh kapan aja kalau ibu kayak gini. Kasih tau aku, ibu mau apa, sebisa mungkin aku turutin apa yang ibu mau.” Celine sudah hampir menyerah dengan keadaan keluarganya, seharusnya di saat-saat seperti ini ia harusnya berbahagia, berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarganya menjelang hari besar nya, namun kenyataannya keluarganya seperti hancur, tidak ada aura kebahagiaan yang di pancarkan oleh Mia.                 “Maaf ya, ibu masih belum bisa nerima kenyataan tentang Cena… ibu kayak di hantam sama sesuatu yang ibu pikir gak nyata, ibu udah jahat sama kamu, ibu selalu berpihak sama Cena, dan Cena dengan jahat nya gak bisa jaga diri dan malah bikin ibu kayak gini. Ibu malu Celine… ibu malu setiap di tanya tentang kabar Cena, ibu capek bohong sama orang-orang tentang Cena. Ibu semakin ngerasa jahat sama kamu, harusnya, ibu bantu kamu nyiapin semua yang kamu butuhin buat nikahan kamu, tapi ibu malah diam aja, gak ngelakuin apa-apa, maaf ya dek.” Mia mulai menangis, bahu nya bergetar menahan tangis nya sendiri, sejak hari di mana Cena mengakui bahwa ia memang sedang hamil, Mia sudah tidak pernah se tenang dulu lagi, ia menangis setiap malam, terkadang ia menangis di ruang kerja nya, dan terdengar oleh Celine setiap malam.                 “It’s okay, gapapa, aku ngerti gimana perasaan ibu, ibu gak perlu nyalahin diri sendiri ya? Kan Celine gak nyalahin ibu. Udah yuk, sekarang ibu mau makan dulu atau istirahat dulu sambil nunggu papa pulang? Celine juga mau refreshing dulu, sebentar sebelum tidur.”                 “Ibu mau istirahat aja di kamar, kamu rfreshing aja dulu, ibu tau kamu juga pasti stress mikirin Cena kan.” Balas Mia, ia mengusap air mata nya pelan, kemudian berdiri. Celine menyusul setelah nya.                 “Iya, yaudah ibu istirahat, aku ganti baju dulu terus mau jalan-jalan di taman depan.” Ucap Celine, setelahnya mereka berjalan bersama menuju lantai atas, lalu berpisah di persimpangan tangga, Celine menuju kamar nya, dan Mia juga berjalan menuju kamar nya. Mata Celine tidak sengaja menangkap foto yang terpajang di dinding, foto masa kecil nya bersama Cena, dua orang gadis kecil dengan rambut yang di kepang dan yang satunya tersenyum dengan rambut yang terurai, di samping dua gadis kecil itu ada sepasang suami istri yang tersenyum menapat keduanya, hati Celine tiba-tiba terasa sakit seperti sedang di iris oleh sesuatu, rasanya memuakkan.                      “I wish I can turn back time.” Desis Celine saat ia melewati foto tersebut. Rasanya berat sekali, walau ia tidak akrab dengan Cena, setidaknya ia pernah punya harapan bahwa Cena yang akan mendampingi diri nya di hari pernikahannya nanti. Tring! Ponsel nya berdering tepat ketika sebuah pesan baru saja ia terima, sebuah kontak yang akhir-akhir ini selalu menghubunginya. Jangan kebanyakan begadang, istirahat yang cukup. Malam ini saya ada jadwal operasi dadakan. Pulang nya subuh.                 Celine tersenyum, pria itu bahkan masih mengingatnya di tengah-tengah kesibukannya. Celine buru-buru mandi lalu bersiap berjalan menuju taman dekat rumah nya, taman yang dulu merupakan tempat yang paling sering ia datangi ketika masih kecil, tempat favorite nya setelah rumah oma nya. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah datang ke sana, terakhir ia kesana bersama Aldo, itu pun ketika mereka berdua sedang bertengkar hebat. Setelah mengganti baju nya, Celine buru-buru berjalan ke sana, takut-takut jika hari semakin malam, suasana taman masih tidak banyak yang berubah di sana, bahkan ukiran nama Aldo dan Celine pun masih terukir jelas di salah satu bangku taman tempat favorite mereka dulu, Celine tersenyum geli, mengingat apa yang dulu ia lakukan dengan Aldo ketika bertengkar di taman itu.                 “Bikin malu aja.” Desis nya ketika membaca tulisan Aldo cinta mati Celine. Di sandaran kursi taman itu, andai saja ia tidak sedang badmood malam itu, mungkin ia akan mencari segala macam cara agar tulisan itu bisa terhapus dari sana. Celine sebenarnya tidak mau duduk di kursi itu, mengingat dulu kursi itu adalah kursi yang di mana ia dan Aldo sering sekali duduk di sana.                 “I always wish you were here and tonight… finally you are here.” Ucap seseorang yang sukses membuat Celine kaget, gadis itu bahkan terperanjat karena terlalu asik menghayal hingga kaget ketika mendengar suara orang lain.                 “Hah? Aldo!? Ngapain lo di sini?!” Ucap Celine, tentu saja ia kaget bagaimana tidak, Aldo sekarang tengah berada di area rumah nya.                 “Danau nya di sini cakep, gua sering self healing di sini. Lo gak tau ya? Udah beberapa bulan, dan enak banget. kalau lagi capek suka kesini, kadang gua harap gua bakal ketemu lo di sini, but sometimes gua juga mikir gak bakal lah, lo mana mau kesini sendirian, tapi malam ini doa gua terkabul, lo di sini, di tempat yang sama, sama gua.” Balas Aldo, ia menunjukan senyum nya kepada Celine, senyum tulus yang sudah lama tidak Celine lihat dari wajah pria itu.                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD