sarapan bersama

1029 Words
Terlihat jelas di mataku, lantai keramik di rumah sakit yang sedang aku pijaki, para perawat berlarian, silih berganti ke UGD, tempat di mana Cena sedang di tangani. Di tangan ku masih ada bekas darah Cena yang belum ku bersihkan sejak tadi. Ibu berdiri di depan pintu, sementara aku hanya mematung di sebelah papa, sebab sejak tadi ibu terus menyalahkan ku tanpa tahu kebenarannya bagaimana. “Papa sama ibu kenapa tiba-tiba datang ke apartement Cena?” Tanya ku kepada papa dengan suara yang sangat pelan. Papa kemudian mengelus punggung ku lembut “Ibu di telfon sama Cena, tadinya papa mau bilang ke kamu dulu, tapi ibu buru-buru jadi papa langsung berangkat tapi gak bilang ke kamu dulu.” Balas Papa. “Aku juga di telfon sama Cena.” Ucap ku sembari menunjukan bukti nya kepada papa, aku sudah lelah di salahkan terus oleh ibu sejak tadi, bahkan saat di ambulance pun ibu masih sempat menyalahkan ku dan mengancam tidak akan memaafkan ku kalau saja sesuatu buruk terjadi pada Cena dan bayi nya. “Ibu kamu salah paham, nanti papa kasih tau. Lagian gak masuk akal juga kalau kamu jahatin Cena, papa tau kamu gak mungkin mau jahatin kakak kamu sendiri, maaf ya dek… kamu tau sendiri kan ibu kamu sekarang gimana?” Ucap Papa. Aku kemudian mengangguk mengerti, tidak lama kemudian segerombolan orang-orang yang memakai jas Dokter mengampiri kami, seumuran dengan ku, bisa ku tebak bahwa mereka adalah teman-teman Cena. Aku segera menghampiri mereka sebelum mereka menghampiri ibu yang sedang menunggu di depan pintu, berusaha menjaga emosi ibu agar ibu tidak stress lagi. “sorry, kalian temannya Cena ya?” Tanyaku. Mereka mengangguk menatap iba kepada ku. Sial, aku benci tatapan seperti itu, rasanya menyebalkan ketika di tatap seolah-olah aku adalah mahluk yang sedang bersedih saat ini. “Maaf… kami tidak tahu tentang Cena selama ini.” Ucap salah satu dari mereka, perempuan dengan rambut yang di kuncir, sedikit lebih pendek dari ku, dan ada sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya. Kenapa harus minta maaf? Lagi pula mereka juga tidak harus tau semua hal tentang Cena, aku yakin setelah ini Cena akan berbulan-bulan menjadi bahan perbincangan mereka. Cena si dokter yang terkenal polos tiba-tiba hamil di luar nikah, resign dari pekerjaannya, menghilang tanpa jejak selama berminggu-minggu, lalu datang ke rumah sakit dengan keluhan pendarahan. Kasihan sekali Cena. “Hmmm okay, gapapa. Ini kalian lagi mau meriksa Cena apa gimana?” Tanya ku, sengaja, agar gerombolan ini segera pergi dari hadapan keluarga ku. “Ahh nggak, kami Cuma pengen tau keadaan Cena sama bayi nya gimana, kami udah lama gak ketemu sama Cena soalnya.” Sambung si rambut pirang dengan wajah blasteran eropa dan asia. Aku mengangguk lalu tersenyum seramah mungkin. “Hmmm, gitu ya, yaudah nanti aja kalau Cena nya udah sadar. Ini kan masih di IGD ya, tuh ada tulisan, selain yang berkepentingan di larang masuk. Nanti yaaa.” Aku dapat melihat raut wajah penuh kekesalan dari mereka ketika mendengar ku berbicara seperti itu. “Okay.” Jawab mereka sebelum beranjak dari sana. Untung saja mereka sudah pergi sebelum dokter yang menangani Cena keluar dari IGD, sehingga setidaknya mereka tidak akan mendengar banyak. “Tidak apa bu, tidak usah khawatir, itu Cuma pendarahan biasa, pendarahannya juga sudah berhenti, Cena Cuma kebanyakan bergerak padahal kandungannya masih seumur jagung, harus banyak istirahat kalau masih baru begitu, jangan banyak bergerak, rajin makanan yang bergizi, sayur, dan lain-lain, selanjutnya bakal di tangani sama dokter kandungan ya pak, bu.” Ucap Dokter yang bernama Dimas yang ku lihat dari nametag nya. “Jadi sudah boleh pulang dok?” Tanya ku. “Malam ini sebaiknya tinggal dulu ya, besok baru boleh pulang.” Jawab nya. Kami kemudian mengangguk lalu masuk menemui Cena yang sedang terkapar lemah di ranjang rumah sakit, ia masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah mulai membaik. “Kita bawa Cena pulang.” Ucap Ibu kepada papa. Raut wajah papa seketika berubah, beliau seketika menatap ku dengan tatapan yang sulit ku artikan, iya aku tau, pasti papa masih berat untuk membawa Cena pulang. Di tambah hari pernikahan ku tinggal menghitung hari, keluarga kami akan mulai berdatangan besok. “Tidak.” Balas papa dingin. “Kemana kamu yang kemarin? Orang-orang mau bilang apa kalau tau Cena hamil? mau pakai alasan dia lagi gemuk? Tidak bisa, setidaknya kalau sudah berbohong tidak usah menambahkan pakai kebohongan lain.” Sambung papa. “Aku gak akan biarin Cena sendirian di apartemennya dalam keadaan sakit begini, mau kamu setuju atau tidak, yang jelas aku mau bawa Cena pulang.” Ucap ibu, setelahnya ia keluar dari ruang rawat, di susul oleh papa. “Tolong jaga Cena, papa sama ibu mau langsung pulang.” Ucap papa sebelum keluar dari ruang rawat Cena. Sementara aku? aku hanya bisa diam dan menunggu Cena hingga sadar di sana. Untung saja tidak lama setelah itu Mas Al datang ditemani oleh dua orang perawat di sebelahnya. “Gimana cel?” tanya Mas Al. “Yagitu. But its okay, gapapa kata dokternya, dia Cuma kebanyakan gerak aja.” Jawab ku, Mas Al mengangguk lalu membiarkan dua perawat tadi membawa Cena keluar dari ruang IGD ini, lalu di bawa ke sebuah kamar rawat, sementara itu aku dan Mas Al mengekor di belakangnya, tidak ada percakapan di antara kami hingga Cena berhasil di pindahkan, namun ia terus menemaniku bahkan hingga subuh. Aku tidak begitu ingat siapa yang tidur duluan di antara kami, entah aku atau Mas Al, tetapi di saat aku bangun ia sudah menghilang dari pandangan ku, namun jas nya masih menutupi sebagian tubuh ku, aku berjalan keluar dan berpapasan dengannya saat membuka pintu. “Kamu sudah bangun.” Ucapnya sembari menyelipkan helaian rambut ku di belakang daun telinga. “Iya.” Jawab ku dengan suara serak. Ia kemudian merangkul ku, berjalan menuju ruangan yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang rawat Cena, ruangan yang di mana ada papan nama dengan namanya yang tertulis di sana, aku di bawa kesana, sebuah ruangan dengan ornamen putih dan banyak alat-alat yang tidak aku mengerti fungsinya untuk apa. “Ayo sarapan bareng.” Ucap nya sembari menata makanan di atas meja, entah dari mana makanan itu, padahal subuh tadi ia masih bersama ku. “Beli ya?” Tanya ku. Mas Al menggeleng “Di kasih sama ibu.” Jawab nya. “Loh ibu tau aku di sini?” Tanya ku panik. “Tau.” “Terus Cena? Ibu juga tau?” “Iya.” “Loh?!” “Ibu tidak mau ikut campur, kan calon menantunya kamu, bukan Cena.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD