dua

1147 Words
                “Mba Celine, Jadi kan meeting sama orang nya Glowskin? Mereka udah ngebet banget pengen kerjasama sama tim kita.” Ucap salah satu Karyawan ku sembari memberikan setumpuk dokumen kerjasama untuk aku review. Hari ini keadaan ku sedang tidak baik-baik saja, di tengah kerasnya pandemi ini aku harus merasakan flu berat yang luar biasa membuat ku parno. Sial , aku takut terpapar Covid19.                 “Nggak, bilang sama mereka, meeting nya di tunda dulu. Bilang, Celine lagi sakit. Hari ini, saya mau check up dulu.” Jawab ku sembari memijat kepala, ingus ku sudah meluber , pertanda aku sedang di landa flu yang menyiksa. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera memesan taxi online, kemudian mengambil tas ku untuk berangkat menuju rumah sakit terdekat. Sebutlah aku payah, tapi menyetir dalam keadaan seperti ini justru akan lebih membahayakan nyawa ku dua kali lipat.                 Sesampainya di rumah sakit, aku langsung mendapatkan nomor antrian dan untung nya, aku tidak perlu menunggu lama karena kebetulan saat itu rumah sakit yang aku kunjungi sedang sepi-sepi nya.                 “Ibu Celine Elena Hartanuwidjaya, nomor antrian 12!” Ku dengar nama ku di sebut. Tanpa menunggu lama, aku langsung masuk menuju salah satu ruangan di rumah sakit itu untuk menumpahkan kelah kesah penyakit ku kepada sang dokter. **                 “Siang, ibu Celine. Saya dokter Arief. Jadi… apa yang membawa ibu kemari?”                 “Saya flu berat nih dok, kepala saya pusing,terus saya demam juga, udah minum vitamin tapi masih gini-gini aja.” Jawab ku.                 “Hmmm, untuk saat ini apakah ibu Celine masih bisa mencium bau-bauan?” Tanya dokter Arief. Aku lantas membuka tutup minyak angin ku, kemudian menempelkannya di hidung.                 “Masih dok.” Jawab ku.                 “Masih bisa merasakan rasa makanan?” Tanya dokter Arief, lagi.                 Aku mengangguk dengan ragu “Ya, sedikit. Tapi pahit.”                 Dokter Arief yang mendengar jawabanku barusan seketika menunjukan ekspresi wajah yang aneh, ia pun berdiri tanpa mengatakan apapun, kemudian setelahnya ia kembali bersama dua orang suster di samping kiri dan kanannya.                 “Kita cek darah ya bu, takutnya ibu sudah terkapar virus Covid19” Ucap Dokter Arief, dan aku pun mengangguk pasrah.                 Setengah jam ku tunggu hasil pemeriksaan darah ku ternyata hasilnya negatif, aku beribu kali mengucap syukur dalam hati karena tidak terkapar virus sialan itu, setelahnya aku pun di resepkan beberapa obat lalu di minta untuk makan makanan yang sehat serta istirahat yang cukup. Huh, untung saja, jika saja  hasilnya tadi positif, aku sudah tidak tahu, bagaimana paniknya ibu ku nanti di rumah.                 Hujan turun dengan deras nya. Januari dan Hujan memang selalu bersahabat. Aku tidak membawa payung, lobby rumah sakit dan juga tempat tunggu kendaraan umum cukup jauh, membuatku yang sudah hampir pingsan ini harus menunggu lebih lama lagi di rumah sakit. Di saat aku sedang menundukan kepala ku agar tidak terlalu pusing, tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahu ku. Aku segera mendongkakan kepala, seorang pria ber jas putih dengan masker yang menutupi sebagian wajah nya.                 “Ya? Ada apa ya dok?” Tanya ku kepada dokter tersebut dengan tatapan bingung, tubuh ku sudah terlalu lemah, mata ku bahkan sudah berair, hingga untuk melihat dokter di hadapanku ini aku harus mengerjapkan mata berkali-kali.                 “Saya antar pulang ya” Ucap nya dengan suara yang dingin. Aku yang sudah di mabuk dengan rasa sakit lantas mengangguk saja, ikut di belakangnya menuju mobil. Di saat aku sudah duduk manis di atas mobilnya, aku baru sadar,bahwa aku tidak mengenal dokter di samping ku ini!                 “Dokter… namanya siapa?” Tanya ku dengan hati-hati. Jujur, dalam hati aku sudah merutuki diri ku berkali-kali, bagaimana mungkin aku bisa mengikut dengan seseorang yang aku tidak kenal bahkan hingga sampai ke dalam mobilnya? Gila. Aku memang sudah gila.                 Dokter itu membuka maskernya, kemudian ia menghela napas kasar “Besok-besok kalau di ajakin orang, jangan langsung di iya-in. nanti kamu malah di culik” Ucap Dokter tersebut yang wajah nya masih samar-samar di pandanganku. Setelah itu aku kembali mengerjapkan mata ku untuk melihat wajah dokter di sampingku ini.                 “L-loh , Mas Al?!” Ucapku sembari menutup mulut karena kaget melihatnya, pria yang selama dua minggu terakhir menjadi perbincangan hangat di rumah ku.                 “Kamu kan, yang tiap hari di omongin sama ibu saya. Anak nya tante Wika.” Ucap nya sembari menatap lurus ke depan. Aku hanya mengangguk tanpa membuka suara sama sekali. Pria yang setahun lalu ku temui ketika sama-sama mengunjungi grand opening usaha teman kami , dan bahkan kami sempat berfoto bersama. Dokter terkenal dengan satu juta followers di akun sosialmedia.                 “Saya antar kemana?” Tanya nya lagi. Aku kira dia dingin, tapi ternyata tak se-dingin yang aku bayangkan.                 “Ke… rumah aja,Mas.” Jawab ku. Ia mengangguk, kemudian membuka Jas putih nya di hadapanku hingga menyisahkan sebuah kemeja yang melekat di badannya. Ia membuka dashboard di hadapanku, memberiku sebuah sweater oversize berwarna hitam milik nya.                 “Pakai, nanti tambah sakit” Ucap nya singkat, lalu aku mengangguk.                 “Terimakasih mas” Jawabku. Lalu tidak ada lagi perbincangan di antara kami. Entah dari mana ia tahu alamat rumah ku, hingga ia bisa mengantarkanku hingga ke depan rumah.                 Hujan masih terus mengguyur kota dengan deras nya, jarak antara pagar dan pintu rumah cukup jauh. Jika saja aku nekat berjalan dari luar ke dalam tanpa payung ataupun penutup kepala, aku akan basah kuyup. Melihatku yang kebingungan, membuat Mas Al seketika tersadar dengan apa yang sedang aku pikirkan.                 “Sebentar” Ucap nya, kemudian ia turun dari mobil, berjalan ke arah bagasi mobil mengambil sebuah payung kemudian di bentangkan untuk menjemputku di kursi samping kemudi. Sial, apa dia tipe laki-laki romantis?                 “Ayo” Ucapnya sembari menjulurkan tangan. Sial, mengapa wajah nya terlihat jauh lebih tampan di saat seperti ini?. Aku mengikutinya, kami berdua berjalan bersama memasuki pekarangan rumah ku di bawah payung yang sama. Jika saja ibu ku melihat kami seperti ini, entah ia akan bagaimana. Aku pastikan mood nya akan selalu bagus selama satu minggu ke depan. TOK TOK TOK             Aku mengetuk pintu rumah berkali-kali agar seseorang dari dalam sana membukakan pintu untukku, lima menit menunggu, barulah ibu membuka pintu. Ibu langsung tersenyum sumringah ketika melihat siapa yang datang bersama ku. Mas Al, si calon menantu idamannya yang kebetulan bertemu denganku di rumah sakit.                 “E-eh…?! Looh… kok gak bilang mau ngajak Mas mu kesini sih… ya ampun! Ibu pikir kalian gak akrab, ya ampun ibu harus gimana ini? Al masuk dulu nak, ayo, masuk dulu, di luar lagi hujan” Ucap ibu sembari menarik tangan Mas Al untuk masuk ke dalam rumah, sementara aku? Aku yang di biarkan mengekor di belakang nya. Sebagai orang yang telah merepotkan Mas Al, aku naik dulu ke kamar ku hanya untuk sekedar mengganti baju, kemudian kembali turun untuk menemani Mas Al yang akan di recoki oleh ibu. Tetapi setelah mengganti baju, dan ingin menemui Mas Al, ternyata orang nya sudah tidak ada, ku tanya ibu, ia malah senyum-senyum sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD