lanjutkan?

1025 Words
Hal pertama yang Al lakukan ketika menyadari bahwa Celine sudah bangun dari tidurnya adalah, memeluk Celine dengan erat, tidak peduli dengan penolakan dari istrinya itu, yang jelas saat ini Al begitu bahagia, ia sudah tidak sabar untuk mengumumkan berita bahagia ini kepada keluarga mereka berdua, Al menarik napas panjang lalu menatap Celine dengan tatapan yang sangat berbinar. “Terimakasih cantik, terimakasih banyak.” Ucap Al sembari terus memeluk Celine dengan sangat erat. Jantung Celine seakan berhenti, mata nya kemudian menatap meja di samping pintu kamar mandi, matanya, berusaha mencari benda yang sengaja ia sembunyikan di sana, namun ia tak berhasil menemukannya. “U-untuk apa?” Tanya Celine, gugup. Mungkin saat ini Al juga dapat merasakan bagaimana debaran jantung Celine saat ini. “Untuk apa yang kamu kasih, semalam kamu menangis karena ini? Aku hampir gila gak bisa tidur cuma buat nunggu kamu bangun dan bilang terimakasih, kenapa semalam kamu menangis cantik? Apa yang harus di tangisi? Kabar bahagia begini tidak bisa di tangisi.” Al menatap mata istrinya dengan tatapan penuh kebahagiaan, sementara Celine hanya mematung dengan ekspresi datar, ia tidak mau membocorkan masalah kehamilanya, bahkan kepada suaminya sekalipun. “Nggak… aku gak siap hamil mas, aku gak mau mempertahankan janin ini.” Kata-kata itu akhirnya terucap dari mulut Celine, walau berat ia mengatakannya, tetap saja, Al harus tahu, ia sudah tertangkap basah, padahal sebelumnya Celine akan melakukan itu sendiri. “Cel…” Al kehabisan kata-kata setelah mendengar ucapan istrinya barusan, tak sedikit pun ia pernah berpikir bahwa Celine akan melakukan hal gila tersebut, ia dan Celine memang menikah bukan atas kemauan mereka sendiri, hanya saja, kata-kata yang baru saja di lontarkan oleh Celine sudah terlalu jahat untuk di dengar. “Aku gak mau, aku belum siap.” Bayangan-bayangan tentang Wendi yang di campakkan oleh suaminya setelah melahirkan membuat Celine muak sendiri, ia tidak mau di perlakukan seperti itu, bayangan- bayangan tentang badannya yang akan membesar ketika hamil, bayangan-bayangan tentang bagaimana ia akan kesulitan mengatur waktu, membuat Celine ingin berteriak saja. Hamil bukan pekerjaan yang mudah, apa lagi Celine takut melahirkan, ia takut mati ketika melahirkan anak nya itu. “Cel… menggugurkan kandungan itu dosa besar! Mau apa kamu? Mau kamu masuk neraka? Anak yang ada di dalam perut kamu itu tidak tahu menahu tentang apa-apa, dia punya hak untuk hidup, dia punya hak buat panggil kamu ibu. Kamu gak mau? Lihat anak kamu lahir terus lihat anak kamu tumbuh? Kenapa belum siap? Apa yang bikin kamu belum siap? Maaf… aku memang pernah bilang ke kamu kalau aku bakal menuruti semua yang kamu minta, tapi tidak dengan yang ini Celine, aku bahkan bersedia berlutut di depan kamu sekarang juga kalau kamu minta aku buat berlutut, tapi tolong, jangan lakukan apa-apa, janin yang ada di perut kamu berhak hidup.” Ucap Al dengan penuh kesungguhan. Celine menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap mata suami nya lekat-lekat. “Setelah melahirkan, teman ku ada yang di tinggal sama suami nya karena bentuk badannya berubah, aku takut melahirkan, aku belum siap jadi ibu, aku takut mati pas persalinan nanti, aku belum bisa manage waktu aku, aku juga masih mau kerja, memang kamu gampang bicara seperti itu, karena bukan kamu yang ngejalanin. Tapi aku? aku yang badannya bakal berubah, aku yang bakal ngerasain sakit nya, aku juga yang bakal berjuang melawan maut ku pas ngelahirin bayi ini nanti… mas aku belum siap, aku takut.” Tangis Celine pecah, ia tertunduk menatap kaki nya sendiri dengan air mata yang bercucuran, ia tak berani lagi menatap mata suami nya, rasa bersalah nya tiba-tiba muncul begitu saja, namun ia juga belum berani untuk mempertahankan janin yang sedang ia kandung. “Tolong… hilangkan pikiran buruk kamu, gak ada yang mau ninggalin kamu sekalipun badan kamu membesar setelah melahirkan, aku sudah berjanji di depan penghulu, para saksi dan juga wali nikah mu, kalau aku akan tetap sama kamu bagaimana pun keadaannya, aku juga bakal malu sama diri ku sendiri Cel, kalau sampai ninggalin kamu hanya karena masalah sepele seperti itu. tolong, pertahankan janin nya, setidaknya kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku bilang barusan, pikirkan pertanggung jawaban mu dengan tuhan di akhirat, pikirkan bagaimana kecewa nya papa kamu kalau tahu kamu begini. Tolong Celine…” Desis Al dengan suara yang seakan tercekat di lehernya. “Celine, pertahankan bayi nya ya? Kita besarkan bayi nya sama-sama, nyawaku, nyawaku sekarang ada sama kamu dan bayi kita.” Al menarik Celine ke dalam pelukannya. Mendekap istrinya itu dalam-dalam, tahu bahwa Celine sedang hamil membuat Al ingin semakin melindungi Celine. “Kalau aku gak mampu gimana mas?” Bisik Celine, napas nya terdengar tak beraturan, air mata nya semakin bercucuran, ia menjadi sensitif sekali. “Mampu, kamu gak sendirian, ada aku, orang tua ku, orang tua kamu. Banyak yang support kamu, tenang saja cantik, tidak akan ada yang berubah di hidup kamu kecuali ke arah yang lebih baik, itu janji ku.” Mendengar hal tersebut, Celine jadi sedikit melunak, rasanya tenang mendengar ucapan Al yang mampu menenangkannya, setidak nya untuk saat ini, entah bagaimana nanti. “Terimakasih mas.” Ucap Celine, ia melepaskan pelukan suami nya, rasanya malu mengucapkan kata itu di depan calon ayah dari bayi nya saat ini, Al adalah tipikal laki-laki penyabar yang tidak pernah Celine temukan di diri orang lain, selama mereka kenal, Celine lah yang selalu berulah, namun Al tetap menerima Celine apa ada nya. “Sudah-sudah jangan menangis lagi ya? Hari ini kita ke dokter, mau ya?” Al mengusap lembut rambut Celine, memberi gadis itu ketenangan tersendiri. “Iya mas. Hari ini gak usah ke kantor dulu aku nya, aku mau ke dokter kandungan buat mastiin. Tapi… aku minta kamu gak usah bilang ke ibu dulu ya? Nanti aja, kalau dokter nya sudah pastiin.” Al tersenyum, Celine sudah meluluh, padahal awal nya Al berpikir bahwa Celine akan teguh dengan pendiriannya, namun ternyata dugaannya salah, kali ini Celine lebih mudah untuk di luluhkan, tidak seperti kemarin-kemarin di saat mereka belum menikah. “Iya cantik, kalau begitu kamu siap-siap, kita berangkat setelah sarapan.” “Aku gak mau sarapan mas, aku gak nafsu makan.” “Nanti ibu curiga, sedikit aja ya? Kasihan juga si kecil kalau ibu nya gak makan.” “Iya.” “Sana mandi, aku tungguin di sini.” “Gak mau, kamu keluar aja, aku aneh ngeliat kamu di sini.” “Ampun bumil.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD