Cincin pernikahan

1056 Words
                Aku berjalan santai dari kamar ku menuju lantai bawah, dan mendapati Mas Al sedang duduk bersama papa di ruang keluarga, aku yang masih malu dengannya lantas buru-buru berjalan melewati ruangan itu tanpa menyapa Mas Al. sebenarnya aku ingin langsung balik badan tadi, namun ia sudah terlanjur melihat ku, aneh saja, pasti dia mengira bahwa aku takut melihatnya, padahal memang iya. Jadi ku putuskan untuk tetap berjalan dengan santai ke bawah, tentu tanpa menyapanya.                 “Kok main lewat gitu aja dek? Ini ada Mas mu loh.” Ucap Papa, ketika aku hendak kembali ke kamar dengan berbagai macam cemilan di tangan ku.                 “Oh iya, gak kelihatan. Hai Mas.” Ucap ku, aku duduk di samping papa, ia tersenyum sekilas kemudian lanjut berbincang dengan papa. Sial, apa dia sedang mengabaikan ku?                 Aku tetap duduk di sana, menunggu mereka selesai berbicara. Sebenarnya aku sudah ingin kabur, namun sejak tadi papa menahan ku, meminta ku untuk duduk lebih lama lagi. Sesekali ku lihat mata Mas Al melirik ke arah ku, aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas saat ini aku malu, akibat ulah ku sendiri semalam.                 “Kalau begitu, nanti kamu bicarakan sama ibu ya. Salam sama bapak kamu juga.” Ucap papa. Aku memang sejak tadi berada di sana, namun aku sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan, sama sekali tidak paham. Ya anggap lah aku bodoh, tapi sejak tadi pikirkan ku berfokus dengan bagaimana caranya aku bisa kabur dari mereka jika perbincangan mereka telah selesai.                 “Iya om, nanti saya beritahu.” Balas Mas Al.                 “Oh iya om, saya minta izin mau minta Celine temani saya beli stetoskop baru, kebetulan stetoskop saya yang lama sudah perlu di ganti, sekalian mau ajak Celine juga ke tempat makan teman saya yang baru buka hari ini.” Ucap Mas Al. senyum mengembang di wajah nya, papa? Papa tentu saja mengangguk. Pasti dia senang, karena Mas Al yang mengajakku.                 “Sana dek, ganti baju, di tungguin tuh sama mas mu.” Ucap papa. Aku mana sempat menolak. Papa sudah mendorongku berjalan menaiki anak tangga sementara si kaku itu tersenyum dan menunggu ku di bawah. Aku mau tidak mau jadi harus ikut dengannya, apaan sih, padahal dia bisa beli stetoskop sendiri, kenapa harus mengajak ku? Dia juga bisa datang ke grand opening restaurant temannya tanpa aku, dasar aneh. Pasti dia hanya mau membuat ku semakin merasa malu di depannya. Sial. Desis ku sembari memakai riasan di wajah ku. Dokter kaku itu menyebalkan sekali. Mengapa ia masih mau dekat-dekat dengan ku sementara ia sudah melihat semua sisi terburuk dalam diri ku? Apa ia sengaja? Sengaja melakukan itu agar aku semakin menyesal dan merasa malu? Ku akui, Mas Al memang luar biasa tampannya, tapi… dia tidak termasuk dalam kategori suami idaman ku, kecuali, dia bisa lebih nakal sedikit.                 Bukan, bukan nakal dalam artian dia harus pakai obat-obatan terlarang atau main perempuan, bukan seperti itu maksud ku, nakal dalam artian, aku mau dia sedikit lebih bebas, bebas berekspresi dan tidak terlalu kolot pikirannya, entahlah, aku memang tidak terlalu tertarik dengannya. Setelah siap, aku langsung turun ke bawah, ternyata, dia sudah menunggu ku di dalam mobil. Baru ku perhatikan, pakaiannya saat ini cukup senada dengan ku. Ia memakai kemeja putih dengan lengan yang di gulung hingga sikut, serta celana berwarna cokelat muda yang cukup membuatnya terlihat kasual. Sementara aku, memakai dress putih selutut yang paling ku anggap dress tersopan di lemari ku.                 “Ayo.” Ucap ku setelah duduk di atas mobil. Cukup lama ia diam, namun tidak membalas ucapan ku ataupun menyalakan mesin mobil nya, ia mendekat kepadaku, terlalu dekat, bahkan aku bisa mencium bau mint dari nafas nya. Aku? aku tentu saja diam, jantung ku berdebar kencang bahkan sampai membuat ku harus menutup mata.                 “Sudah selesai, ayo berangkat.” Ucap Mas Al setelah bunyi klik pada seatbelt telah terdengar. Aku membuang napas ku lega setelah ia sedikit menjauh dari ku, ia menegapkan badannya lalu menginjak pedal gas mobil nya. Entah mau di bawa kemana aku hari ini.                 Di jalan, kami banyak diam, sesekali Mas Al bertanya tentang sesuatu hal yang menurutku tidak penting, seperti bagaimana bisnis di kantor ku, atau paling tidak seberapa banyak sahabat yang aku punya. Terlihat jelas bahwa dia bukanlah tipikal orang yang gampang membuka pembahasan dengan orang lain.                 “Loh, bukannya mau beli stetoskop ya? Kok malah ke mall?” Tanya ku saat mobil Mas Al memasuki area parkir mall.                 “Hmmm… tidak jadi.” Jawab nya dengan santai.                 “Lah terus, ngapain? Apaan deh, temen kamu buka resto nya di sini?” Tanya ku, lagi. penasaran.                 “Tidak Celine.” Jawab nya. Sungguh, aku ingin sekali membawa Mas Al ke sebuah tempat terapi yang bisa melatih kemampuan berbicara nya, aku benci ketika aku sudah kepalang penasaran lantas dia masih terus irit bicara, seakan-akan kalau ia banyak bicara, ia akan di kenakan tarif biaya.                 “Lah terus apa? ngapain ke mall?” Tanya ku, sekali lagi.                 “Ayo.” Jawab nya, sembari turun dari mobil. Meninggalkan ku sendirian, di atas mobil nya dengan rasa penasaran yang menghantui.                 Aku berdecak kesal, mau tidak mau, aku mengikutinya dari belakang, cukup sulit, sebab ia berjalan begitu cepat, langkah kaki nya juga lebar, membuat ku mau tidak mau harus sedikit berlari agar langkah kita bisa sama. Ia melangkah begitu cepat, namun ia memelankan langkah nya ketika kami berdua sudah di lantai dua, kemudian ia berbelok menuju salah satu toko perhiasan, impian ku. Setiap kali aku lewat di sana, aku selalu berdoa, semoga aku punya uang banyak untuk membeli setidaknya salah satu cincinnya sebelum aku mati.                 “Ngapain?” Bisik ku ketika kami berdua memasuki toko perhiasan tersebut. Namun lagi-lagi, si kaku itu tetap diam, kemudian ia di persilahkan duduk oleh salah satu karyawan di sana, ku akui, pelayanannya memang luar biasa.                 “Saya mau cari cincin pernikahan, untuk kami berdua, jangan emas ya.” Ucap nya kepada karyawan yang bekerja di toko perhiasan itu, aku melongo tidak percaya, bagaimana mungkin ia membawaku ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan sementara aku saja belum setuju dengan pernikahan itu. Aku melotot menatap nya, dengan tatapan tidak suka. “Apaan sih!? ayo pulang!” Ucap ku dengan nada tidak suka, ia membalas ku dengan tatapan yang tak kalah datar nya juga.                 “Saya tidak minta pendapat kamu Nyonya Celine Elena Hartanuwidjaya.” Jawab nya, dengan tatapan penuh kemenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD