"Jelas-jelas Mila mengkhianati kamu. Cantik juga nggak. Kok bisa dia buat kamu nggak bisa beralih ke lain hati," decak Bu Hanin. Dia menggelengkan kepalanya.
Guntur mendengus. Sebenarnya bukan tidak bisa beralih ke lain hati seperti yang ibunya khawatirkan. Dia merasa malah tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu terhadap Mila, perempuan yang dia cintai beberapa tahun lalu. Tapi memang dia tidak punya hasrat menikah untuk kesekian kali.
Tiba-tiba dia ingat anak semata wayangnya, Ayu. Yang sangat dia sayang.
Sekilas dipandangnya ibunya, lalu tersenyum.
"Ibu apa nggak liat diri ibu. Nggak mau nikah-nikah...,"
"Eh? Ibu ya tau umur..., sudah mambu tanah, mana mikir yang gitu-gitu. Kamu...,"
Guntur menggelengkan kepalanya. Sudah lebih sepuluh tahun ibunya menjanda. Sebenarnya ada beberapa pria tua dan muda mendekati ibunya itu. Di samping cantik, juga kaya tentunya. Tapi Bu Hanin enggan menananggapi mereka. Dia senang dengan kesendiriannya. Senang melihat orang-orang yang bekerja dengannya, juga berbagi.
Dia juga senang bebas mencintai mendiang suaminya, Haribawa Malla Noer.
"Ya. Sama dong kalo begitu...,"
"Gun. Ibu kepinginnya kamu tuh bahagia. Punya istri..., punya anak yang bisa dekat kamu."
"Ya..., gimana ya, Bu. Kan aku udah mau dengan Sheren. Trus masalahnya apa?"
"Masalahnya kamu nggak antusias dengan dia...,"
"Harus seantusias gimana aku, Bu?"
Bu Hanin kehabisan kata-kata. Anaknya memang terkesan dingin dengan perempuan.
"Hh..., kamu, Gun..."
"Ok..., aku akan coba. Menyukai perempuan pilihan ibu. Kali ini kan aku nggak nolak."
Bu Hanin melemparkan pandangannya ke taman luas samping rumahnya.
"Aku sebenarnya sedang konsen dengan kerjaanku, Bu. Mungkin karena passionku mengajar, aku tidak berpikir mengenai pendamping hidup. Aku khawatir jika menikah, konsentrasiku terpecah. Obsesiku ingin mengejar gelar tertinggi di bidang akademik. Itu yang aku mau. Sudah banyak teman-teman yang bahkan lebih muda dari aku sudah jauh mendapatkan gelar itu...,"
"Lho? Bukannya mudah prosesnya..., tinggal kasih duit to?"
Guntur menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak ingin melewati proses yang itu."
"Terus..., setelah itu yang kamu dapatkan, apa kamu akan menikah?"
Guntur mendengus untuk kesekian kali.
"Entahlah...,"
"Guntur...,"
Wajah Bu Hanin berubah kecewa.
***
Tapi setelahnya, kekecewaan Bu Hanin tidak berlangsung lama. Tidak sengaja dia berpapasan dengan Nayra yang sedang melap-melap pajangan kristal-kristalnya yang ada di dalam lemari kaca khususnya. Dia amati Nayra yang tampak sangat hati-hati mengerjakannya. Wajah Nayra pun terlihat serius.
Beberapa menit kemudian, setelah dilihatnya Nayra selesai dengan pekerjaannya. Ditegurnya Nayra.
Nayra sedikit kaget.
"Kamu pembantu baru?"
Nayra kikuk. Bingung harus jawab bagaimana.
"I..., iya, Bu," jawabnya sekenanya. Dia tidak ingin menjawab panjang lebar tentang posisi yang sebenarnya di rumah itu. Karena Nayra malas bicara yang tidak penting menurutnya. Nayra hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, lalu bisa istirahat cantik di kamar Mbok Min. Tapi...,
"Kamu bisa pijet?" tanya Bu Hanin yang melirik tangan mungil Nayra. Sepertinya Bu Hanin piawai mengamati tubuh seseorang serta kelebihannya.
Duh. Nayra bingung. Dia memang pandai memijat. Memijat ibunya yang lelah.
Nayra diam. Kakinya ingin sekali berlari dari wanita yang katanya bicaranya sering menyakitkan itu.
"Pijet saya. Saya tunggu di kamar."
Nayra bimbang. Ditatapnya punggung Bu Hanin yang melangkah menuju kamarnya yang berada di samping ruang tengah. Tampak Bu Hanin sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka.
Sambil melempar kain lap ke sisi kiri bahunya, Nayra lalu pergi ke kamarnya. Langkahnya terlihat cepat, tapi hatinya dipenuhi perasaan gundah. Bagaimana tidak gundah, sebelumnya dia sudah diomeli dan dipandang tidak senang oleh Pak Guntur. Kini dia malah disuruh memijat ibunya Pak Guntur yang wajahnya memang tidak menyenangkan.
Sesampainya di depan kamar, Bu Sari yang sedang melipat-lipat pakaian kering heran melihat wajah murung Nayra.
Dilihatnya Nayra yang memasuki kamarnya dengan tergesa-gesa.
Tak lama kemudian terdengar bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi di dalam kamar Mbok Min yang ditempati Nayra.
"Loh? Mau ke mana? Wangi?"
"Mau mijet yang punya rumah, Bu Sar..."
Bu Sari melotot.
"Maksudnya, kamu disuruh pijet Bu Hanin?" tanyanya sejurus kemudian.
"Iya..., dia yang nyuruh. Emang kenapa, Bu?" Nayra balik tanya. Sekilas dia heran melihat ekspresi wajah Bu sari.
Bu Sari tersenyum.
"Itu tandanya dia suka kamu. Kamu kerja bagus, Nay. Sedari tadi memang ibu liat wajah Bu Hanin nggak jutek seperti sebelum-sebelumnya. Nggak ngomel-ngomel. Usulan kamu berhasil. Bangun pagi-pagi, trus kamu bantu ibu juga. Rawon ibu juga habis nggak bersisa..., seneng to?"
Bu Sar tersenyum lebar. Matanya penuh binar melihat Nayra yang sudah siap-siap melangkah ke luar dari kamarnya.
Tapi tetap saja wajah Nayra tampak tidak begitu semangat.
Bu Sari hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Nayra. Dia tidak mengerti kenapa Nayra tidak menyukai Pak Guntur. Jika ditanya, selalu dijawab Nayra dengan jawaban sombonglah, nggak baiklah, meremehkan orang rendahlah, dan lain sebagainya. Padahal menurutnya, Pak Guntur adalah majikan yang terbaik baginya yang sudah malang melintang di dunia urusan rumah tangga. Pak Guntur adalah majikannya yang kelima. Dan Bu Sar betah bekerja di rumah yang dimiliki Bu Hanin, ibunya Pak Gun.
Bu Sari kemudian tersenyum, sekilas dia menyadari bahwa memang sepertinya Nayra adalah sosok yang sangat perasa. Ini juga dijelaskan Mbok Min yang akrab dengan Nayra. Terlepas dari itu, dia salut dengan Nayra yang mampu memisahkan perasaannya dari kerjaannya. Nayra tetap bekerja dengan baik dan tidak asal-asalan, bahkan lebih baik dari Mbok Min sendiri.
***
Nayra kini sudah berada di mulut pintu kamar Bu Hanin.
"Jangan ditutup pintunya. Biarkan saja terbuka...," perintah Bu Hanin yang posisinya sudah siap dipijat. Dia duduk selonjoran di atas dipan tidurnya, dengan tubuhnya yang hanya berbalut sarung.
Nayra sedikit terperangah melihat Bu Hanin. Bu Hanin memang cantik. Kulit badannya sangat bersih, lagi wangi. Sepertinya Bu Hanin sangat rajin merawat tubuhnya.
Lalu Nayra memulai memijat tubuh wangi itu.
"Kampungmu di mana?" tanya Bu Hanin ketika punggungnya sudah mulai dipijat Nayra perlahan.
Nayra terperangah. Kampung?
"Oh? Saya tinggal dekat dari sini, Bu. Itu di bawah...," jawab Naira.
"Di bawah?"
"Iya..., rumah ibu saya di ujung komplek rumah ini. Ada gang sempit, tempatnya agak menjorok ke bawah," jelas Naira.
Bu Hanin manggut-manggut. Dia baru menyadari bahwa memang ujung komplek perumahan elit rumahnya ada kawasan padat penduduk. Yang letaknya menjorok di bawah jalanan.
Nayra terus perlahan memijat tubuh mulus Bu Hanin.
Wajah Bu Hanin terlihat sangat menikmati setiap pijatan Nayra.
"Tadi kamu yang masak rawon?" tanya Bu Hanin tiba-tiba.
Nayra terkesiap, tidak menduga pertanyaan yang dilontarkan Bu Hanin.
"Oh..., Bu Sar yang masak, Bu," jawab Naira. Dia sedikit gelisah.
"Masa sih? Beda lo rasanya,"
Duh. Nayra mulai resah. Tangannya sedikit gemetar, tapi tetap berusaha fokus dengan pijatannya.
"Bu Sar kan hampir enam tahun kerja di sini. Rawonnya nggak kayak tadi. Rawon itu andalannya dia. Saya menyukainya. Tadi kok beda yang tadi. Kamu apakan?"
Nayra terus mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak tidak karu-karuan.
"Saya kasih bumbu lebih, Bu. Trus numis bumbunya agak lamaan...,"
"Oh..., siapa nama kamu?"
"Nayra, Bu,"
"Kamu juga yang beres-beres?"
"I...iya, Bu."
"Hm..., pindah ke sini pijatannya."
Nayra baru menyadari memijat punggung Bu Hanin cukup lama, hingga dia lupa bagian tubuh Bu Hanin yang lain yang seharusnya dia pijat.
Mungkin karena mendengar nada suara Bu Hanin yang terdengar ketus saat memberinya pertanyaan-pertanyaan, membuat Nayra agak sedikit gentar, hingga tidak sadar dengan pijatannya.
Betul kata Bu Sar, Bu Hanin menakutkan jika bertanya, apalagi kalau marah atau ngomel-ngomel? Terbayang wajah Sulley the monster inc. di benak Nayra.
"Kamu serba bisa ya? Masak enak..., rumah bersih. Halaman rapi. Mijet juga enak."
Aaaah. Nayra memejamkan matanya. Dia menghela lega. Lega sekali.
Setelahnya Nayra lebih fokus memijat Bu Hanin.
Tidak lama kemudian, Pak Guntur muncul ke kamar Bu Hanin.
"Oh..., lagi dipijat, Bu? Aku pergi dulu. Ada rapat mendadak di kampus."
Tampak Pak Guntur terkesima melihat Nayra memijat ibunya di kamar.
Dan Nayra tentu saja tidak sedikitpun tertarik menoleh ke arahnya. Karena sekelabat bayangan Randall Monster Inc yang tentu lebih menyebalkan lagi.
"Minggu kok rapat, Gun?" tanya Bu Hanin yang sekarang tubuhnya terlentang pasrah dipijat Nayra.
"Iya, Bu. Ini rektor langsung yang menghubungi. Ada hal penting," tanggap Guntur. Dia sesekali melirik Nayra yang lihai memijat ibunya.
Nayra? Tentu wajahnya datar saja. Tidak sedikitpun tertarik melirik duda itu, apalagi melihatnya.
"Aku usahakan pulang cepat," lanjut Guntur kemudian.
Lalu terdengar bunyi derap sepatu menjauh.