Liburan dan bersantai sudah selesai bagi Elsa, jadi dia sudah siap untuk segera kembali beraktivitas dan bekerja.
Sesuai dengan rencana hari ini, Elsa akan segera memenuhi panggilan wawancara dari tempat perusahaan dia melamar pekerjaan.
Elsa mematut diri di depan cermin sambil melihat apakah sudah pantas atau tidak pakaian yang ia kenakan.
Setelah merasa cukup Elsa pun pergi ke ruang makan dan di sana sudah menunggu Frans juga Adit.
“Wah Kak Elsa cantik banget, padahal cuman mau wawancara kerja saja tuh,” ujar Adit menggoda.
Elsa tersenyum mendengar godaan itu, “iya tentu saja Dek, masa mau wawancara penampilannya berantakan.”
“Adit senang Kak Elsa dipanggil kerja di perusahaan itu,” ucap lanjut “Karena setahu Adit, perusahaan itu termasuk yang paling top sekarang.”
“Iya sih, ini juga berkat rekomendasi dari perusahaan Kak Elsa di Jerman kemarin,” terang Elsa.
“Iya itu bagus, Daddy berdoa semoga kamu diterima di sana,” ujar Frans menatap Elsa yang semakin dewasa di mata tuanya.
“Terima kasih Daddy atas doanya,” kata Elsa memeluk Frans dan mencium pipi pria paruh baya itu, “Ya sudah, Elsa berangkat dulu takut macet di jalan nanti.”
“Mau diantar Adit ngak Kak?” tawar Adit.
“Ngak usah Kak Elsa pinjam mobil Daddy saja, dan lagian kamu juga mesti berangkat kerja juga kan,” sahut Elsa.
Adit mengangguk kan kepalanya, “Benar sih, tapi demi Kak Elsa ngak apa-apa.”
“Kak Elsa tahu itu modusnya kamu biar bisa lihat cewek cantik tempat Kak Elsa melamar kerja kan?” kata Elsa.
“Ih sama adiknya sendiri suka berburuk sangka sih, tapi kalau ada kesempatan kenapa ngak,” kata Adit memainkan kedua alisnya sambil tersenyum.
Elsa tertawa mendengar perkataan Adit, “Begitu katanya ngak boleh berburuk sangka.”
Dengan mengendarai mobil Frans, Elsa menyusuri jalan sambil memperhatikan semua perubahan yang terjadi selama empat dia pergi dari kota ini.
Walaupun sebenarnya dia dan Adit sempat berkeliling sekalian menghapal rute jalan menuju tempat gedung kantor yang akan dia tuju, tapi rasanya dia tidak bosan untuk terus memperhatikan semua perubahan itu, terutama gedung-gedung baru yang punya gaya arsitektur sendiri.
Melihat semua gedung itu membuat Elsa benar-benar bersemangat, apalagi membayangkan kalau suatu hari nanti salah satu karyanya akan berdiri di sekitar kota ini.
Elsa sampai di sebuah gedung perkantoran yang bisa dilihat bahwa perusahaan tempat Elsa melamar kerja ini sangat besar dan juga elit.
Dia diarahkan oleh resepsionis perusahaan itu bagaimana untuk menuju ruangan perkantoran tempat dia akan melakukan wawancara.
Saat akan menuju lift yang hampir tertutup Elsa berteriak cukup nyaring.
“Tolong tahan liftnya!” seru Elsa sambil berlari kecil.
Dan sebuah tangan menahan pintu lift itu dengan segera Elsa langsung masuk ke dalam dan melihat pada orang yang menahan pintu lift.
Tampak keterkejutan di antara Elsa dan orang yang sudah menahan pintu lift, pria itu ...
Tampak terlihat seorang pria dengan tubuh tinggi cenderung agak kurus dengan kacamata di wajahnya yang tadi terlihat terkejut seperti Elsa langsung berubah menjadi serius juga kaku.
“Terima kasih,” kata Elsa tersenyum dan berdiri di hadapannya pria itu.
Pria itu memandang Elsa sampai gadis itu berpaling dan berdiri membelakanginya.
“Lantai berapa?” tanya pria itu.
“Oh maaf saya lupa,” jawab Elsa dan menyebutkan tingkat lantai yang dia tuju.
Elsa bisa merasakan bahwa pria itu terus memperhatikannya dan dia pun diam-diam ikut melakukan hal yang sama.
Biarpun sudah lewat beberapa hari yang lalu, Elsa masih bisa mengenali pria itu, wajah yang sama waktu dia melihatnya di restoran, tapi kali ini pria itu bersikap berbeda, tidak ada senyum di sana justru bersikap acuh seolah tak pernah bertemu.
Dengan memperhatikan diam-diam penampilan pria itu tetap sama seperti kemarin tapi tetap berkesan sahaja, wajahnya tak tampan ekspresinya datar tapi adanya kharisma yang tidak biasa di dalam diri pria itu.
Ternyata pria itu juga memperhatikan Elsa, tapi tidak secara diam-diam justru dia menatap dengan intens pada wanita itu.
Merasa tak nyaman Elsa menggeser sedikit tubuhnya menjauhi pria itu dan dia bisa melihat pria itu pun mengalihkan tatapannya pada pintu lift yang terbuka.
Elsa lega, dengan segera dia keluar tapi kemudian terlihat bingung harus mengarah ke mana.
“Kamu mau ke ruangan siapa?” tanya pria itu yang juga ternyata keluar dari lift dan melihat kebingungan Elsa.
Elsa terkejut dan melihat pada pria itu, “Saya mau ketemu Pak Danu.”
Pria itu terlihat heran dan mengangkat satu alisnya, “Pak Danu?”
“Saya ada janji dengan beliau untuk wawancara kerja,” terang Elsa.
Pria itu mengangguk kan kepalanya, kemudian mengarahkan telunjuknya memberitahu tentang arah yang harus di tuju oleh gadis itu, “Kamu lurus dan belok ke kanan.”
Setelah mendengar arahan yang di berikan, Elsa akhirnya berterima kasih kemudian mulai berjalan sesuai dengan arah yang di tunjuk sambil sesekali menengok ke belakang melihat ke pria itu yang ternyata berjalan santai berlawanan dengannya.
Pak Danu ternyata orang yang ramah dan menyambut kedatangan Elsa, ternyata pria itu adalah CEO langsung perusahaan itu.
Wawancara berjalan lancar dan sepertinya semua di permudah untuk Elsa karena Danu sudah membaca resume tentang wanita itu
Elsa memperkirakan kalau usia Danu terlihat sebaya dengan pria yang tadi bersamanya di lift, dan penampilannya sangat terlihat santai tidak seperti CEO umumnya.
“Saya senang akhirnya salah satu karyawan andalan Dexter sahabat saya mau bekerja di perusahaan saya,” ujar Danu tersenyum pada Elsa.
“Ya, saya juga senang, karena Mr Dexter memberikan rekomendasi untuk saya bekerja pada perusahaan sebesar ini,” sahut Elsa membalas senyum Danu.
“Begitu saya melihat cvmu saya langsung menghubungi dia dan bertanya seperti apa kinerjamu,” ujar Danu berterus terang tentang dia yang mencari tahu tentang bagaimana hasil kerja Elsa di Jerman.
“Maaf apa saya boleh tahu apa saja yang dikatakan oleh Mr Dexter, pak Danu?” tanya Elsa penasaran.
“Dia merekomendasikan kamu sebagai salah satu pegawai terbaiknya, dia sangat menyesalkan kamu harus berhenti bekerja padanya,” terang Danu.
Elsa tersenyum senang, karena mantan pimpinannya adalah pria yang baik dan banyak membantu juga mengajarinya banyak hal.
“Saya juga tahu kamu itu putri Frans, salah satu arsitek yang di hormati dan saya sangat senang karena kamu mau bekerja di perusahaan ini,” tutur Danu panjang lebar dan Elsa terlihat mengangguk, “Sebentar.”
Kemudian Danu terlihat menelepon seseorang, ”Rama bisa tidak kamu datang kesini sekarang, saya ingin kamu bertemu anggota tim barumu yang akan bekerja di sini.”
Tidak menunggu lama seseorang masuk dan Elsa kembali mengenalinya, pria yang sama berada satu lift dengannya tadi.
“Elsa kenalkan ini Pak Rama, dia ini wakil CEO dan juga akan menjadi penyeliamu,” ujar Pak Danu memperkenalkan mereka.
Pria yang dipanggil Rama itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Elsa, “Rama.”
“Elsa,” sahut Elsa menyambut uluran tangan itu dan merasakan genggaman pria itu yang membuat hati Elsa erasa menghangat.
“Nah Rama, saya harap dia akan sesuai dengan permintaanmu soal penambahan anggota baru timmu,” kata Pak Danu.
“Terima kasih,” sahut Rama itu tersenyum kecil dan melihat pada Elsa dengan cara yang sama saat di lift, itu yang ada di pikiran gadis itu.
Elsa yang merasa dipandangi dengan cara yang cukup aneh terlihat kikuk dan berusaha tersenyum walaupun itu sedikit terpaksa juga terasa kaku.
“Rama kamu bisa ajak Elsa untuk melihat-lihat ruang kerjanya kan, mumpung kamu ada di sini,” kata Danu memberi perintah.
Rama memandang tajam pada Danu dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi, karena melihat Elsa yang masih ada di ruangan ini dan Danu tahu arti pandangan itu.
“Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan saya yang menumpuk,” ujar Danu bergegas menuju mejanya dan menunjuk pada berkas di meja, untuk menghindari kemungkinan Rama tahu tentang dia yang bersiasat.
“Kamu bisa tunggu di luar, saya akan menyusul sebentar ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Pak Danu,” perintah Rama dan Elsa pun permisi untuk keluar.
“Jangan kau pikir bisa ikut ikutan seperti ibuku,” kata Rama begitu melihat pintu tertutup.
“Ikut-ikutan seperti apa?” tanya Danu sambil melihat pada Rama dengan wajah datar dan polos.
“Kau tahu apa, jika aku tahu ada maksud dari perbuatan ini dengan memasukkan gadis itu dalam timku, kau akan tahu akibatnya,” ucap Rama melihat tajam pada Danu dari balik kaca matanya.
Tapi Danu hanya mencebikkan bibirnya dan duduk dengan gerakan kasar.
“Aku tidak takut ancamanmu, aku lebih takut pada ibumu,” sahut Danu bergidik ngeri, “Dia berani menerorku padahal aku ini pimpinanmu dan terornya lebih kejam dari pada pembunuhan.”
“Tapi kau tahu jika bicara soal kuasa?” tanya Rama berkacak pinggang menatap Danu dengan bibir sedikit terangkat di sudut.
“Aku akan tetap menjawab dengan hal yang sama, dokter Tri mantan polisi adalah yang paling sangat menakutkan,” kata Danu kembali bergidik ngeri sambil memikirkan semua perkataan panjang kali lebar Ibu dari Rama, “Kau tahu, bude Tri bisa membunuh seseorang tanpa harus menggunakan senjata apa pun.”
Rama hanya bisa menarik napasnya dan kemudian menggelengkan kepalanya dia, “Kau penakut.”
“Aku takut mati tanpa di ketahui sebabnya,” Danu terus bergidik dengan tatapan yang ngeri.
Dan Rama terus menggelengkan kepalanya sambil berjalan keluar ruang kerja Danu tapi dengan terus berpikir tentunya berdoa juga berharap Elsa tidak akan, sekali lagi tidak akan pernah bertemu ibunya kalau tidak alamat hidup gadis itu tidak tenteram seperti contoh teman baiknya, Danu!
@@@
“Wah kok perasaan aku hari ini jadi beda ya?”
“Ehm .. apa ada terjadi sesuatu yang besar, sampai jantungku berdebar kencang seperti ini?”
“Aduh jangan-jangan aku mau kena serangan jantung? Aduh jangan sekarang aku ngak mau mati mendadak sebelum punya mantu dan lihat cucuku lahir.”
“Firasat baik apa buruk ya?”
“Sepertinya firasat baik, karena jantungku seperti berirama gembira.”