Hari sakral itu pun tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal resmi menjadi sepasang suami istri. Tadi pagi, tepatnya jam sembilan lebih beberapa menit, dia menjabat tangan Papa dan melaksanakan akad dengan tegas dan lancar.
Di saat para saksi mengucapkan kata ‘sah’, di saat itulah aku merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia. Aku merasa cintaku selama ini tak sia-sia karena pada akhirnya aku bisa bersanding di pelaminan dengan laki-laki yang kucintai dalam waktu yang cukup lama.
Kakiku terasa lemas ketika untuk pertama kalinya Mas Iqbal mencium keningku di hadapan banyak orang. Dadaku berdebar sangat keras sampai aku takut barangkali Mas Iqbal mendengarnya. Aku pasti akan malu kalau sampai itu terjadi.
Tangis haru tak terelakkan ketika acara sungkeman tiba. Aku rasa ini lebih mengharukan lagi daripada ketika Mas Athar menikah dulu. Baik Papa ataupun Mama menangis lebih banyak, tetapi senyum lebar tak pudar dari wajah mereka berdua.
Mas Athar sempat menitikkan air mata ketika dia memelukku cukup lama. Dia bilang hari ini terasa seperti mimpi melihat adik kecilnya akhirnya menikah. Dia berpesan padaku untuk tetap menyempatkan berkunjung ke rumahnya sekalipun aku sudah berkeluarga.
“Titip Naya, Bal. Tegur dia kalau dia salah, tapi jangan berani-beraninya kamu sakiti dia. Kalau sampai itu terjadi, kamu berurusan denganku.” Itu adalah penggalan kalimat Mas Athar ketika dia memeluk Mas Iqbal sejenak pasca acara sungkeman dengan orang tua.
Dan sekarang, aku dan Mas Iqbal sedang berdiri di atas panggung pelaminan. Kami menggelar resepsi jadi satu. Ini atas kesepakatan kedua pihak keluarga.
“Om Iqbal!” aku dan Mas Iqbal kompak menoleh ketika mendengar suara anak kecil.
Jantungku seketika berdetak lebih cepat begitu melihat Mbak Ara datang bersama suami dan kedua anaknya. Harusnya aku bahagia, tetapi entah kenapa ada perasaan aneh yang sulit kejelaskan.
Bicara Mbak Ara, sekalipun anaknya sudah dua, dia masih secantik dulu. Bahkan kataku sekarang dia lebih cantik. Kalau dulu dia masih agak imut-imut, sekarang cantiknya lebih dewasa. Ya, sesuai umurnya yang satu tahun di bawah Mas Iqbal.
“Akhirnya, Om Iqbal enggak jomblo lagi!” Mbak Ara terkekeh sembari menyalami Mas Iqbal. “Selamat ya, Bal. Aku doain semoga keluargamu langgeng sampai hanya maut yang berani memisahkan.”
“Aamiin. Kadonya sesuai pesanan, kan, Ra?”
“Pengantin ter-enggak ada akhlak sih, ini!”
Kini giliran Mas Iqbal yang terkekeh. “Kan kamu sendiri yang nawarin.”
“Kadonya mantul, Om. Tadi malam Papa yang bungkus.” Anak Mbak Ara menyahut antusias. Kalau aku tidak salah, anak itu namanya Rafan. Dia anak sulung Mbak Ara dan Pak Davka.
“Dan kamu rusuhin Papa sampai kertas kadonya robek, Raf.” Pak Davka menyahut pelan.
“Kan ganti baru, Pa.”
“Jangan berisik di sini, keburu ada yang antri.” Mbak Ara melerai.
Agaknya, kabar kalau Mas Iqbal dekat dengan anak Mbak Ara itu benar adanya. Aku bisa merasakan betapa Rafan ini menatap penuh semangat pada suamiku.
Kini Mbak Ara maju satu langkah dan langsung menyalamiku. Tidak cukup sampai di situ, dia juga memelukku. Senyum lebarnya terus tercetak jelas di wajah.
“Naya, kamu boleh percaya atau enggak. Dulu waktu masih kuliah S1, kalau Iqbal lagi ngoreksi laporan praktikum, dia enggak pernah absen tuh, muji milik Ainaya Nishfi. Lha kok kalian ternyata jodoh.”
“Jangan buka kartu, Ra!”
“Lah, kenapa? Udah jadi istri ini!”
Tentu saja aku tersenyum mendengar itu. Apa benar Mas Iqbal dulu begitu? Rasanya, tidak mungkin, kan, Mbak Ara mengada-ada?
“Istri Om Iqbal cantik,” ucap anak perempuan Mbak Ara—yang aku belum tahu namanya—sambil menatapku dengan mata berbinar.
“Iya, dong, Va. Cepet, kenalan ...”
Anak itu yang semula digendong Pak Davka, akhirnya minta turun. Dia menyalamiku, dan si Rafan juga ikutan. “Hallo, Tante. Salam kenal ...”
Pak Davka dan Mbak Ara seketika tertawa. “Udah kaya apa aja pakai salam kenal. Dicium tangannya Tante. Namanya Tante Naya.”
“Hallo, Tante Naya. Aku Reva.” Mendengar itu, aku segera duduk agar tinggiku tidak terlalu jauh. Mau menunduk, aku tidak bisa karena takut riasan di kepala rusak.
“Hallo Reva, dan hallo juga Rafan.”
Rafan meringis. “Selamat menikah, Tante.”
Ya ampun, kenapa kedua anak Mbak Ara sepintar dan selucu ini? Keturunan Pak Davka memang beda.
“Salimnya jangan lama-lama, yuk. Bentar lagi ada yang mau naik panggung.”
“Oke, Ma!”
Begitu Pak Davka memberi selamat pada Mas Iqbal juga diriku, Mbak Ara minta foto bersama. Setelah itu, mereka berempat buru-buru turun dari panggung. Sebenarnya sedang tidak ada yang mengantri, tetapi kurasa mereka sungkan kalau terlalu lama berada di atas panggung.
“Nama anak Mbak Ara itu memang mirip, ya, Mas?”
“Iya. Rafan sama Reva. Udah kaya anak kembar aja, tapi bukan. Yang kembar justru sepupu mereka.”
“Iya, aku tahu. Sepupu mereka kan anaknya Mbak Karin, adik iparnya Mas Athar.”
Mas Iqbal tertawa pelan. “Oh iya, ya? Aku lupa.”
“Tuh, mereka lagi makan di pojokan.”
Mas Iqbal tiba-tiba menggenggam tanganku dan mengajakku duduk. Dia menoleh, lalu tersenyum. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi genggaman tangannya mengerat.
“Kenapa, Mas?”
“Enggak papa. Bener kata Si Reva, istriku memang cantik.”
Senyumku seketika terbit. “Makasih ...”
Aku bahagia. Sejak pagi tadi aku benar-benar bahagia. Meski aku sadar betul Mas Iqbal belum benar-benar menatapku—bukan berarti dia menatap Mbak Ara, setidaknya hari ini dia memperlakukanku dengan sangat baik.
***
“Nay, sisir di mana, ya?”
Darahku langsung berdesir ketika mendengar suara Mas Iqbal. Dia cari sisir, itu artinya dia sudah selesai mandi. Aku yang tadinya sedang jongkok menata kado, segera berdiri dan menunjuk ke arah meja rias.
“Itu di pinggir kotak make up, Mas.”
“Oh, ini.”
Kulihat Mas Iqbal berjalan ke arah balkon untuk menjemur handuk. Jantungku mendadak berdetak lebih cepat, padahal Mas Iqbal tidak menunjukkan gelagat aneh. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini.
Sepertinya kami hanya akan tidur, kan? Namun, andai Mas Iqbal minta yang satu itu, mungkin aku akan langsung mengiyakan sekalipun sebenarnya aku lelah bukan main.
“Pemandangan di sini bagus, ya, Nay?”
Aku segera menyusul Mas Iqbal ke balkon. Malam ini kami memang pulang ke rumahku lebih dulu. Kami baru akan tinggal berdua kisaran tiga sampai lima hari kedepan.
“Emang bagus, Mas. Dulu sini kamarnya Mas Athar, terus begitu dia nikah, aku yang nempatin. Sekalian dicat ulang pakai warna yang agak girly.”
“Oh, gitu.”
Aku agak tersentak ketika Mas Iqbal tiba-tiba berdiri di belakangku lalu membalikkan badanku agar menghadapnya. Kedua tangannya seolah mengurungku, tetapi dia sama sekali tak menunjukkan ekspresi aneh.
“Kenapa, Mas?”
Mas Iqbal tampak menghela napas pelan. “Itu, Nay ...”
“Itu apa?”
“Kita kan menikah karena dijodohkan. Aku rasa, aku butuh waktu buat penyesuaian.”
Deg!
Penyesuaian?
“Penyesuaian yang mana ini maksudnya?”
“Ya semuanya. Terutama yang satu itu.”
Mataku menyipit. “Yang satu itu?”
“Aku akan menunggumu siap, dan mari kita jalan pelan-pelan.”
“Hah? Ini—“
“Tentang nafkah batin, atau kalau lebih dikerucutkan lagi, kebutuhan biologis suami istri.”
“Ah!”
Kenapa aku mendadak lemot begini? Aku rasa, wajahku saat ini pasti sudah memerah.
“Aku akan menunggumu siap, dan kamu enggak perlu memaksakan diri.”
Andai Mas Iqbal tahu, malam ini aku bahkan sangat siap, tetapi aku tidak mungkin terlalu jujur. Rasa maluku jauh lebih besar daripada rasa penasaranku tentang yang satu itu.
“Iya, Mas. Mari kita jalan pelan-pelan.”
Meski agak bingung, aku langsung tersenyum ketika Mas Iqbal tiba-tiba memelukku. Awalnya hanya pelukan biasa, tetapi lama kelamaan pelukan itu mulai mengerat.
Aku memejamkan mata, menikmati wangi sabun mandi yang menguar dari badannya. Ini adalah pelukan pertamaku dengan Mas Iqbal. Ternyata rasanya semembahagiakan ini. Benar-benar seperti mimpi.
“Mas, meluknya dilonggarin dikit. Agak sesak ...” lirihku pelan.
Mas Iqbal seketika melonggarkan dekapannya, lalu menunduk. “Maaf, Nay ...”
“Enggak perlu sampai minta maaf, sih.” Aku nyengir.
Berikutnya, kami berdua hanya saling menatap dari jarak yang sangat dekat. Jujur saja, aku berharap Mas Iqbal akan menciumku. Kalaupun tidak ada yang terjadi malam ini, setidaknya aku ingin suamiku mengambil ciuman pertamaku malam ini juga.
“Nay ...”
“Hm?”
Aku reflek memejamkan mata ketika Mas Iqbal memajukan wajahnya dan mengecup keningku. Hanya sebentar, kurasa tidak ada tiga detik.
“Ayo, tidur!” Mas Iqbal meraih tanganku dan segera menarikku masuk ke dalam kamar.
Sudah? Hanya itu saja?
Ciuman di kening jelas masih kurang. Aku ingin yang lebih.
Apakah hanya aku perempuan yang merasa seperti ini? Kenapa di sini seolah aku yang kebelet, sementara Mas Iqbal tidak? Bukankah biasanya suami yang berinisiatif lebih dulu dan istri akan malu-malu tapi mau?
Apa Mas Iqbal sebegitunya merasa tidak enak padaku? Dalih perjodohan harusnya tak membuatnya terlalu membatasi kontak fisik di antara kami berdua. Toh aku sudah setuju menjadi istrinya. Harusnya Mas Iqbal memiliki pemikiran kalau dia berhak atas diriku. Mau perjodohan atau tidak, aku sudah resmi menjadi istrinya.
Andai dia berinisiatif sedikit saja, aku akan langsung menyambutnya. Aku ingin dia tahu kalau sebenarnya aku tidak mau membuatnya menunggu. Istilah menunggu siap itu hanya anggapannya sendiri. Aku tidak perlu itu, tetapi sayangnya aku terlalu malu untuk berterus terang.
“Capeknya ini badan,” keluh Mas Iqbal begitu dia merebah di atas ranjang.
“Mau aku pijit, Mas?”
Mas Iqbal menoleh lalu menggeleng pelan. “Enggak usah. Kamu kan juga capek.”
“Enggak papa. Beneran, ini.”
Mas Iqbal tetap menggeleng, lalu menarikku untuk segera merebah di sampingnya. “Kamu tidur aja, Nay. Kita istirahat. Hari ini super melelahkan soalnya.”
“Ya udah, oke.”
Lagi-lagi eskpektasiku yang terlalu tinggi. Kupikir Mas Iqbal akan membawaku ke depannya, atau paling tidak kami tidur berhadap-hadapan dari jarak yang berdekatan. Tapi ini?
Mas Iqbal justru mundur seolah menjauh. Dia memang menghadapku, tetapi ini terlalu berjarak untuk ukuran pengantin baru.
“Mas, tidurnya enggak harus minggir banget gitu. Aku udah nerima Mas Iqbal, jadi dibuat santai aja. Ranjang ini sekarang milik berdua.”
“Iya, Nay.”
Mas Iqbal mendekat, tetapi tidak betul-betul mendekat sesuai keinginanku. Dia mulai memejamkan mata, dan tak berselang lama, aku sudah mendengar dengkuran halus keluar dari mulutnya.
Apa-apaan ini? Kenapa Mas Iqbal bisa langsung tidur sepulas itu di saat ada aku di sampingnya?
Aku kecewa, tentu saja. Malam pertamaku terlalu jauh di bawah ekspektasi. Aku bahkan tidak berharap lebih ke arah sana karena kondisi badan kami sama-sama sangat lelah, tetapi ini? Aku langsung ditinggal tidur!
Apa aku benar-benar tidak menarik di mata Mas Iqbal sampai tak membuatnya ‘ingin’ barang sedikit saja? Atau aku saja yang berlebihan?
***