12. Shut up, Clau!

1253 Words
POV Semeru  “Pak, saya kan nggak main tangan, kenapa saya dipecat? Dia loh yang nyiram muka saya pakai air sabun!” Salah satu karyawanku marah-marah saat kuberi sanksi pemecatan karena telah menghina Jemima. Jelas, aku akan melindungi Jemima, karena dia adalah asetku sekarang. Dan dia juga adalah calon istriku. “Kamu sudah menghinanya. Dan ingat, lidah bisa jadi lebih tajam dari sebilah samurai. Basah di wajahmu bisa kering saat ini juga. Tapi kata-katamu yang menghina Jemima, bisa diingat Jemima sampai kapan pun.” “Saya nggak menghina, orang nyatanya dia pela—“ Dengan gerakan mataku, aku meminta manajer resto untuk membawa keluar karyawan yang bermasalah ini. Aku tak inginembuang waktuku lebih lama dengan berdebat dengan perempuan itu. Kutengok Jemima yang sedari tadi menangis dan menumdukkan kepala. Aku berjalan mendekatinya yang duduk di sofa sejak tadi. “Sudah, jangan nangis,” pintaku. “Kenapa banyak orang memusuhi saya, Pak? Nggak di rumah, nggak dikerjaan, ada saja yang nggak suka sama saya. Apa salah saya memangnya?” Jemima semakin menangis tersedu. “Kamu nggak salah apa-apa. Sini.” Kudekatkan kepala Jemima untuk bersandar di dadaku. Jemima tidak menolak dan hal itu membuatku tersenyum. “Memangnya muka saya semenyebalkan itu ya, Pak?” Kali ini Jemima mendongakkan wajah yang membuat bibirnya begitu dekat dengan bibirku. Jika tidak sedang dalam situasi bukan seperti sekarang, sudah kumainkan bibir s*****l miliknya. “Iya memang,” jawabku untuk mengerjainya. “Berarti Bapak juga benci saya?” “Iya, betul. Soalnya kamu bikin saya b*******h,” jawabku yang seketika membuat Jemima memukul dadaku pelan. “Bapak kenapa m***m terus sih? Heran deh, saya.” “Nggak perlu heran, sebentar lagi juga kamu tahu seberapa mesumnya saya begitu kita sudah menikah.” Jemima menjauhkan tubuhnya dari dadaku. “Jadi Bapak serius mau nikahin saya?” “Kamu pikir saya bercanda, Clau? Kapan kamu bisa saya nikahi? Besok?” “Pak, ya ampun buru-buru amat sih?” protes Jemima. “Loh, memangnya kamu nggak mau hutangmu buru-buru lunas?” “Terus berarti kita akan menikah berapa lama?” tanya Jemima ragu-ragu. “Saya yang punya kuasa di sini, jadi semua terserah saya.” “Dasar egois!” omel Jemima. “Kenapa? Kamu berubah pikiran tidak ingin kunikahi? Terserah kamu itu sih, saya nggak akan maksa. Soal uang itu, itu hanya uang receh bagi saya,” kataku dengan seringai kecil. Sengaja aku berkata demikian agar Jemima tidak merasa aku benar-benar menginginkannya. “Iya, terserah Bapak kalau begitu.” Hatiku bersorak riang karena Jemima sudah memasrahkan dirinya. “Sini.” Lantas kupinta Jemima untuk duduk di pangkuanku. “Nggak mau, saya harus kembali bekerja, Pak. Juga, saya sudah terlalu lama di sini. Nggak enak sama karyawan lain.” Benar juga. Aku pun harus menjaga nama baikku di depan para karyawan lain. “Aku tunggu di apartemen kalau begitu. Kamu pulang sekarang saja.” “Tapi, Pak, masa saya pulang sekarang, nanti kalau karyawan lain tanya gimana?” “Bilang saja kamu saya pulangkan lebih awal sebagai sanksi. Nanti sisanya saya yang urus.” “Ya sudah. Tapi di apartemen kita mau apa? Bapak nggak akan macam-macamin saya kan?” “Kamu bisa masak?” tanyaku kemudian. Sebuah ide terlintas untuk bermain-main dengan Jemima di dapur saat dia sedang memasak. “Bisa, tapi masakan sederhana aja, Pak.” “Contohnya?” “Tumis-tumisan sama goreng telor paling.” “Ok, nggak masalah. Kamu masakin untuk saya nanti. Silakan kamu keluar, bilang ke manajermu dan teman satu shift-mu, kalau pulang awal karena dapat sanksi dari saya. Dan ini kartu akses apartemen saya. Kamu langsung masuk saja,” perintahku. “Baik, pak.” Jemima lantas mengangguk patuh dan meninggalkan ruangan ini. Kutinggalkan Steak House 30 menit kemudian setelah bicara tentang beberapa hal dengan penanggung jawab restoran. Aku sudah tak sabar ingin berduaan dengan Jemima. Harus kupastikan jika seminggu kemudian, dia sudah bisa kunikahi agar tubuhnya bisa segera kunikmati. Jemima sedang memasak saat aku pulang. Dia sudah mengganti seragam kerjanya dengan setelan kaus dan celana panjang yang menbuatku kecewa. Aku jadi tak bisa leluasa nanti. “Masak apa, Clau?” tanyaku sengaja berdiri di belakangnya untuk menghidu harum tubuhnya. “Tadi saya ke supermarket di depan, terus beli kangkung sama ayam. Semuanya habis 100 ribu. Nanti diganti ya, Pak,” kata Jemima yang menbuatku tertawa. “Jangankan 100 ribu, Clau. 100 juta pun saya kasih asal kamu mau melayani saya sekarang.” “Bapak mulai lagi. Kan Bapak udah janji nggak akan macam-macam sampai kita menikah. Lagian Bapak kan udah buktiin semuanya kan? Memangnya kurang bukti apa lagi?” Kudekatkan tubuhku hingga menempel pada tubuh Jemima. Lalu kudekatkan bibirku di terlinganya. “Saya mau lihat semuanya lagi, Clau. Saya mau melihatmu lagi sekarang tanpa sehelai benang pun.” Jemima seketika menghentikan gerakan tangannya yang sedang memotong perbawangan. Jemima lantas memutar tubuhnya menghadapku. Jemima terlihat kesal. “Bapak jahat! Katanya saya ke sini cuma disuruh masak. Tapi sekarang Bapak minta macam-macam. Saya mau pulang aja kalau gitu.” Jemima sudah bergerak maju untuk meninggalkan ruangan ini. Aku dengan cepat segera menahan tubuhnya. Tidak akan kubiarkan Jemima pergi dari apartemen ini sebelum menikmati tubuhnya meski bukan dengan b******a. “Ok, kamu masak sekarang, saya lapar,” kataku, agar Jemima membatalkan niatnya meninggalkan apartemen ini. Aku bisa membuatnya tak berdaya dengan sentuhanku dan Jemima dengan rela akan memamerkan tubuh polosnya padaku. Selama Jemima memasak, kuputuskan untuk berolahraga. Dengan tubuh bagian atas yang terbuka dan mengenakan celana training panjang, aku berlaari di atas treadmill. Aku harus mencari pelarian agar pikiranku tidak terpusat terus-terusan pada tubuh Jemima. Tubuhku sudah dipenuhi keringat saat Jemima memanggilku untuk menyantap hasil masakannya. Aku senang, karena selama beberapa detik, Jemima sempat terpaku menatapku. Tatapannya terfokus pada d**a bidangku. Masih dengan tubuh bagian atasku yang terbuka, aku menemui Jemima di meja makan. Dia lagi-lagi terpaku dengan tubuhku, namun berhasil mengalihkan fokusnya ke hal lain. “Bapak, nggak pakai baju dulu?” tanyanya begitu aku duduk. “Kamu terganggu dengan penampilan saya yang seperti ini, Clau?” “Tidak, bukan begitu, Pak.” “Ya sudah, karena kamu tidak terganggu saya akan tetap seperti ini sambil makan. Tolong ambilkan makanannya untuk saya!” Jemima mengangguk dan mulai mengambilkan makanan untukku. Masakannya cukup enak dan masih layak dimakan tentunya. “Kamu nggak makan?” tanyaku melihat Jemima yang tidak menyendok nasi untuk dirinya. “Saya belum lapar, Pak.” Aku mengangguk saja dan melanjutkan makanku. Tak sampai 10 menit aku sudah menghabiskan isi piringku dan kini sembari menunggu Jemima merapikan dapur, kuputuskan untuk mandi. Jemima sudah menungguku di depan televisi saat aku selesai mandi. Dia hanya duduk diam melamun lalu tersenyum tipis begitu melihatku. “Sini.” Kupinta dia untuk duduk di pangkuanku. Permintaanku yang tadi sempat tertunda di restoran. Jemima diam menatapku ragu-ragu. “Pak, saya pulang saja ya. Saya nggak mau kejadian di kamar terulang lagi.” “Sini, kita bicarakan pernikahan kita,” bujukku. “Kamu mau kapan?” tanyaku, sembari meraih tangannya dan membimbing tubuhnya agar bersedia duduk di pangkuanku. “Tidak apa-apa, saya janji nggak akan macam-macam. Sini,” bujukku lagi, saat melihat Jemima tak bergerak sedikitpun dari duduknya. “Tapi, Pak.” “Come on, Clau.” Kali ini kedua tanganku meraih tubuhnya dan dengan gerakan sedikit memaksa kubimbing dia untuk duduk di pangkuanku. Berhasil. Kini Jemima sudah duduk di pangkuanku. Aku sudah tak sabar ingin menjelajahi setiap inchi tubuh gadis ini. “Kamu bisa merasakannya, Clau?” “Bapak, tapi seharusnya——“ “Shut up, Clau. Nikmati saja,” kataku, sebelum membungkam bibirnya dengan ciuman panjang nan panas. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD