13. Papa dan Mama

1157 Words
POV Semeru Om Sena menghubungiku dan memintaku pulang karena Mama sakit. Aku terpaksa pulang hingga harus merelakan Jemima pulang lebih awal. Padahal tadinya aku ingin menahan gadis itu di apartemen semalaman, sampai aku bosan bermain-main dengan tubuhnya. Begitu kuparkirkan mobil di halaman rumah, Alia—adikku yang berbeda ayah, datang menyambut. Seperti biasa, dia akan memelukku begitu aku datang. “Kakak, kenapa baru ke sini lagi?” tanya Alia dengan nada protes. “Karena saya sibuk, Alia. Kamu pikir saya pengangguran?” tanyaku dengan sedikit tekanan di nada suaraku. “Kakak kenapa galak sekali.” Alia cemberut namun tetap menggandeng lenganku. Kami beriringan masuk ke dalam rumah, lantas menuju kamar pribadi Mama. “Mama sakit apa memangnya?” tanyaku sebelum mencapai pintu kamar. “Biasa lah, sakitnya orang tua. Sakit kepalanya, ternyata darah tinggi sama kolesterolnya kambuh,” jawab Alia. “Tapi nanti saya nggak bisa lama di sini. Papa Wisnu juga sedang sakit. Saya titip Mama ya, Alia.” “Jadi Kakak nggak akan nginap?” tanya Alia dengan ekspresi kecewa. Aku menggeleng cepat. “Enggak. Saya juga harus ke tempat Papa malam ini juga.” “Pasti Mama sedih sekali,” gumam Alia kecewa yang tak kutanggapi. Mama sedang tertidur saat aku msauk ke kamar. Alia duduk di sisi tempat tidur yang kosong, sementara aku duduk di bibir ranjang. Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya erat. “Ma, saya datang,” ucapku. Bisa kurasakan tangan Mama hangat sekali. Perlahan, Mama membuka mata dan seketika beliau tersenyum begitu melihatku. “Kamu datang, Ru,” ucapnya pelan. Wajah Mama terlihat pucat. “Mananya yang sakit, Ma?” tanyaku mengusap rambut Mama yang kini sudah dipenuhi uban. Mama menggeleng pelan. “Mama nggak sakit kok. Mama cuma kangen sama kamu.” Mama berusaha untuk duduk dan aku membantunya. “Iya, maaf ya, Ma, saya benar-benar sibuk jadi nggak bisa sering-sering ke sini,” kataku, sembari menciumi jari-jemari Mama. Mama menyentuh wajahku dan tersenyum teduh. “Mama sayang sama kamu, Ru. Mama nggak minta apa-apa dari kamu. Mama cuma minta kamu bisa terus menyayangi keluarga ini—terutama Alia.” “Mama kenapa bicara seperti ini? Saya pasti akan menyayangi kalian, juga Papa, karena kalian adalah keluarga saya. Sudah, Mama jangan bicara macam-macam, saya juga sayang sekali sama Mama,” pitaku pada Mama. “Kak Eru, kenapa nggak tinggal di sini saja, biar kita tinggal bareng-bareng lagi kayak dulu. Jadi kami bisa terus ketemu Kakak dan nggak ada lagi tuh drama kangen-kangenan.” Aku terdiam sejenak, sebelum menimpali kalimat Alia. “Maaf ya, Ma, kalau Semeru bicara seperti ini. Tapi kalau saya tinggal di sini sama kalian, nggak adil rasanya untuk Papa, sedangkan Papa tinggal sendirian.” “Tidak apa-apa, Mama paham kok, Ru.” Mama tersenyum, namun bisa kudengar jelas jika suaranya bergetar seperti menahan tangis. Tapi aku benar-benar tidak bermaksud ingin membuat Mama bersedih. “Ma, maaf sekali lagi. Saya nggak bisa lama-lama di sini, karena saya juga harus ke rumah Papa. Papa juga sedang sakit,” kataku berpamitan. “Iya, Nak, nggak apa-apa. Kami titip salam untuk Papa Wisnu ya. Semoga beliau cepat sembuh.” “Iya, Ma. Terima kasih. Mama juga cepat sembuh ya,” ucapku, lantas mengecup kening Mama. Alia kembali mengekoriku keluar dari kamar Mama. “Kakak, sebentar banget ke sininya. Baru juga 5 menit,” protes Alia. “Nanti pas weekend, saya ke sini lagi, Al.” “Janji ya, Kak. Nanti kita piknik bareng ke pantai kalau Kakak bener-bener ke sini.” “Iya, saya usahakan.” Tepat saat aku hendak membuka pintu mobil, Om Sena datang dengan sepeda motornya. Kutunda sebentar kepergianku, untuk menyapa Om Sena. “Kapan datang, Ru?” tanya Om Sena begitu turun dari motor. “Barusan, Om,” jawabku sembari menyalami beliau. “Tapi ini mau ke mana?” tanya Om Sena, menatap kunci mobil yang sedang kupegang. “Maaf, Om. Tapi saya sedang nggak bisa lama-lama di sini. Saya juga mau nengokin Papa yang kebetulan lagi sakit,” jelasku. “Begitu ya? Tapi kamu sudah ketemu Mama, kan?” “Sudah, Om. Tadi saya sudah ketemu Mama dan bicara sebentar.” “Ya sudah, hati-hati kalau begitu. Salam untuk papamu, semoga lekas sembuh.” “Baik, Om. Terima kasih,” sahutku, tersenyum kecil. Aku pamit dan menaiki mobil. Lima menit kemudian, aku sudah berada di jalan raya menuju rumah Papa—rumah masa kecilku dulu. Rumah yang lebih banyak meninggalkan kenangan buruk, dari pada kenangan indahnya. Samar, masih kuingat dulu Papa mengusir Mama karena Mama ketahuan sudah bermain api dengan Om Sena. Aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi saat itu. Aku tidak bisa mencerna semuanya. Aku pun belum mengerti bagaimana seharusnya aku bersikap. Tapi semakin dewasa, aku semakin paham, jika Mama benar-benar sudah jahat pada Papa juga padaku. Bagaimana pun kurangnya Papa sebagai kepala keluarga, bukan menjadi sebuah alasan bagi Mama untuk mencari cinta yang lain. Jujur dari hatiku terdalam, aku memang menyayangi Mama dan Om Sena, tapi aku juga membencinya. Benci yang tak bisa aku luapkan begitu saja, karena aku masih menghargai Mama sebagai ibu yang telah melahirkanku ke dunia ini. Perjalanan selama satu jam ke rumah Papa terasa begitu cepat sembari memutar ulang masa lalu. Rumah nampak sepi begitu aku datang dan kuparkirkan kendaraan di halaman rumah yang tak seberapa luas. Aku mempunyai kunci cadangan, sehingga bisa masuk dengan mudah. Benar-benar hening rumah ini dan aku segera menuju kamar Papa tanpa memanggilnya. Papa sedang tertlelap tidur begitu aku masuk ke dalam kamar. Dengkurannya cukup keras memenuhi ruangan ini. Kuhela napas melihat tubuh Papa yang sudah semakin kurus. Ketika kusentuh, tubuh Papa demam. Di atas nakas, sudah ada obat penurun demam, sisa bubur di mangkuk dan juga teko berisi air putih. Kuputuskan untuk mengompres Papa karena badannya masih demam. Setelah menyiapkan air hangat di dapur, aku mengompres Papa dengan handuk kecil yang kutemukan di laundry room. Aku juga akan memanggil housekeeper untuk membantu membersihkan rumah ini yang begitu berantakan. Aku pun sudah memesan bubur dan makanan lain untuk Papa. Papa terbangun, begitu kuletakkan kain kompresan di keningnya. “Papa makan lagi ya, setelah itu minum obat lagi,” kataku sambil memijati kakinya. Papa mengangguk, kemudian bertanya pelan. “Kamu kapan datang, Ru?” “Saya belum lama datang, Pa.” “Kamu sudah makan?” tanya Papa lagi. “Sudah, Pa. Papa nggak perlu pikirkan saya. Saya baik-baik saja dan sudah makan. Sekarang, kita fokus untuk kesembuhan Papa ya.” “Iya, Nak. Papa ini cuma demam kok, besok juga sembuh.” “Sudah, Papa tidur lagi saja. Nanti kalau makanannya datang, saya bangunkan. Papa makan, setelah itu minum obat.” Papa mengangguk, lantas tidur kembali. Aku masih mengompres Papa hingga mengganti air hangatnya sebanyak tiga kali, hingga akhirnya housekeeper dan paket makananku datang bersamaan. Kubangunkan Papa untuk makan. Kusuapi beliau dan kubantu untuk meminum obat. Papa kembali tidur setelahnya. Aku yang kelelahan, ketiduran entah berapa lama di sisi Papa. Hingga entah pukul berapa, Jonathan mengabari jika Jemima hampir mengalami pelecehan di klub. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD