11. Rumah Shinichi

1611 Words
Aroma makanan membangunkan Nicole dari tidurnya. Ia membuka matanya dan langsung menatap langit-langit ruangan yang terlihat rendah dan terang. Kepalanya menoleh ke sekeliling ruangan dan menemukan bahwa dirinya sedang berada di sebuah kamar asing yang tidak dikenalinya. Sontak Nicole terduduk dari tidurnya. Rasa nyeri di pergelangan kakinya mengingatkan Nicole akan apa yang terjadi. Hal terakhir yang diingatnya adalah Shinichi yang mengangkat nya masuk ke dalam taksi sebelum ia kemudian tertidur. Nicole mengusap dahinya. Plester di tangannya yang terasa kasar menggores kulitnya. Ia menyibak selimut lebih kebawah dan menatap pergelangan kakinya yang sepertinya sudah membaik. Sudah tidak terlihat lagi memerah atau membengkak. Gadis itu mencoba menggerakkannya. Hanya sedikit rasa menekan, tapi tidak terlalu parah. Yang kemudian membuat Nicole kesal karena Shinichi benar. Lukanya tidak terlalu parah. Nicole mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tidak banyak perabotan di dalamnya. Hanya matras di atas tikar yang diletakkan di tengah ruangan. Meja kabinet dengan sebuah tanaman anggrek diatasnya. Dua buah lampu kecil di sisi kanan dan kiri matras, menyala redup dengan sinar berwarna kuning, dan beberapa bantal alas duduk mengeliingi meja kecil di dekat matrasnya. Kamar yang jelek. Nicole mendesah, benar-benar berbeda dengan kamar megahnya di Metro yang bersandingan dengan kolam berenang milik keluarganya. Menyedihkan sekali nasibnya. Mengapa Daddy dan Mommy tidak bisa mengirimkannya untuk tinggal di resort mewah sementara menunggu keadaan aman sih? Betapa Nicole merindukan kamarnya sekarang. Dan ponselnya. Suara orang yang bercakap-cakap di depan mengalihkan perhatian Nicole. Perlahan ia berdiri dari kasur dan merambat menuju pintu geser. Menggunakan dinding rumah, perlahan merayap keluar dari kamar. Kakinya yang terkilir masih sedikit terasa sakit ketika ia berjalan, tapi tidak separah sebelumnya. Ia berhasil melewati lorong yang ada di depan kamarnya menuju ke ruangan dimana suara percakapan terdengar. Begitu berada di depannya, gadis itu menghentikan langkah di pinggir pintu dan menguping. “Baru saja sehari ia bersamamu, kau sudah berhasil membuatnya tangannya lecet-lecet dan kakinya terkilir,” suara seorang wanita terdengar berbicara. “Ayahnya akan membunuhmu jika kau tahu putri kesayangannya kau perlakukan dengan kasar.” “Hei bukan salahku, Oba-san. Dia sendiri yang tidak hati-hati dan terjungkir balik dari tangga pesawat,” balas sebuah suara bariton seorang pemuda yang dikenali Nicole sebagai suara Shinichi. “Hishh… mengapa kau tidak menggandengnya kalau begitu? Kau sendiri yang pernah bercerita betapa cerobohnya gadis itu.” “Menggandengnya? Memangnya aku susternya?” Tidak tahan lagi mendengar dirinya diejek, Nicole menyerbu masuk. “Aku tidak ceroboh! Dan aku bukan bayi yang butuh suster!” Nicole menjerit dengan bahasa Jepangnya yang sempurna. Alis gadis itu berkerut kesal menatap kearah Shinichi dan seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di dekat kompor yang ada di ujung ruangan Keduanya membelalak kaget melihat kemunculan Nicole dari balik dinding. Sang wanita separuh baya itu buru-buru melepaskan sendok kayu yang ada di tangannya masuk ke dalam panci, dan menghadap ke arah Nicole sepenuhnya sambil membungkuk dalam-dalam. “Eh… ah... maafkan aku, Salazar-san,” wanita itu berkata dengan wajah malu. “Aku tidak menyangka bahasa Jepangmu sangat bagus.” Nicole membenahi cemberut di wajahnya akan pujian dari wanita itu. “Terima kasih, Oba-san. Aku belajar bahasa Jepang sejak kecil. Mommy mengatakan bahwa aku akan membutuhkannya kelak. Kurasa ia benar. Dan panggil saja aku Nicole.” “Ah.. Baiklah, Nicole. Namaku Yukio. Senang berjumpa denganmu.” Wanita itu membungkuk sekali lagi, yang kali ini di balas oleh Nicole dengan cara yang sama. “Sini, sini. Duduklah dulu. Biar aku siapkan makan malam untuk kalian,” lanjut wanita itu sambil menunjuk ke arah spon alas yang ada di dekat meja. “Kau juga, Shin. Duduk!” perintahnya ke arah Shinichi yang masih berdiri di dekat kompor. Keduanya menurut dan dengan wajah enggan duduk berhadapan di meja kecil yang ada di lantai. Tidak terdengar suara apapun dari keduanya yang kini saling berpandangan. Nicole masih merenggut sambil melotot ke arah Shinichi yang balik menatapnya dengan pandangan datar. Beberapa menit mereka melakukan adu pandang hingga akhirnya Shinichi menarik nafas dan mengalah. “Bagaimana kakimu?” tanyanya. Nicole tidak langsung menjawab. Ia masih merasa kesal dengan celetukan pemuda itu yang menganggapnya ceroboh bak anak kecil. “Baik,” balasnya singkat. “Tanganmu?” “Sama.” “Oh… baguslah.” “Bagaimana aku sampai di rumah ini? Rumah siapa ini?” tanya Nicole. “Rumahku. Kau tertidur di taksi. Aku tidak ingin membangunkanmu, jadi aku menggendongmu masuk.” “Oh…,” timpal Nicole pelan. Ia mulai menurunkan perisainya dan mengalihkan pandangannya ke wanita yang kini mendekat dengan senampan makanan diatasnya. Wanita itu meletakkan mangkok-mangkok dari nampannya keatas meja satu persatu sambil tersenyum. Mengenakai pakaian tradisional Jepang kimono, wanita itu lalu ikut melipat lututnya di sebelah Nicole. “Makanlah, kau pasti lapar,” jelas wanita itu sambil masih mengembangkan senyumannya ke arah Nicole. “Oh…terima kasih Oba-san. Kau adalah pelayan rumah ini?” tanya Nicole. “Jangan kurang ajar, Missy,” Shinichi menghardik. “Oba-san sudah kuanggap keluarga ku sendiri. Ia bukan hanya seorang pelayan.” Wajah Nicole langsung merah padam mendapat hardikan dari Shinichi. Tidak ingin menyinggung Yukio, Nicole langsung meminta maaf sambil menunduk. “Maaf, Oba-san. Bukan maksudku untuk menyinggung—” “Ah sudahlah…,” Yukio menimpali. “Aku memang digaji untuk bekerja membereskan rumah ini, kalau tidak sudah pasti rumah ini akan penuh tikus dan kawan-kawannya. Lihat saja seperti apa joroknya Shinichi.” Wanita itu menunjuk ke arah Shinichi yang duduk di depan Nicole. “Dia belum juga mandi dari pagi. Alasannya toh ia tidak kemana-mana, jadi bisa sesuka hatinya bermalas-malasan,” wanita itu melanjutkan omelannya. Nicole tertawa kecil melihat wajah Shinichi yang mendelik. Buru-buru pemuda itu bangkit berdiri dan berjalan kesal keluar dari dapur. “Nah kan… kalau sudah begitu lalu dia akan marah… dasar!” lanjut Yukio. “Tapi aku juga belum mandi, Oba-san,” Nicole membisik pelan. Ia menyukai Yukio. Wanita itu mengingatkannya akan Maria, pelayan yang sudah bekerja puluhan tahun kepada keluarganya. “Kamu adalah tamu di rumah ini, jadi tenang saja, Nicole. Sekarang... yuk makan lah dulu.” Yukio mendorong senampan makanan ke hadapan Nicole. “Kau tidak makan?” Air liur Nicole sudah mengumpul melihat aroma masakan yang ada di depannya tapi ia merasa sungkan untuk mulai makan sendirian. “Aku sudah makan tadi. Tenang saja dan nikmati makananmu, ok? Aku berbenah dulu di belakang.” Wanita itu bangkit dan berjalan kembali ke arah kompor. Melihat itu, tanpa sungkan Nicole meraih sumpit yang ada diatas nampan dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Sambil mengunyah, Nicole menatap ke arah Yukio yang kini sibuk mencuci panci dan piring kotor. “Dirumah ini hanya kalian berdua?” tanya Nicole memecah kesunyian. “Ya… Tapi aku libur Sabtu dan Minggu lalu kembali lagi Senin. Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian hingga minggu di kulkas. Jadi bisa tinggal di panasi saja.” Ucapan Yukio langsung membuat Nicole tersedak. “Apa?!? Jadi setiap Sabtu dan Minggu hanya akan ada aku dan... dan... berandalan itu? Dimana paman nya? Atau orang dewasa yang lain? Mengapa aku ditinggalkan hanya berdua dengan pria m***m itu?” “m***m?” pelotot Yukio sambil menoleh. “Apa maksudmu, Nicole?” “Benar sekali, Oba-San. Ia menciumku dengan paksa di pesawat lalu mengikat tangan dan menyumpal mulutku ketika kita berada di motel kemarin,” lapor Nicole. “Apa?!” Wanita itu langsung meraih sebuah sendok kayu panjang dan berjalan keluar dari dapur. Sesaat terdengar bunyi gedoran di pintu disusul dengan suara Shinichi yang diikuti oleh bunyi gedubrak gedubrak dan teriakan keduanya. Nicole mengerutkan dahinya menunggu di ruang makan. Ketika akhirnya Yukio kembali ke ruangan, telinga Shinichi melekat di tangan kanan wanita itu, menjewer sambil menyeret pemuda itu. “Apa-apaan…, Oba-san… Sakit!” teriak Shinichi berjalan mengikuti tarikan tangan perempuan yang hanya setinggi dadanya itu. Nicole membelalak menatap Shinichi yang hanya berbalut handuk sepinggang, menampilkan tubuhnya yang kekar dengan jelas. Ia kini bisa melihat bahwa pemuda itu memiliki tato bergambar naga merah yang mengular dari punggung hingga ke sebagian lengan kirinya. “Minta maaf pada Nicole!” Yukio membentak. “Apa? Mengapa? Aku tidak melakukan apa-apa,” protes Shinichi meringis. “Kau berani menciumnya dengan paksa?!” Yukio mengayunkan sendok kayu di tangannya ke lengan pemuda itu. PLAK! “Bocah kurang ajar!” Yukio berteriak. “Aw!! Oba-san... Bukan salahku! Gadis itu sendiri yang menantang!” PLAK! “Masih juga beralasan?” Yukio tidak memberi ampun. PLAK PLAK! Dua tamparan sendok kembali mendarat kali ini ke punggung Shinichi. “Baik…baik aku minta maaf. Maafkan aku sudah menciummu,”ucap Shinichi ke arah Nicole yang masih membelalak menatap apa yang terjadi di hadapannya. Bagaimana mungkin pria dengan badan sebesar itu rupanya kalah pada sebuah sendok kayu? Nicole tertawa kecil dalam hati. Tapi tidak ingin melepaskan Shinichi semudah itu. Masih dengan wajah pura-pura cemberut, Nicole menjawab, “Tidak bisa. Kau sudah melecehkanku.” “Itukan hanya sebuah ciuman. Selain itu, aku tidak melakukan apa-apa…,” elak pemuda itu. “Apakah karena aku merampas ciuman pertamamu makanya kau marah?” Nicole mendelik seketika. Dari mana Shinichi tahu ia belum pernah berciuman dengan siapapun? “Bagaimana kau bisa… Arg! Siapa yang bilang aku belum pernah ciuman? Aku sudah berkali-kali berciuman.” Tidak ingin dianggap kampungan Nicole mengelak. “Aku memiliki kekasih, tahu!! Oh hal itu mengingatkanku. Aku perlu menghubungi Daddy dan Jayden. Pinjami aku telepon!” Shinichi meronta lepas dari jeweran Yukio hingga wanita itu mengalah. Sambil mengusap telinganya yang memerah, Shinichi menjawab, “Baiklah aku pinjamkan untuk menelepon keluargamu. Tapi tidak untuk menghubungi pacarmu.” Tidak menunggu protes lebih lanjut dari Nicole, Shinichi bergegas keluar dari dapur. Tak lama ia muncul kembali ke dapur, sudah mengenakan sebuah jubah panjang bertali di pinggang yang bernama yukata, dan sebuah ponsel di tangan. “Nih,” Shinichi melemparkan benda di tangannya ke arah Nicole. “Di Metro pasti sudah pagi sekarang. Sana hubungi ayahmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD