Si Paling Berkuasa

1115 Words
Kantuk hebat yang membuatnya terlelap lebih cepat. Dia tidak akan pernah bisa menduga-duga bagaimana kehidupannya di rumah keluarga Valentino. Sedangkan Steve masih berjuang untuk luka yang menganga lebar. Dokter Antony telah datang dan mengobatinya, beruntung bukan luka tembak serius. Tetapi sebagai akibatnya dia harus berjalan dengan bantuan tongkat. "b*****h. Aku akan membuat perhitungan denganmu, Lex," sumpahnya. "Tunggu, tunggu. Alex yang melakukan semua ini?" Esma menyahut. "Menurut Ibu siapa lagi yang punya kuasa penuh di rumah ini?" timpal Marry dengan cepat. "Dan bukankah dia selalu begitu?" wajah Marry menunjukkan ketidaksukaannya. "Ibu masih tidak percaya dengan perlakuannya padamu. Mengapa dia menembak sampai kamu terluka?" Esma kembali penuh tanya. Steve hanya terdiam dengan tatapan acuh. Dia memandangi kakinya yang sedang dibalut perban. "Cuma Alex kan, Bu, yang bisa memperlakukan manusia seperti binatang. Lihat saja dia sekenanya sendiri menembak Kakak tanpa pemikiran, harusnya dia tidak gegabah." Marry kembali nyerocos. Dia adalah orang pertama yang sangat membenci Alex. Walaupun pria itu sangat tampan, tidak berlaku di mata Marry. "Jawab, Steve. Apa yang kau lakukan sampai Alex begitu marah?" Esma menuntut penjelasan. "Yah. Aku hanya kepergok masuk ke dalam kamar Casi dan dia marah besar," ujar Steve dengan santainya. "Apa? kau sudah gila ya?" Esma terkejut. "Jika saja wanita jal*ng itu tidak berteriak dan tetap diam mengikuti kemauanku. Apa yang salah dengannya? Terakhir kali bertemu dia justru menyambut kedatanganku," gerutu Steve kesal. "Tentu saja Alex marah, Steve. Jangan ceroboh. Wanita itu masih istri sahnya. Lagi pula apa tidak ada wanita lain yang menarik bagimu sampai-sampai kau menyentuh milik Alex. Beruntung kali ini nyawamu masih tertolong," balas Esma memarahi putranya. Esma tahu betul karakter Alex. Dia tidak suka barang miliknya disentuh orang lain. Bahkan Anak tirinya itu tak segan-segan bertindak kasar. "Ayolah, Bu. Jangan Paranoid. Aku hanya bersenang-senang. Ibu tahu sendiri aku tidak pernah serius dengan wanita," balas Steve membela diri. "Jadi dia sudah kembali? Sejak kapan?" Marry menyahut. "Entahlah. Aku tak yakin. Tetapi sepertinya baru hari ini. Aku tak sengaja melihat Robin membawanya di koridor ruang kerja Alex," jawab Steve. "Kita lihat. Apa si pembuat masalah itu hendak mencuri uang Alex kembali. Cuih, betapa tidak tahu malu," singgung Marry. Ia dan Casandra adalah musuh bebuyutan. keduanya kerap kali membuat gaduh dan berseteru. Marry sangat membencinya. Steve hanya tersenyum licik. Dia pun sedang menyusun rencana dalam otaknya. pikiran kotornya itu tidak pernah kapok berulah. Dia telah tergoda dengan rayuan Casandra saat Alex tak sedang di rumah. "Lihat saja. Aku akan memberinya pelajaran karena telah membuatmu terluka," kata Marry sambil mengarahkan pandangannya pada Steve. "Marry. Jangan gegabah. Kau harus berhati-hati. Wanita ular itu tidak bisa kita remehkan. Jika saja dia masih bisa kembali ke rumah ini walaupun telah mencuri uang perusahaan, berarti wanita itu punya seribu tipu muslihat untuk mempengaruhi Alex. Dan bodohnya Alex mudah tertipu," selidik Esma. "Tenang saja, Ibu. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk membuat perhitungan dengannya," sahut Marry dengan senyum mengembang. "Good girl," puji Esma. *** "Non, Bangun." Suara lembut Bibi Mae mengejutkan Elena yang masih tertidur pulas. "Ya, Bi," jawabnya sambil mengerjap-ngerjap. Sudah jam enam pagi. Dia tidur nyenyak sekali. Elena terlihat lebih bugar karena istirahat cukup. Biasanya dia akan begadang setiap malam untuk menjaga Ibunya. . "Non. Non Casi sudah bangun? Tuan Alex menyuruh saya untuk membangunkan Anda," kembali suara Bibi Mae terdengar. Elena turun dari ranjang dengan malas dan membuka pintu kamar. "Ada apa, Bi?" "Maaf, Nona. Tuan meminta anda menyiapkan segala keperluan Tuan dan sarapan," ucap Bibi Mae sopan. "Hah?" Elena terkejut. Dia lupa jika sekarang posisinya sebagai istri. "Bi. Apa Casandra biasanya juga begitu?" Bibi Mae menatap Elena setengah bingung. "Oh Maksudku, apa biasanya Alex juga menyuruhku begitu? aku sedikit lupa dengan kebiasaannya." Buru-buru Elena menimpali. Sadar seharusnya dia tak bertanya. "Tidak, Non. Tuan tidak pernah meminta. Tetapi pesan Tuan, mulai sekarang semua keperluannya menjadi tanggung jawab Anda," jelas Bibi Mae dengan sabar. Elena menghela napas panjang. ini akan menjadi hari yang panjang baginya. "Baiklah, Bi. Katakan pada Alex aku segera bersiap dan turun," jawab Elena malas. Bibi Mae mengangguk dan kembali menyampaikan pada majikannya. Sedangkan Elena bergegas mandi dan berganti baju dengan warna kalem, juga tak lupa sedikit memoles wajahnya. Saat ini juga dia harus menanggalkan namanya bukan? dan memerankan sosok Casandra. Setelahnya dia menuju ke ruang makan dan menjumpai Alex telah rapi menunggunya. Setelan jas berwarna navy sangat cocok di badannya. Perawakan tegap membuat ia terlihat jauh lebih maskulin. "Mulai sekarang kau harus belajar disiplin, Cas. Bangunlah lebih pagi dan siapkan sarapan," ucap Alex sambil membuka-buka berkasnya. "Kau ingin ku buatkan apa? sarapan ringan atau berat?" sela Elena cepat tak ingin berlarut-larut. Alex terhenti dan mendongakkan wajahnya. "Ringan," jawabnya singkat. Matanya tak berkedip melihat penampilan Elena yang sangat Feminin. Dia memadukan atasan blouse tanpa lengan dengan celana jins berukuran lebar. Bahkan rambutnya ia ikat seluruhnya kebelakang seperti kuncir kuda. Penampilan baru dan sangat fresh. Make up nya natural dan sangat cocok dengan gayanya. Alex ingat betul, Casandra sering memakai riasan tebal. Melihatnya begini, lelaki itu semakin terkesima. "Baiklah. Aku segera kembali." Jawaban Elena menyadarkannya. "Jangan terlalu lama. Aku sudah telat. Aku tak mau waktuku terbuang sia-sia," tambah Alex membuat Elena mencibir. Wanita itu pun segera memasak di dapur dengan sigap. Walaupun Elena hidup pas-pasan. Tetapi beruntung dia memiliki teman-teman yang loyal padanya dan sering mengajaknya main. Jadi dia tidak jarang menemui dapur-dapur dengan peralatan canggih di rumah temannya. Elena tidak canggung lagi dan bisa mengoperasikan berbagai macam perabotan. Dia membuat pasta carbonara untuk sarapan dan sandwich isi daging untuk bekal Alex. "Makanlah," ujar Elena saat menghidangkan makanan. Alex terkejut dengan makanan dihadapannya. sejenak matanya menyelidik. Casandra tidak bisa memasak. Untuk ke dapur saja ia sangat malas. "Bibi Mae," panggil Alex keras. "Ya, Tuan," jawabnya. "Apa Bibi membantunya memasak makanan ini?" tanya Alex langsung. Elena hanya berdecak dan bersidekap. Alex telah meremehkannya. "Kau pikir hanya dirimu yang bisa melakukan semua hal?" timpal Elena tak sabar. Dia benci lelaki yang suka merendahkan. Alex terdiam dan menunggu jawaban Bibi Mae. "Tidak, Tuan. Nyonya melakukannya sendiri. Saya sedang menyiapkan keperluan Den Jordan," balasnya jujur. Tangan Alex mengibas ke udara, dan dia mengangguk. Kode agar Bibi Mae kembali ke pekerjaannya. "Aku pikir Kau tidak akan bisa melakukan apapun, Casi," tambah Alex. Elena tak menghiraukan. Dia menyodorkan sekotak bekal lengkap dengan minumannya dihadapan Alex. "Ini untuk makan siangmu." Tanpa sepatah kata lagi, Elena berbalik dan hendak meninggalkan Alex. "Siapa yang menyuruhmu pergi? aku belum selesai," Alex meninggikan nada suaranya. Elena tersentak. "Bukankah aku sudah melakukan tugasku?" "Duduk!" perintah Alex. Elena tak bergeming. Dia semakin kesal diperlakukan seenaknya. "Haruskah aku menemanimu seperti anak kecil?" balasnya. "Ku bilang duduk!" suara Alex semakin melengking. Brak Dia bahkan menggebrak meja. "Di rumah ini tidak ada yang boleh melawan perintahku. termasuk Kau!" hardiknya sambil mengacungkan jari telunjuk tepat ke muka Elena. bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD