Pertolongan Datang

1134 Words
"Lihat kan? tidak ada siapapun yang akan datang menolongmu," ledek pria itu sembari mengeraskan tawanya. Sekuat tenaga Elena kembali menggaungkan nama yang sangat dibencinya. Tidak ada pilihan lain. Di rumah besar itu, hanya dia yang ia tahu. "ALEX....." Brak Pintu terbuka lebar. Muncul wajah garang Alex dengan mata berapi-api. Elena menghela napas lega. seperti ada oase di Padang pasir yang ia temukan. Tanpa aba-aba, Alex seketika menghujami pria itu dengan beberapa pukulan keras. hingga Elena bisa melihat dengan jelas darah segar mengalir dari sudut bibirnya. "Kurang ajar kau, Steve. Beginilah kelakuanmu di belakangku?" hardik Alex masih dengan amarah membara. Pria yang dipanggil Steve itu masih tersenyum sinis. Dia tak sadar bahaya sedang mengintainya. "Apa kau buta, Lex. lihatlah, bahkan istrimu sendiri sedang menikmatinya. Ya kan, Sayang?" Steve mengalihkan pandangannya dan memberi kedipan pada Elena. Seketika Elena hanya bergidik jijik. Alex bisa melihat dengan jelas kali ini istrinya tidak gatal dan justru meminta tolong padanya. "Mungkin kau perlu diberitahu dengan cara kasar, Steve. Agar tahu bagaimana caranya bersikap di rumahku." Alex memberi penekanan saat mengatakan kata Rumah. Seolah memberi isyarat dialah yang berkuasa disini. "Cuih. Persetan dengan aturanmu," hina Steve sambil meludah. Dada Alex semakin sesak. Darahnya menghangat. Ada yang telah hangus terbakar. Yaitu kesabarannya menghadapi Steve. Dia sudah tahu sejak lama jika Steve menyukai Casandra dan selalu mencari celah untuk mendekati istrinya. "Baik. Jika itu yang kau mau." "Kenz...Frank! bawa kemari senjata itu untuk melumpuhkan si mulut besar ini," lanjut Alex memerintah dua bodyguard-nya. Steve hanya memandang Alex datar. Dia mengira saudaranya itu hanyalah membual. "Apa kau benar-benar anak Mama? untuk menghadapi aku saja kau selalu butuh mereka berdua?" ledek Steve. Alex masih tak beranjak. Dia hanya memandang Steve dengan kebencian. Elena yang menyaksikan hanya menggeleng pelan. Dia tidak tahu Casandra hidup dilingkungan yang kasar dan banyak permusuhan. Elena bergerak perlahan menjauh dari kedua pria dihadapannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening. mungkin karena sejak dibawa kemari oleh pamannya dia belum makan sama sekali. "Diamlah!" bentak Alex. "Ayolah, Lex. Jangan menjadi lelaki kaku macam ini. Aku hanya kebetulan saja salah kamar memasuki kamar istrimu. oke? nah sekarang biarkan aku pergi," ujar Steve santai sambil mengusap bercak darahnya. Alex masih menghadang. Dan kedua pengawalnya datang membawa senjata Laras panjang. Seketika Steve terkejut. "Pegang dia," perintah Alex. Frank dan Kenzi dengan sigap memiting tangan Steve ke belakang dan menekan badannya sampai tak berjarak dengan lantai. "Hei. apa yang hendak kalian lakukan?" teriak Steve. "Lihat? sekarang siapa yang ketakutan. Apa kau akan memanggil Mamamu untuk menenangkan?" ledek Alex balik. "Apa yang kamu lakukan dengan benda itu?" tiba-tiba Elena menyahut. Dia sangat ngeri hal ini terjadi di kamarnya. "Tidak perlu ikut campur, Casi. bukankah kau sendiri yang meminta tolong padaku tadi?" cibir Alex. "Jangan main-main, Lex. Ini hanya salah paham kecil saja. Kenapa kau begitu sensitif. Aku janji tidak akan kemari lagi," bujuk Steve. Sadar lelaki itu tak akan bisa dihentikan. Frank dan Kenzi berbadan besar. tentulah sangat sulit bagi Steve untuk memperdayai mereka. Sedikitpun Alex tidak mengindahkan perkataan Steve. Dia hanya tersenyum dingin dan melangkah mendekati tanpa bersuara. Dor Dor Alex melepas tembakan dua kali pada kaki Steve. Tepat di bagian betis dan mata kaki. Dia sengaja melakukannya agar pria itu jera. "Aaaargh...." Steve pun melolong panjang menahan panas dan perih di kakinya. Sebuah timah panas telah merobek tulang dan dagingnya. Darah mengucur deras melewati celah kulitnya yang koyak. "Bawa dia keluar dari sini," ucap Alex datar. Kenzi dan Frank pun menyeret Steve keluar dari kamar Elena dan meninggalkannya di ruang tengah. Steve hanya merem melek menahan rasa sakit di kakinya. "Awas kau, Lex. aku tidak akan tinggal diam," gerutu Steve. "Ibu...." pekiknya. Tak berselang lama, Esma datang bersama dengan putrinya, Marry. Dia segera berlari dan berusaha menutup darah yang meluap dari kakinya dengan kedua tangan. "Kak Steve?" Marry tak kalah terkejut. Badannya tergeletak begitu saja dan wajahnya bonyok. "Oh tidak. Anakku! Apa yang terjadi padamu?" Esma sangat panik. "Sudahlah, Bu. Cepat bantu aku berdiri dan obati kakiku," ucap Steve mulai kesal. Esma pun bergegas membawa Steve ke kamarnya agar ia lekas diobati. "Marry. Cepat hubungi Dokter Antony. Darurat. sekarang!" perintahnya gelagapan. Marry mengangguk dan lekas mengambil ponselnya. Dia masih tidak menyangka dengan keadaan kakaknya. pasti pelakunya Alex. siapa lagi? Sementara itu, Elena diam mematung di kamarnya. Syok dengan pemandangan barusan. Alex menembak orang itu tepat didepan matanya, dan tanpa pikir panjang. "Kau tidak apa-apa?" Alex membuyarkan pikiran Elena. "Eh? oh ya. Aku baik-baik saja," jawabnya terbata. Alex bisa melihat ketakutan di sorot matanya. Casandra tidak pernah merasakan takut pada apapun. Bahkan dia terbiasa menyaksikan kekejaman Alex. "Apa kau terluka, Casi?" tanya Alex hendak menyentuh lengan Elena. Tiba-tiba dia melunak. Tak sampai hati melihat ketakutan istrinya. "Tidak. menjauh dariku, pergilah! aku baik-baik saja," respon Elena dengan cepat. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Mengingat Lelaki dihadapannya ini seperti singa. "Kenapa denganmu? Apa kau baru saja mengalami kecelakaan tanpa sepengetahuanku? sikapmu selalu saja berubah-ubah," keluh Alex. Lelaki itu kembali menampakkan kekesalannya. Elena baru tersadar jika keterkejutannya barusan memantik rasa curiga Alex. "Yah. seperti kau tahu. Aku mulai muak tinggal di rumah ini. Alasan apalagi yang harus ku katakan padamu? bukankah kau sudah tahu aku segera ingin bebas?" Elena kembali mengatur nada bicaranya. Alex berdecak pelan. Menyayangkan sikap istrinya yang tetap saja plin-plan. "Kau seharusnya malu, aku telah menolong dan inikah balasanmu? coba pikir sendiri bagaimana jadinya jika aku datang terlambat?" gerutu Alex. Elena hanya membuang muka. Bagaimanapun dia memang harus bersyukur Alex datang tepat waktu. Jadi lelaki hidung belang itu tidak menodainya. "ingat, Cas. kau harus patuh dan bersikap baik padaku, jika ingin segera bebas. Setelah itu, aku akan tanda tangani surat cerai kita," lanjut Alex. Mendengar kata cerai seperti ada tiupan angin segar masuk ke dalam kamarnya. Elena menyunggingkan senyum. Alex semakin mencibirnya. bahagia betul hidup Casandra tanpa dirinya. "Ya. akan ku lakukan. sekarang bisakah kau keluar? aku sangat lelah," keluh Elena. Alex segera membalikkan badan dan hendak meninggalkan kamar istrinya sebelum ia berbalik lagi. "Cas. Jauhi Steve. Jangan cari gara-gara dengannya. Aku tidak akan membantumu lagi," tutupnya. "Aku tidak pernah mendekatinya. Dia tiba-tiba masuk dan mengunci kamarku," bantah Elena. "Lalu kenapa kau ijinkan?" Alex cemburu. Tentu saja. Dia masih mencintai istrinya. "Percuma bukan aku jujur padamu jika reaksimu seperti ini. Belajarlah memahami istrimu sebelum mendahulukan emosimu," singgung Elena tiba-tiba. Alex terdiam. Dia hanya memandang bola mata Elena dengan seksama. Tatapan itu begitu lembut. berbeda dengan mata tajam Casandra biasanya. "Aku tidak akan keras jika kau memahamiku sedikit saja," balas Alex. Kemudian pria dingin itu melangkah pergi meninggalkan kamar Elena dengan cepat. Elena segera merebahkan tubuhnya ke ranjang. Dia tak ingin memikirkan kata-kata Alex barusan. Tentu dia tak faham, dia bukan istrinya. Baru sehari kepalanya sudah pening. tinggal di kediaman Valentino justru membuatnya gelisah. Tetapi siapa Steve dan mengapa Alex sangat membencinya? "Aku harus mencari tahu tentang keluarga ini. siapa lawan dan siapa kawan," gumam Elena setengah terpejam. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD