Aku Bukan Casandra

1421 Words
"Menghukumku? Begitukah caramu mempermainkan wanita?" sela Elena tertawa miris hingga tamparan keras kembali mendarat di pipi kanannya. Gadis itu pun semakin meringis kesakitan. Belum reda nyeri bekas tamparan tadi yang ia rasakan, kini ditambahkan lagi oleh Alex dengan kejamnya, tanpa menghiraukan bahwa dia adalah seorang wanita. "Lelaki macam apa dia. Kenapa dia tega sekali berbuat kasar padaku?" gumam Elena menahan rasa kesal atas perlakuan Alex terhadapnya. "Kau harusnya sadar, Casi. Kelakuanmu sudah kelewatan. Aku tidak akan bertindak kasar jika kau mau mendengarku sedikit saja, bisamu setiap hari hanya menghabiskan uang." Alex tak menjawab pertanyaan Elena. Dia terus menekan gadis itu dengan suara beratnya. Alex tak percaya dengan pemikiran Casandra yang labil. Dia selalu bertindak lupa ingatan setelah berbuat onar. "Sudah sering sekali aku memaklumi kesalahanmu, kali ini aku tidak akan tinggal diam. Semakin aku memaklumi semakin kau menjadi-jadi dan tak tahu aturan. Mulai sekarang kau harus belajar disiplin." Pintu ditutup dengan keras. Dan, terdengar suara kunci diputar dari luar. Pria itu benar-benar menguncinya dalam gudang pengap dan bau sendirian. Kenyataan itu membuat tubuhnya merosot ke lantai yang dingin tanpa alas. Air matanya luruh seketika. "Tahan, Els. Semua ini demi ibu, semua akan segera berakhir. Kau hanya perlu bertahan," ucapnya bermonolog. Baru saja lima jam yang lalu sang Paman mendatanginya. Dengan tuntutan juga iming-iming uang untuk biaya pengobatan sang ibu yang menderita tumor otak. Dia harus mau memerankan sosok orang lain dalam dirinya yang tak lain adalah saudari kembarnya yang sudah lama tak ia jumpai. "Tapi aku bukan Casandra, bisakah aku bertahan dengan lelaki kejam itu?" bisiknya lagi. Bertahun-tahun ia pun tak pernah bertemu Robin, hanya mendengar dari cerita sang ibu. Sejak kematian ayahnya, ia dan ibunya dikucilkan. Entah apa salah mereka, keluarga besar ayahnya enggan bertemu dan memutus kontak. Namun, tiba-tiba pamannya datang dan memberinya perintah tanpa boleh dibantah. Pilihannya dia harus mau melakukannya. "Hanya kau harapan Paman satu-satunya, Elena," katanya saat bertemu tadi. "Paman tidak punya banyak waktu. Sebelum dia marah. Lakukan untuk saudaramu, juga ibumu. Bukankah kau butuh uang dalam jumlah banyak? Kau bisa mendapatkannya setelah melakukan tugas ini, kau hanya perlu berakting sebagai Casandra," lanjut sang paman. Hanya berakting katanya? Dan, disinilah dirinya berakhir. Dalam sebuah gudang kotor yang lebih mirip seperti terowongan mangkrak. Gadis itu biasa dipanggil Els oleh ibunya. Dia dipaksa oleh pamannya untuk menggantikan posisi Casandra sebagai istri Alex. Sementara Casandra, entah kabur ke mana. "Tapi, Paman. Bagaimana jika dia tahu aku bukan Casandra?" tanya Elena. "Itu urusan paman. Kau hanya perlu bertingkah semirip mungkin dengan Casandra, Paman akan mengajarimu bagaimana adikmu bersikap. Jangan lemah, Elena! Casandra tidak pernah menunjukkan kelemahannya," jawab Robin dengan tegas. Bukan tidak sanggup untuk tegas. Namun, sejak kecil ibunya mendidiknya dengan lembut dan penuh perhatian hingga perangai Elena pun sangat santun. Robin bisa melihat perbedaannya. Akan tetapi, dia menilai Elena terlalu lembek dan mudah dipengaruhi. Karena itu dia memanfaatkan kesempatan menjadikan Elena pengganti sementara saat Casandra tak ada. Robin begitu mencintai Casandra seperti putrinya sendiri. Sebab istrinya sudah di-diagnosa mandul, tidak dapat melahirkan keturunan untuknya. Karenanya dia rela melakukan apa pun demi menutupi kesalahan Casandra, termasuk mengorbankan Elena. "Baik, Paman," jawabnya hambar yang terdengar terpaksa. "Keluarga Valentino adalah keluarga yang terpandang, perhatikan caramu berpakaian, kau harus bisa mengimbangi mereka, Elena. Dan ingat, jangan lengah! Casandra sering bermasalah dengan ipar-iparnya. Sebaiknya kau berjaga-jaga." Robin mengingatkan kembali. Mendengar itu, jantung Elena berpacu cepat. Keluarga macam apa yang akan ia temui nanti. Dia tak pernah membayangkan akan hidup menjadi Casandra. Dalam pikirannya, itu pasti seperti di neraka. Dan sekarang, dialah yang harus merasakannya. Setelah mengatakan hal itu, sang paman menjelaskan banyak hal tentang keluarga Valentino dan kediamannya, tempat sekarang ia dikurung. Ini baru seorang Alex, belum anggota lain yang Elena belum temui. *** Setelah meninggalkan Elena sendiri, Alex terlihat berjalan di koridor dengan cepat. Ia melonggarkan kerah kemejanya. Dia merasa gerah sekali sore ini. Casandra telah ditemukan. Namun, ada yang ia rasa cukup janggal. Casandra berperilaku aneh. Apa itu cara dia untuk pura-pura lupa akan kesalahannya? "Bibi Mae," panggil Alex. "Ya, Tuan," jawab perempuan paruh baya bertubuh gemuk dengan tergesa-gesa menghampiri. "Suruh Eric menyiapkan mobil untukku sekarang juga," tambahnya sambil melihat jam tangannya. "Baik, Tuan." Bibi Mae lekas berlalu dan mencari Eric, sopir pribadi Alex. Bibi Mae adalah maid paling senior di kediaman Valentino. Alex merasa lebih cocok dengannya karena ulet dan pekerja keras. Tak berselang lama, perempuan bertubuh gempal itu kembali dan menghadap Alex. "Sudah, Tuan. Eric menunggu di depan," ucap Bibi Mae. "Ya." Alex berjalan melewati Bibi Mae yang masih menunduk. Semua Maid di kediaman keluarga Valentino tidak ada yang berani menatap wajah majikannya. "Apa yang salah dengan Casandra? Dia akan segera merayuku setelah melakukan kesalahan," gumam Alex. Sejak tadi pikirannya terganggu karena itu. Casandra adalah tipikal perempuan manja dan mengandalkan rayuan untuk menarik simpatik Alex. Dan, lelaki itu selalu dapat dengan mudah terbius karena bujuk rayunya. Dia pandai memainkan titik-titik terlemah dalam diri Alex. Itu yang selalu ia sukai dari Casandra. Tetapi, Casandra bukan pembantah seperti yang baru saja ia lakukan. Tiba-tiba ia merasa bersalah telah menamparnya. "Eric, antarkan aku ke club biasa ya!" titah Alex menatap jalanan yang terlihat lenggang. "Baik, Tuan," balas Eric patuh. Alex sangat marah tadi begitu melihat wajah Casandra tanpa rasa bersalah justru berbalik menghardiknya. Perlawanan yang frontal. Juga, rambut dan wajahnya sedikit berbeda, dia menyadari ada perbedaan pada istrinya itu. Biasanya rambutnya hitam legam. Tetapi baru saja warnanya berubah pirang, juga matanya, sangat berbeda. Mungkinkah dia memakai kontak lens? Perpaduan yang luar biasa. Dia semakin cantik dalam benak Alex. "Sudah sampai, Tuan." Eric membuyarkan lamunannya. Alex tak sadar hingga sampai di club tujuannya saat ia butuh melepas penat. Pria itu pun keluar dari mobil, lalu segera memasuki bar. Di sana ia bertemu dengan beberapa kawan baiknya yang sudah lama berpartner bisnis. "Hai, Lex. What's wrong, man?" tanya Zico, pria bertubuh kurus tinggi dan berambut cepak. Alex sering kali mampir ke bar pinggir kota saat ia sedang kalut. Zico hafal betul kebiasannya. "Pasti lagi banyak problem ya, Bro?" sahut Marcel bertanya, kawannya yang lain. Mereka sudah membuat janji satu jam yang lalu. "Ya, begitulah," balas Alex singkat. Dia sedang tidak baik moodnya. Kedua kawan baiknya itu mentertawakannya. Alex memang terkenal garang, tetapi ada kalanya ia bertekuk lutut pada satu wanita, yaitu istrinya. "Casandra buat ulah apalagi?" Zico menebak. "Dia sudah kembali ke rumah," jawab Alex meneguk sebotol alkohol. "Bagus, kan? Lalu, kenapa kau masih masam saja," ucap Marcel sambil terkikik. "Entahlah … sepertinya ada yang salah dengan dia," sela Alex berpikir. "Bukankah dari dulu Casandra selalu membuat kesalahan. Kali ini apa lagi yang dia lakukan sampai kamu bimbang begini?" balas seorang wanita di meja seberang. Sejak tadi sudah mendengarkan percakapan ketiga lelaki itu. Ketiganya serentak menoleh ke arah sumber suara. Wanita itu tersenyum manis. Bibirnya dipoles lipstik merah darah, rambutnya di cat merah kecoklatan, kontras dengan kulitnya yang putih. Bajunya menampilkan lekuk tubuh, membuat siapa pun lelaki yang memandangnya menelan Saliva, kecuali Alex. "Cintya, diamlah! Jangan mulai lagi," bentak Alex sedang tak ingin diganggu. "Ck..ck...ck." wanita itu berdecak. Dia adalah penggemar Alex yang cintanya tak pernah terbalas. Beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri ketiga pria dihadapannya. Dia membelah posisi duduk Alex dan Zico yang berdekatan. Dan, Cintya berada di antara mereka. "Ayolah, Lex. Bersikaplah lembut sedikit padaku! Aku tidak pernah mencari gara-gara padamu, kan? Aku justru sering kali menghiburmu saat istrimu yang kau puja-puji itu menimbulkan masalah," tandas Cintya lembut, menyembunyikan kebenciannya pada Casandra. Zico dan Marcel hanya memijit-mijit keningnya melihat kelakuan Cintya. Dia tak pernah putus asa mengejar cinta Alex. Bahkan setiap hari ia rela berdiam di bar demi menunggu kedatangan Alex. "Tidak sekarang, Cintya," tolak Alex sedikit merendahkan suaranya. "Yes. No problem. Kapan pun kamu butuh aku, aku selalu ada untukmu, honey," bisiknya dengan pelan. Tangan Cintya hendak membelai jambang Alex yang mulai tumbuh disekitar wajahnya. Membuat garis-garis wajahnya semakin menawan. "Hentikan, aku bilang jangan menggangguku, Cintya!" hardik Alex menampik tangan halus Cintya. Dia benci disentuh oleh sembarang perempuan. Rahang Cintya mengeras. Dia menahan rasa malunya sekaligus marah. Bisa-bisanya Alex menolak kecantikannya yang tak perlu diragukan lagi. Dibandingkan Casandra, dia jauh lebih sempurna. "Baiklah, jika itu maumu." Cintya segera bangkit dan meninggalkan mereka dengan mata yang panas. Penolakan berkali-kali, semakin membuat darahnya mendidih. Zico dan Marcel hanya menggeleng pelan. Cintya memang sekali-kali perlu diberi pelajaran. Raut wajah Alex semakin masam. Kedua alisnya hampir bertaut karena meredam kemarahan. Tiba-tiba terdengar suara ponselnya berdering. Nama Tante Esma tertera dilayar benda pipih itu. Dia adalah ibu tiri Alex. Orang yang paling ingin dihindarinya. "Ya, halo?" "Bisakah kau pulang sekarang juga dan urus anakmu?" Suara berisik dari seberang sana membuat Alex memutar bola matanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD