PART. 8 ANTARA BATU DAN PERMATA

1044 Words
Orang tua Alia masuk ke dalam kamar tidur mereka. Ibu Alia duduk di tepi ranjang. Ayah Alia duduk di sampingnya. "Jangan terlalu dipikirkan, kita pasrahkan saja pada Yang di Atas." Ayah Alia menggenggam lembut jemari istrinya. "Menurut Ayah, apakah kesalahan Alfi pantas untuk dimaafkan?" "Semua kesalahan pantas untuk dimaafkan, begitupun dengan kesalahan Alfi." Ayah Alia mengusap punggung tangan istrinya dengan lembut. "Menurut Ayah, apakah Alfi pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua?" "Ya, Ayah rasa, Alfi hanya tersesat, tidak tercebur dalam jurang yang dalam. Selama ini sikapnya tetap baik, pada Alia, pada anak-anaknya, juga pada kita. Ayah rasa, yang dialami Alfi bukan cinta, hanya khilaf saja." Ibu Alia menatap Ayah Alia. Ayah Alia tersenyum. "Ayah bicara begitu, bukan karena kami sesama pria. Tapi, kita bisa melihat tulusnya permintaan maaf, dan penyesalan Alfi. Alfi mencintai anak, dan istrinya. Dia hanya manusia biasa yang bisa khilaf juga." "Tapi Alia keras kepala. Dia orang yang selalu konsisten dengan keputusannya. Saat dia memutuskan menikah dengan Alfi, dia benar-benar melepaskan keinginan pribadi. Hanya ada Alfi, anak-anaknya, dan kita dalam hidupnya. Sekarangpun begitu, dia sudah memutuskan, tentu sulit untuk coba kita bujuk untuk memaafkan." Ibu Alia menundukkan wajahnya, perasaan gelisah masih tak mau pergi dari hatinya. Karena memikirkan nasib rumah tangga Alia "Alia sudah memaafkan, yakinlah itu. Soal pendiriannya yang sekeras batu. Kita pasrahkan saja pada Allah. Allah Maha membolak balik hati manusia. Jika masih ada jodoh di antara mereka, tentu Allah berikan jalan untuk mendekatkan hati mereka." Ayah Alia mengusap bahu istrinya. "Harapan Ayah, mereka bersatu, atau berpisah?" "Allah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi mereka. Doa Ayah, berikan yang terbaik bagi rumah tangga mereka. Bersama, atau berpisah, akan Ayah terima dengan lapang d**a. Agar tak kecewa saat apa yang terjadi tidak sesuai keinginan kita." "Ayah pasrah sekali." Ayah Alia mengangkat bahunya. "Semua sudah digariskan, kita hanya menjalani saja." Ibu Alia tak bicara lagi. Hanya tarikan nafasnya yang terdengar. Sulit baginya mengusir gelisah di hati. * Di kamar Alia. Alia duduk di tepi ranjang. Tatapannya ke luar jendela kamar. Benaknya tengah menyusun rencana, langkah apa yang harus ia ambil terlebih dulu. Mengurus perceraian, atau mencari pekerjaan. Alia tahu, tentu tidak mudah mencari pekerjaan dengan tampilan seperti dirinya. Alia meraih ponselnya. Sebuah nama terbersit di dalam benaknya. Alia menatap layar ponselnya. Ia ingat dengan seorang teman yang menawarkan pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Yaitu menjadi reseller alat rumah tangga. 'Apa aku bisa? Sedang pertemananku di media sosial tidak seberapa. Apa aku harus merubah penampilan demi menafkahi anak-anakku. Ya Allah ... aku sudah merasa sangat nyaman seperti ini. Tolong bukakan pintu rezeki bagiku, dan anak-anakku, di jalan yang tak harus membuat aku merubah penampilanku, aamiin.' Alia meletakan kembali ponselnya. "Assalamualaikum!" Alia tersentak dari lamunannya. "Walaikum salam." Alia bergegas ke luar kamar, agar orang yang memanggil tak harus lama menunggu. Saat Alia membuka pintu. Seorang pria berjaket hijau, dengan logo salah satu ojek on line berdiri di depan pintu. "Selamat siang, Mbak. Ini ada titipan dari Bu Ajeng, untuk Mbak Arin." Pria itu menyerahkan goodie bag berwarna hijau pada Alia. "Oh, terima kasih, Arin sedang ke luar, nanti saya sampaikan." "Baik, Mbak. Terima kasih." "Ongkosnya sudah dibayar, Mas?" "Sudah, Mbak. Saya permisi, Assalamualaikum." "Walaikum salam." Abang ojol itu pergi. "Siapa, Li?" "Ojol, ada kiriman dari calon Ibu mertua Arin," sahut Alia. Ia menyerahkan goodie bag ke tangan ibunya. "Ibu Adan sedang liburan di sini, setiap hari mengirim makanan." "Baik sekali ya, Bun." "Iya, Bunda jadi bingung, harus balas mengirim apa." Alia tersenyum. "Ibunya Adan, pasti ikhlas, Bunda. Tidak berharap balasan." "Bunda tahu, tapi tidak enak saja." "Jangan dipikirkan, Bunda." "Bunda ke dapur dulu." "Iya, Alia ke kamar, Bun." Alia kembali masuk ke dalam kamar tidurnya. Apa yang terjadi tadi menginspirasi dirinya. Alia berniat menjual makanan, khusus untuk on line saja. Alia kembali duduk di tepi ranjang. Ia teringat tak punya modal untuk memulai usaha. Untuk peralatan masak memang lengkap di dapur. Tapi modal untuk membeli bahan masakan, ia tak punya uang banyak. Hanya ada beberapa puluh ribu. Karena tabungan dari sisa belanja, sudah ia belikan pakaian untuk kedua anaknya. Ingin meminjam pada kedua orang tuanya, ia merasa segan. Kedua orang tuanya sama-sama pensiunan. Tapi ia meragu untuk meminta bantuan mereka. Akhirnya Alia memutuskan untuk minta bantuan pada Alin saja. * Alfi, dan Nanda terlibat percekcokan lagi di rumah Nanda. Setelah mereka pergi dari rumah orang tua Alia tadi. "Untuk apa kamu datang ke rumah orang tua Alia? Untuk apa kamu menemui Alia?" Alfi menatap tajam wajah Nanda. "Aku menemuinya, agar dia merestui pernikahan kita!" Nanda berteriak, ia membalas tatapan Alfi. "Alia tidak melarang aku untuk menikah denganmu! Tapi, aku yang tidak mau, merespon keluh kesahmu ternyata adalah tindakan yang keliru! Aku sungguh menyesali hal itu. Aku bodoh, sudah berusaha menukar permata dengan batu!" Suara Alfi setajam tatapannya. Tindakan Nanda mendatangi Alia tadi sungguh membuatnya semakin menyesal pernah kenal dengan Nanda. "Mas menilai aku sebagai batu? Dan menilai Alia sebagai permata? Itu hanya topengnya saja. Aku yakin, Alia tak sebaik seperti kelihatannya!" Nanda mencibirkan bibirnya, nada sangat sinis terlontar dari ucapannya. "Kamu yang terlihat tidak sebaik kelihatannya! Heeh, tadinya aku bertanya di dalam hatiku, kenapa Allah bisa mempertemukan aku denganmu. Sekarang aku tahu, Allah sedang menguji rumah tanggaku, menguji kestiaanku. Aku tidak lulus dalam ujian dariNya." Alfi menahan sesak di dalam dadanya. Bayangan hidup sendiri tanpa Alia sungguh membuat hatinya resah, dan gelisah. "Aku tidak mau pernikahan dibatalkan. Aku sudah memberitahu keluargaku, dan banyak orang kalau kita akan menikah. Kita harus menikah, titik!" "Tidak ada yang dibatalkan, karena tidak ada yang direncanakan. Sejak awal aku katakan padamu. Jangan mengumbar sesuatu yang belum pasti, karena aku tidak berjanji. Karena kamu lancang bicara, itu sekarang jadi masalah buatmu sendiri, bukan masalahku!" "Tidak bisa begitu! Kalau Mas tidak mau menikahi aku, aku akan katakan pada semua orang, kalau Mas pengecut! Mas ingkar janji!" Nanda mengacungkan telunjuknya pada Alfi. "Kamu mengancamku!? Aku masih menyimpan chat kita, dimana kamu merengek minta dinikahi, dimana kamu minta ini itu sebagai mahar. Dan, jelas jawabanku di sana. Tidak ada janji yang aku ucapkan. Aku hanya menuliskan, aku akan bicara dengan Alia dulu. Kita lihat, kamu yang akan malu, atau aku. Aku cukupkan perdebatan ini sampai di sini, Assalamualaikum." Alfi melangkah pergi, meninggalkan Nanda sendiri. Nanda menggeram marah, kemarahan yang ia tujukan pada Alia. 'Kita lihat saja, Alia. Hidupmu tidak akan bahagia!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD