PART. 7 ALIA VS NANDA 2

1014 Words
"Calon istri Mas Alfi? Ooh ... selamat, semoga Mbak bahagia. Lalu ada keperluan apa Mbak datang menemui saya?" "Kamu jangan coba-coba menghalangi pernikahan saya dengan Mas Alfi, ya!" Nanda menudingkan telunjuk pada Alia. "Saya tidak menghalangi niat Mas Alfi untuk menikah lagi. Justru saya memberi ruang yang lebih luas. Saya persilakan Mas Alfi menikah dengan Mbak." "Tapi kamu minta cerai'kan!?" Alia tersenyum lembut. "Justru itu bagus untuk hubungan kalian, iya'kan? Mas Alfi bisa menjadi milik Mbak seutuhnya. Jiwa, raga, cinta, dan perhatian Mas Alfi bisa Mbak monopoli." Alia membalas tatapan tajam Nanda, dengan tatapan lembut. Alia tidak ingin membuang tenaga untuk menghadapi Nanda. Meski sakit merejam d**a, tapi Alia berusaha bertahan dengan kelembutan sikap, dan tutur katanya. "Gara-gara kamu minta cerai, Mas Alfi berniat membatalkan pernikahan kami. Itu salahmu! Apa kamu tidak tahu, mengijinkan suami poligami itu surga imbalannya!" Sikap Nanda semakin garang saja, ia meradang melihat sikap tenang yang diperlihatkan Alia. Ingin sekali ia menjambak jilbab yang dipakai Alia. Tapi Nanda ingin, Alia yang memulai perkelahian mereka. "Maaf, Mbak. Saya tidak ikhlas suami saya mendua. Saya lebih ikhlas melepasnya, agar tak ada beban di dalam jiwa. Saya percaya, masih ada tempat buat saya di surga, tanpa harus menerima suami saya mendua rumah tangga." "Kamu mau makan apa kalau cerai dari Mas Alfi. Kamu itu cuma ibu rumah tangga kurang pergaulan yang tidak bisa kerja! Anakmu mau diberi makan apa? Biaya hidupnya bagaimana?" ucap Nanda dengan nada tinggi. Alia tersenyum lembut. "Itu urusan saya, bukan urusan Mbak. Pertanyaan itu lebih pantas ditujukan pada Mbak sendiri. Harusnya, Mbak yang berpikir, bagaimana saya, dan anak-anak saya, kalau Mbak berselingkuh dengan Mas Alfi. Harusnya, Mbak tidak berusaha menjerat suami orang, dan mengambil cinta seorang ayah dari anak-anaknya." "Kamu menyalahkan saya? Suami kamu yang kegatelan. Tapi tidak salah sih, kalau Mas Alfi tergoda, istrinya tidak bisa dandan sama sekali!" Nanda mencibirkan bibirnya. Alia hanyak menarik nafas perlahan. "Maaf, Mbak. Saya sudah sampaikan pada Mas Alfi. Silakan menikah dengan Mbak. Saya tidak melarang. Saya persilakan. Kalian bisa menikah tanpa harus ijin dari saya. Kalian bisa menikah siri dulu, sebelum saya, dan Mas Alfi resmi berpisah." Alia kembali menarik nafas. "Saya rasa, tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Saya tidak punya urusan dengan Mbak. Karena saya tidak pernah melarang Mas Alfi menikahi Mbak. Silakan Mbak ke luar dari rumah saya." "Kamu mengusir saya? Dengar ya, Mas Alfi tidak mau menikahi saya, kalau kamu tidak merestui!" "Saya restui, Mbak. Bahkan saya rela pergi dari rumah, agar Mbak bisa menjadi satu-satunya istri Mas Alfi. Apa itu masih kurang?" "Kamu ini bego, bodoh! Apa kamu tidak menyimak apa yang aku katakan! Mas Alfi tidak mau menikahi aku, kalau kamu minta cerai!" Nanda berteriak, ia putus asa menghadapi Alia. Orang tua Alia, dan asisten rumah tangga sampai ke luar dari dalam. Mereka masuk ke ruang tamu, dan menatap Nanda dengan lekat. "Ada apa?" Ayah Alia bertanya pada Alia. "Anda, Ayah Alia? Apa anda tidak mendidik dia dengan baik, sehingga dia ...." "Jangan bawa orang tua saya dalam masalah ini. Mereka sudah mendidik anaknya dengan baik. Saya tidak mau dimadu, apa itu menunjukan kalau saya bodoh. Wanita yang menjalin hubungan dengan pria beristri saya rasa lebih bodoh!" Alia akhirnya tak bisa lagi menahan diri. Ia tidak mau orang tuanya dihina. "Sebaiknya anda pergi. Saya tidak ada urusan apapun dengan anda. Mas Alfi membatalkan pernikahan kalian, itu urusan kalian berdua, bukan urusan saya." "Tentu saja itu urusanmu, karena kamu ...." "Saya sudah mempersilakan Mas Alfi untuk menikahi anda. Anda bisa memiliki Mas Alfi sepenuhnya, lalu apa lagi!?" Alia masih berusaha meredam amarah, dan menahan volume suaranya. Suara mobil yang masuk ke halaman rumah mengalihkan fokus mereka semua. Alfi ke luar dari dalam mobil dengan menenteng dua goodie bag yang terlihat sarat isinya. Alfi menatap tajam wajah Nanda. "Bik, bawa masuk." Alfi menyerahkan dua goodie bag itu pada asisten rumah tangga. "Assalamualaikum, Ayah. Assalamualaikum, Bunda." Alfi mencium punggung tangan kedua mertuanya. Lalu ia menatap Alia. Alia meraih tangan Alfi, dicium punggung tangan Alfi. Hati Alfi bergetar, meski punggung tangannya tak bersentuhan langsung dengan kulit Alia. Ada rasa haru, karena Alia masih mau melakukan hal itu padanya. "Ada apa kamu ke sini?" Tatapan Alfi tajam ke arah Nanda. "Aku tidak mau pernikahan dibatalkan!" "Cari saja pria lain yang mau menikah denganmu, aku tidak mau!" "Jangan seperti anak-anak, Mas." "Apanya yang seperti anak-anak. Aku tidak pernah berjanji untuk menikah denganmu. Kamu yang merengek setiap waktu. Aku sudah katakan, aku akan menikah denganmu, kalau Alia setuju!" "Dia setuju kita menikah!" "Dia setuju, tapi aku tidak ingin melepaskannya. Aku mencintainya. Menjalin hubungan denganmu, adalah tindakan paling bodoh yang pernah aku lakukan!" "Tidak bisa begitu, Mas!" "Sebentar ...." Ayah Alia mengangkat satu telapak tangannya. "Alfi, sebaiknya hal ini, kalian bicarakan berdua saja di tempat lain, jangan di sini. Tidak baik terdengar tetangga kanan, dan kiri. Ayah mohon, Alfi." Ayah Alia menangkup kedua telapak tangan di depan d**a. Tatapan memohon beliau tujukan pada Alfi. "Tidak bisa begitu, Alia akar dari permasalahan ini. Semua ini salah dia!" Nanda menudingkan jari telunjuknya pada Alia. Alfi menepiskan tangan Nanda. "Ayah benar, sebaiknya kita pergi dari sini. Ini masalah kita berdua, orang di rumah ini tidak terlibat dengan masalah kita!" "Tidak bisa, Alia bertanggung jawab, atas keputusan yang Mas ambil, untuk membatalkan pernikahan kita!" "Alia sudah mempersilakan aku menikah denganmu. Tapi aku yang tidak mau! Sekarang, kamu pergi dengan sukarela, atau aku telpon Polisi. Keberadaanmu di sini sangat mengganggu." Alfi menarik lengan Nanda, agar beranjak dari dalam rumah Alia. "Ini belum selesai, Alia. Ini belum selesai!" Nanda menuding Alia dengan telunjuknya. Tatapannya penuh kebencian pada Alia. Alia hanya diam, dan menarik nafas dalam. "Sabar ...." Ibu Alia mengusap lengan putrinya. Mereka menatap Nanda yang sudah masuk ke dalam mobil. Alfi juga sudah masuk ke dalam mobil. Alfi pergi tanpa pamit. Mobilnya menguntit mobil Nanda. "Mas Alfi pergi tanpa pamit," gumam Alia. "Tidak apa-apa, perasaannya pasti sedang sangat tertekan sekarang." Ayah Alia menutup pintu. "Alia ke kamar ...." "Iya." Setelah Alia masuk ke dalam. Ayah Alia mengusap lembut punggung istrinya. "Yakinlah, Allah pasti memberikan yang terbaik bagi Alfi juga Alia, dan untuk cucu-cucu kita, aamiin." "Aamiin." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD