43. Badai Angin Yang Menggetarkan

1081 Words
Suasana di luar bagasi terasa senyap, tak ada suara-suara seperti yang Kartajaya dengar sebelumnya. Namun suasana itu tidak membuat Kartajaya lengah, ia mengatur nafas dalam-dalam dan kembali berusaha melepaskan ikatan tangannya. Sekuat tenaga ia melakukan hal itu tanpa menimbulkan suara maupun gerakan berlebih karena khawatir akan menarik perhatian penculik yang sedang menjaganya. “Badai itu datang!” seru seseorang tiba-tiba. Seruan yang tidak hanya mengagetkan Kartajaya, namun juga berhasil membuat kawannya terkesiap kaget. Kartajaya mengerjap, firasatnya benar. Ternyata masih terdapat beberapa penculik di sekitar mobil tempatnya berada. “Oh, tidak! Badai itu sangat besar…” seru penculik lainnya. “Kita tidak bisa tinggal disini atau akan terkena dampaknya secara langsung.” “Kau benar, kita harus bersembunyi dan menyelamatkan diri dari badai itu!” “Tapi, bagaimana dengan anak ini? Apa kita perlu membawanya?” “Tidak perlu, dia pasti aman di dalam bagasi, lagipula tidak akan ada manusia normal yang bersedia mencari mati dengan berada di area parkir terbuka pada saat badai seperti ini!” jawab salah satu dari mereka. Saat itu juga Kartajaya merasa bahwa seseorang sedang membuka pintu bagasinya lebar-lebar karena sebuah angin besar yang menghembus wajahnya tiba-tiba. “Akan ada badai sebentar lagi, tetaplah di dalam bagasi ini atau jika tidak, badai itu akan menyapu tubuh kurusmu!” gumam penculik itu. Kartajaya pun hanya mengangguk, kemudian bagasi kembali tertutup. Kartajaya mendesah lega karena penculik itu hanya menutupnya saja, tanpa menguncinya sama sekali. “Ayo, cepat masuk!” ajak salah satu penculik. “Sebelum badai itu semakin dekat dan melumat kita!” “Ya!” jawab kawannya. Kartajaya menahan nafas, ia memfokuskan seluruh kemampuan mendengar dan konsentrasinya untuk mencari tahu kondisi sekitar. Setelah merasa cukup yakin bahwa tidak ada hembusan nafas maupun gerak gerik manusia di sekitarnya, Kartajaya bergerak semakin cepat untuk melonggarkan tali tangan dan kakinya. Sekuat tenaga Kartajaya berusaha melepaskan diri hingga pada akhirnya kedua pergelangan tangan maupun kaki Kartajaya terasa perih, dan sepertinya terluka karena gesekan antara tali pengikat dan kulit secara terus menerus. “Apa itu??” seru Kartajaya dalam hati saat telinganya mendengar suara mengerikan yang berasal dari kejauhan. Suara gemuruh yang menggetarkan hati seorang pengembaran manapun, suara badai yang melemahkan keteguhan petarung manapun. Kartajaya membeku selama beberapa saat, namun ia tersadar bahwa ia harus segera melarikan diri dari tempat ini karena semua penculik sedang menyelamatkan diri mereka sendiri dari badai angin yang akan terjadi ini. Kartajaya mengabaikan rasa sakitnya, ia terus meregang-regangkan tali tangan maupun kakinya. Hingga tanpa sengaja Kartajaya merasakan simpul tali yang akhirnya menjulur di telapak tangannya. Kartajaya pun menggigit bibir dan menahan nafas, ia menggunakan seluruh tekadnya untuk melenturkan tubuh Aksata yang sangat kaku dan ringkih. Hingga pada detik yang mendebarkan, Kartajaya akhirnya bisa menarik simpul itu dengan jari jemarinya, tidak hanya sekali namun berkali-kali. “Akhirnya!” seru Kartajaya saat ikatan tangannya semakin longgar. Sekali lagi, pemuda itu merenggangkan tali lebar-lebar, “Lepas!” pikir Kartajaya. Benar saja, tali itu terlepas dari pergelangan tangan Kartajaya hingga membuatnya bebas bergerak ke depan tubuh, lalu menuju mulut dan matanya tertutup kain. Ia menarik kain tersebut hingga terlepas dari wajahnya. Baru setelah itu Kartajaya meringkuk dan mencoba melepaskan ikatan kakinya masih terasa kuat. Mata Kartajaya mengernyit saat bersirobok dengan cahaya kecil yang berasal dari luar bagasi, ia mencoba untuk menyesuaikan diri dengan sinar kecil tersebut karena walau bagaimanapun mata Kartajaya baru saja ditutup kain hitam yang sangat erat selama berjam-jam sehingga membuatnya tak terbiasa dengan intensitas cahaya yang tiba-tiba saja menyerbu kornea matanya. Dengan beberapa kali percobaan, Kartajaya akhirnya berhasil melepas ikatan kedua kakinya, kemudian menarik nafas lega. Kartajaya merenung selama beberapa detik, berusaha keras menetralkan degup jantung dan nafasnya yang menggila selama beberapa menit belakangan. Setelah yakin kondisinya membaik dan lingkungannya aman terkendali, Kartajaya pun bergeser ke dekat pintu bagasi, lalu membukanya perlahan-lahan. Mengintipnya dalam keheningan. Tiada sesiapa disana. Hanya ada halaman parkir luas dan tanah gurun yang berwarna keemasan. Angin berhembus kencang di sekitar area tersebut sehingga membuat pasir-pasir tersebut berterbangan. Kartajaya menarik kain penutup mulutnya, kemudian memakai kain itu kembali sebagai masker untuk menutup hidung dan mulutnya dari pasir-pasir tersebut. Tak hanya sampai di sana, Kartajaya pun mengikat kain lainnya di kepala, berusaha mengurangi pening yang menyerbu kepalanya. Walau bagaimanapun, ia telah tinggal di ruang sempit dan minim oksigen selama berjam-jam. Di dalam bagasi itu ia merasakan goncangan-goncangan kencang selama mobil berjalan, hal tersebut berhasil membuat kepalanya berdenyut hebat dan mual bukan kepalang. Ia mengikat kepalanya keras-keras, berusaha mengurangi pusing yang dirasakannya. Setelah selesai dengan semua persiapannya, Kartajaya pun membuka pintu bagasi lebih lebar, namun ia sengaja tidak membuka pintu itu sepenuhnya agar tidak mengundang perhatian dari sekitar. “Cukup!” pikir Kartajaya. Ia telah membuka pintu bagasi dengan celah yang cukup lebar untuk dilewati tubuh kurusnya, Kartajaya bergeser, lalu keluar dari tempat sempit itu dalam kondisi miring dan terjatuh di permukaan tanah dengan menyedihkan. “Argh!” geram Kartajaya saat bertubrukan dengan permukaan keras. Tak berlama-lama, Kartajaya pun mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia berada di area parkir terbuka di dekat sebuah bangunan penginapan yang memiliki beberapa lantai sehingga membuatnya terlihat sangat tinggi. Bangunan itu berada di antara bangunan-bangunan lainnya, Kartajaya yakin jika kini ia berada di area pemukiman penduduk karena melihat adanya rumah yang memiliki jarak berjauhan. Suara gemuruh yang berdengung menyadarkan Kartajaya bahwa ia tidak bisa berlama-lama di area ini, bukan hanya karena takut terkena badai itu, namun juga Kartajaya khawatir jika para penculik tahu bahwa Kartajaya sudah berhasil lepas dari ikatan tali mereka. Kartajaya berjalan menunduk di sekitar mobil tersebut, dan pada saat mendongak, betapa terkejutnya Kartajaya saat mendapati sebuah badai angin yang bercampur dengan pasir keemasan yang melahap rumah-rumah warga atau apapun yang ada di sekitarnya. Seluruh tubuh Kartajaya membeku, ini adalah pertama kalinya Kartajaya melihat badai angin sebesar dan semenakutkan itu. Badai tersebut berputar sangat kencang ke kanan dan kiri tak terkendali. Melahap apapun yang bisa dilahap dan bahkan merenggut apapun yang dilewatinya. Seluruh bulu kuduk Kartajaya berdiri. Ia merinding bukan main saat melihat keganasan bencana alam yang terjadi di wilayah Kerajaan Skars ini. Tidak heran jika para penculik semenakutkan Lord Khev saja memilih menghentikan perjalanan untuk bersembunyi dari badai tersebut. Kartajaya memutar kepala, mencari tempat persembunyian yang bisa dia gunakan tanpa perlu ketahuan oleh para penculiknya. Jika masuk ke dalam bangunan, maka sudah bisa dipastikan jika Kartajaya akan bertemu dengan para penculiknya, namun jika melarikan diri, ia bisa dilumat habis oleh angin tersebut. Saat sedang panik, Kartajaya menemukan mobil kunci Van coklat milik Lord Khev masih tergantung di tempat, ia meragu sejenak, namun rasa penasaran menghantuinya. “Mampukah aku mengendarainya?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD