Kartajaya memandang pantulan dirinya di kaca bening yang sangat besar dan membentang dari kiri ke kanan, kaca yang memenuhi seluruh dinding ruangan tempat berlatih para penghuni bangunan ini. Telah berjam-jam ia melakukan hal itu dan tak beranjak dari tempatnya berpijak. Hanya diam dan membisu sambil menatap pantulan diri dengan begitu lesu.
Saat ini dunia terasa seperti lelucon baginya.
Bagaimana tidak?
Di dalam ingatannya yang tajam, Ia mengingat dengan pasti mengenail detail kehidupannya, terutama nama dan kedudukan-kedudukan yang dimilikinya.
Sang Raja Prabu Sagara Samudera Kartajaya Rajasa (Raja Dewawarman IX)
Dewa Perang Bumi Salakanagara – Jenderal Rajasa
Putra Mahkota Kartajaya dari Kerajaan Salaka.
Sosok itu bagaikan dongeng belaka. Bagaikan imajinasi dari kegilaannya semata. Mana yang sesungguhnya menjadi kebenaran?
Apakah dirinya memang Kartajaya atau justru Aksata?
Apakah Kartajaya hanyalah mimpi seorang Aksata?
“Tidak! Aku adalah Putra Mahkota Kartajaya dari Kerajaan Salaka! Aku adalah Prabu Sagara Samudera Kartajaya Rajasa! Jenderal Perang Rajasa! Aku bukan Aksata!” geram Kartajaya.
Kedua tangannya mengepal dengan mata menyalang marah menatap pantulan dirinya.
“Aku bukan Aksata!!!!”
Pria itu menatap penuh hinaan pada pantulan dirinya di cermin. Menurut Makula dan Arsen, ia adalah b***k rendahan yang diselamatkan oleh Lord Yasa dari tempat pertambangan. Ia tak memiliki keluarga dan sebatang kara.
Melihat dari postur tubuhnya sekarang, tidak heran jika dirinya adalah b***k rendahan dan sebatang kara. Tubuh Aksata sangat kurus, dengan tulang-belulang yang menonjol disana-sini, dan tidak mempunyai otot sama sekali.
Anak muda berusia belasan tahun ini seperti tidak pernah makan, tidak pernah mengurus dan melatih dirinya sendiri. Sementara tubuh Aksata dipenuhi bekas luka cambukan bekas kekejaman pimpinan tambang yang mengawasinya.
Di antara semua hal yang membuat Kartajaya marah saat melihat tubuh lunglai Aksata, ada satu hal yang benar-benar membuatnya ingin mengutuk seluruh alam.
Bagaimana bisa mereka memiliki wajah yang sama!!!!!!
Ya, walau Aksata kurus dan tak terurus, namun tidak bisa dipungkiri jika Aksata memiliki wajah yang sama persis seperti Kartajaya pada saat remaja. Tidak ada yang berbeda dari kontur wajah mereka berdua. Hidung, mata, alis, bibir, rahang, telinga, warna kulit dan jenis rambut. Semua sama persis, tak ada yang terlewat sama sekali.
Ini seolah menandakan bahwa Aksata adalah Kartajaya – atau Kartajaya adalah Aksata.
“Tapi bagaimana bisa?” gumam Kartajaya seraya menyentuh rahang dan wajahnya sendiri. Ia masih tak bisa menerima kenyataan yang sedang terjadi. “Apakah rohku tersesat ke dalam tubuh Aksata setelah masuk ke badai di dasar danau itu?”
“Bocah kurus ini… apakah dia adalah diriku di kehidupan yang sedang berlangsung sekarang?” Kartajaya menyugar rambut, “Tapi kenapa harus begini, kemana Aksata yang sesungguhnya? Dan bagaimana dengan nasib tubuhku di dasar danau? Apa yang sebenarnya terjadi!!?”
Kartajaya mengepalkan kedua tangan dengan penuh kemurkaan. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Ia hanya tahu dirinya jatuh ke dasar danau dan terbangun di tubuh yang bukan dirinya. Di waktu yang sangat jauh berbeda dengan masanya.
Ditengah kecamuk yang melanda seluruh dirinya, Kartajaya teringat pada kemampuan yang dimilikinya. Pria dewasa yang terjebak ditubuh remaja Aksata itu duduk di tengah ruangan yang sepi sambil menghadap pantulan kaca. Ia bersila kemudian menyatukan telapak tangan di depan d**a.
Kartajaya merapal mantra-mantra dengan suara yang amat rendah, ia begitu fokus dan tidak bisa diganggu oleh lalat yang lewat sekalipun.
Kening Kartajaya mengernyit begitu dalam. Mulutnya merapal lebih cepat, suaranya pun menjadi lebih keras. Setiap kali ia tak merasakan efek mantranya, maka suara Kartajaya semakin keras dan semakin cepat. Hingga Kartajaya menjerit frustasi sambil membacakan mantra untuk terakhir kalinya.
“Mantraku… semua ilmuku… tidak berfungsi… Semua menghilang…”
***