“Kau adalah Aksata.”
Kalimat singkat dan terdiri dari tiga kata itu belum mampu Kartajaya serap dengan sempurna.
Mereka semua – manusia-manusia dengan warna kulit yang beragam itu bersikeras mengatakan bahwa dirinya adalah Aksata, bukan Kartajaya. Mereka bahkan mengira jika Kartajaya mengalami hilang ingatan dan memanggil dokter Sam untuk mengecek ulang seluruh kondisi Kartajaya.
Menurut dokter Sam, Kartajaya – atau yang mereka sebut dengan Aksata ini menderita trauma akibat benturan saat terjatuh dalam masa pelarian sehingga Aksata mengalami hilang ingatan.
“Sebenarnya, Aksata yang hilang ingatan, atau aku yang sudah tidak waras?” pikir Kartajaya pada akhirnya.
“Aksata, kau hanya perlu beristirahat. Jangan memikirkan banyak hal. Biarlah misi itu gagal. Kita bisa mengulang rencana itu kembali…” ujar Makula.
Kartajaya mengangguk, matanya yang terasa berat memperhatikan Makula dan yang lainnya dengan seksama. Kini dirinya sedang berada di sebuah ruangan luas dan banyak ranjang yang berjajar rapi satu per satu. Ranjang-ranjang itu dihuni oleh seluruh pria maupun wanita sehat dan bugar. Hal yang paling unik di ruangan ini sesungguhnya bukan ranjang-ranjang itu, maupun benda yang memancarkan cahaya dari langit-langit bangunan, tapi manusia-manusia yang ada di dalamnya.
Penghuni ruangan ini memiliki berbagai macam kulit yang indah, beberapa dari mereka berkulit putih seperti kapas, beberapa berkulit hitam legam, beberapa coklat, beberapa berkulit kuning dan langsat. Mereka semua sangat unik dan indah. Di Salakanagara, Masyarakat terbagi menjadi dua jenis kulit sawo matang atau coklat dan kuning langsat. Jadi Kartajaya takjub saat melihat keberagaman warna kulit yang ada di tempat ini.
Apalagi mereka menggunakan Bahasa yang sangat berbeda dengan masyarakat Salakanagara. Entah berasa dari kerajaan mana Bahasa ini, yang jelas Kartajaya mampu menguasai Bahasa ini tanpa repot-repot mempelajarinya sama sekali.
“Aksata!!” panggil Makula.
“Ya?”
“Jangan melamun seperti itu. Kau membuatku takut!”
“Kenapa kau takut?”
“Terakhir kali aku melihat orang melamun, dia langsung meninggal keesokan paginya. Dan orang itu adalah kakekku.”
Kartajaya mengangguk. Ia tidak paham apa hubungannya melamun dan kematian. Tapi ia hanya mengangguk untuk membuat Makula diam. Kartajaya masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya dan mengapa ia bisa tersesat di tempat aneh seperti ini.
“Makula, cahaya apakah itu, aku selalu merasa silau saat melihatnya…”
“Ya Tuhan, Aksata!” pekik Makula.
Kartajaya terperanjat mendengar suara Makula yang tinggi.
“Kau benar-benar keterlaluan. Kalau hilang ingatan seharusnya kau tidak melupakan hal sekecil lampu seperti itu!”
“Lampu?”
“Ya, Lampu! Kau sungguh lupa?”
“Aku bukan lupa, tapi aku tidak tahu…” keluh Kartajaya di dalam hati.
“Itu adalah lampu. Cahaya penerang di ruangan ini. Walau dibuat menggunakan teknologi masa lampau yang sederhana, tapi lampu itu mampu membuat kita bisa bertahan di tempat ini dalam cahaya terang. Andai tidak ada Arsen, mungkin kita akan tinggal disini dalam kegelapan…”
“Tidak usah menyebut-nyebut namaku…” gumam Arsen dari atas ranjangnya. Anak muda dengan penampilan badung itu sedang asyik mengasah pisaunya.
“Itu adalah hasil karyamu, Arsen. Wajar bukan, jika aku bangga sebagai teman…” sahut Makula. “Lagipula, Karyamu ini adalah sebuah keberuntungan bagi kita semua. Tanpa lampu-lampu ini, kita akan hidup dalam kegelapan karena seluruh sumber teknologi sudah dikuasai oleh Raja Skars.”
“Raja Skars!?” gumam Kartajaya.
“Ya, kau pasti lupa juga dengannya bukan, sudah… tidak perlu repot-repot mengingatnya.”
***