“Aksata…”
“Aksata!!!!”
“Aksataaaaaa.”
“Dimana kau berada?”
Suara panggilan Makula menggema di tengah gedung kosong peninggalan masa lampau yang terhubung dengan Basecamp militer bawah tanah tempat tinggal prajurit Lord Yasa yang berada di tengah hutan.
Gedung itu sangat tua dan memiliki dua puluh lantai yang bersusun ke atas. Tidak ada tembok di setiap sisinya karena telah hancur oleh peperangan dan bencana alam. Namun tulang-belulang penyokong gedung itu masihlah sangat kuat dan mampu berdiri kokoh sehingga masih bertahan sampai sekarang.
Gedung yang ditumbuhi banyak gulma, lumut dan tanaman-tanaman liar itu memiliki Lorong rahasia bawah tanah yang dibangun oleh Lord Yasa dan prajuritnya untuk memudahkan akses mereka menuju area pemukiman penduduk dan menyamar sebagai masyarakat biasa yang tinggal di sana.
Penyamaran mereka sangatlah ahli sehingga jarang sekali orang yang menyadari jika mereka ada kelompok bawah tanah yang menentang kepemimpinan Raja Skars dan seluruh keluarganya. Kepemimpinan Raja Skars sangatlah dictator dan membuat banyak sekali budaknya hidup di bawah tekanan dan siksaan prajurit mereka. Raja Skaras adalah lintah penghisap darah rakyatnya sendiri. Tukang monopoli yang sangat licik dan banyak keburukan lain yang dia lakukan sehingga terbentuklah Kelompok bawah tanah yang dipimpin oleh Lord Yasa untuk menumbangkan kepemimpinan dictator yang sangat kejam dari keluarga Istvan Skarsgard.
“Aksata!!!”
Suara itu menggema sekali lagi, namun sang pemilik nama duduk bergeming di tepi puncak gedung tua tersebut. Aksata atau Kartajaya sedang duduk diam memperhatikan langit yang mulai menampakkan warna-warna senja yang sangat indah. Matanya menelusuri seluruh pemandangan yang bisa dilihatnya. Lapang dan luas.
Ia mengetahui tempat ini berdasarkan peta yang dilihatnya di perpustakaan dan mempelajari alur Lorong bawah tanah sepanjang malam. Oleh karena itu ia mampu sampai ke gedung yang sangat jauh dari basecamp tanpa petunjuk dari temannya sama sekali.
“Kartajaya… apa yang kau lakukan disini?”
Ia menggumam pada dirinya sendiri. Bertanya-tanya, mengapa ia bisa sampai ke tempat yang sangat asing ini.
Di sebelah kanan gedung terdapat hutan belantara yang jarang dijamah manusia. Sedangkan di sebelah kiri gedung terdapat pemukiman penduduk yang sangat sedikit jumlahnya, lalu nun jauh di sana terdapat gedung Istana yang berwarna putih dan sangat megah luar biasa. Kondisi istana itu tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat yang serba kekurangan.
Kartajaya merasa seperti telah berpindah ke dunia yang tidak sama dengan dunianya. Tempat ini sungguh sangat berbeda. Di Kerajaan Salaka tidak ada gedung setinggi ini, ruang bawah tanah sehebat dan secanggih milik Lord Yasa, juga tidak ada Istana dengan bangunan yang luar biasa megah seperti itu. Semua yang ada di Kerajaan Salaka jauh berbeda dengan yang ada di tempat ini.
“Aksata! Kau disitu rupanya…” Makula akhirnya menemukan Aksata di Rooftop gedung.
Kartajaya tidak menoleh dan tidak menjawab. Ia hanya diam menatap hamparan tanah gersang nun jauh di sana. Dari gedung ini, ia bisa melihat segala sisi. Ini adalah satu-satunya gedung yang masih berdiri di sekitar sini. Terdapat beberapa gedung lainnya, namun mereka berjarak sangat jauh hingga sulit untuk dijangkau.
“Itu cahaya ungu apa?” tanya Kartajaya saat Makula duduk di samping sambil menyugar rambut yang diterba angin kencang.
Angin sore ini sungguh kencang dan sejak tadi selalu mengibarkan rambut dan pakaian Kartajaya.
Kartajaya menunjuk lokasi yang sangat jauh hingga yang terlihat hanyalah cahaya berwarna ungu yang bersinar dengan sangat terang benderang. Cahaya itu bahkan mampu mempengaruhi warna senja sore di ujung bumi tempatnya berasal. Senja dan cahaya ungu adalah perpaduan yang aneh namun cukup mencengangkan.
“Magnificent…” Puji Makula.
“Itu adalah batu langit. Aku tidak tahu bagaimana orang lain menyebutnya. Namun mereka bilang itu adalah batu bercahaya yang jatuh dari langit. Seperti Asteroid. Tapi anehnya, batu itu tidak hancur sama sekali saat melewati Atmosfer langit bumi. Bentuknya sangat besar. Cahayanya pun tidak padam dan terus bersinar hingga sekarang, walaupun sebenarnya ia telah berada di sana sejak bertahun-tahun yang lalu…”
“Penjelasanmu membuat kepalaku pusing…”
“Ya, tentu saja. Kau baru mempelajari semua ini sejak Lord Yasa menyelamatkanmu dari tambang.”
“Sebelumnya aku tidak tahu tentang cahaya itu? Maksudku sebelum aku hilang ingatan?”
“Ya, kau baru mempelajari semua itu. Sebelumnya kau hanya fokus berlatih bela diri. Hanya sedikit buku yang kau baca. Kau selalu membuat Arsen marah karena keterlambatanmu…” jelas Makula. “Arsen adalah anak yang pemarah dan tidak sabaran. Dia memang sangat hebat dalam menguasai berbagai macam ilmu, karena itu Lord Yasa sangat mempercayainya untuk membimbing anak muda yang dia selamatkan dari kehidupan tambang yang sangat keras. Di antara semua anak itu, Arsen selalu mendidikmu dengan sangat keras, jauh berbeda dengan yang lainnya. Semua orang berpikir Arsen selalu membully mu karena kau yang paling lemah di antara semuanya…”
“Ya, dia sangat buruk. Dia selalu mengincarku…”
“Sebenarnya, dia tidak salah juga…”
“Kenapa begitu?”
“Kau memang pemalas dan sangat lambat. Kau seperti enggan hidup dan enggan melakukan apapun. Kau banyak diam seperti tak memiliki jiwa dan semangat untuk hidup.”
“Aksata – maksudku, Aku seperti itu?”
“Ya, tidakkah kau menyadarinya?”
Kartajaya menggeleng. Tentu saja tidak. Dia bukanlah Aksata penghuni raga ini sebelumnya.
“Aku pasti sudah banyak merepotkan.”
“Karena itu kau jangan marah dan melarikan diri dari basecamp hanya karena sikap Arsen. Maklumi saja semua tingkahnya. Kalau bisa kau coba luluhkan hatinya yang keras itu…”
“Apakah aku terlihat seperti orang yang marah dan hendak melarikan diri dari basecamp?”
“Ya, Semua orang mencari keberadaanmu seharian. Mereka khawatir kau melarikan diri dan tertangkap oleh prajurit Kerajaan.”
Kartajaya menunduk, “Aku tidak melarikan diri, aku hanya ingin menghirup udara segar…” ujar Kartajaya, jauh di dalam hatinya sebenarnya Ego Kartajaya terluka karena selalu menjadi sasaran Arsen dan selalu dipermalukan di depan umum. Termasuk saat berlatih bela diri pagi tadi.
“Kau senang setelah menghirup udara segar?”
“Ya, walau udara disini sangat berbeda…”
“Berbeda dengan udara di wilayah tambang?”
“Berbeda dengan udara di Salakanagara. Udara disana sejuk dan sangat nikmat untuk dihirup. Sangat menyegarkan. Namun udara disini sangat berat dan tidak nyaman dihirup…” jawab Kartajaya dalam hati.
“Kenapa kau menunduk dan diam saja?”
“Aku hanya memikirkan udara sejuk dan wanita cantik.”
“Wanita cantik?”
“Ya, Wanita cantik – istriku…”
“Kau sudah memiliki istri?” pekik Makula terdengar sangat heran.
Kartajaya tergagap, ia menyimpulkan jika pemuda bernama Aksata yang memiliki wajah sangat mirip dengannya ini belumlah memiliki istri. Kasihan sekali, sudah tidak memiliki kemampuan apapun, dia juga belum memiliki istri di usia remaja seperti ini. Dulu Kartajaya dan Lintang menikah saat mereka di usia yang sangat muda berkat perjodohan kedua kerajaan mereka.
“Istri dalam khayalanku.” Celetuk Kartajaya sembarangan.
“Ck! Arsen benar, ternyata kau memiliki sisi gila yang tak terduga…”
***