36. Ticket For A Long Road

1089 Words
Kartajaya tidak bisa memalingkan pikiran atas percakapannya bersama Makula tatkala menikmati senja pagi tadi. Percakapan yang membuatnya sangat penasaran dan ingin tahu lebih jauh tentang semuanya, hanya saja Makula menutup mulut rapat-rapat setelah mengatakan satu prediksi besar di dalam kepalanya, seolah-olah ia baru saja melakukan satu kesalahan besar dan akhirnya terdiam cukup lama. Enggan menjawab satu pun pertanyaan Kartajaya. Pria itu mendesah kecil, lalu mengangkat pundak seraya menggeleng kepala. Berusaha mengalihkan pikirannya yang sejak tadi melanglang buana agar kembali kepada pekerjaan yang sedang dia lakukan. Usai melakukan latihan fisik bersama Prajurit Lord Yasa, Kartajaya mendapatkan tugas untuk membersihkan dapur bersama beberapa anggota lainnya. Selama satu jam lebih mereka merapihkan bahan makanan, mengepel lantai dapur dan mengelap seluruh peralatan dapur hingga mengkilap. Pada awalnya Kartajaya tercengang melihat seluruh peralatan dapur yang sangat canggih ini. Peralatan yang tidak pernah dia temui di Kerajaan Salaka. Rupanya orang-orang di kerajaan ini memasak dengan listrik dan jarang menggunakan api. Air disuling hingga bening. Makanan dimasukkan ke dalam mesin pendingin. Segalanya sangat berbeda. Perbedaan jaman membuat segalanya terasa asing bagi Kartajaya. Apalagi tahun dimana Kerajaan Salaka Berjaya dan tahun dimana Kerajaan Skars berlangsung sungguh jauh selisihnya. Sudah bisa dipastikan banyak sekali perkembangan jaman selama selisih tahun-tahun tersebut. Banyak sekali sejarah yang terlewat dan wajib Kartajaya pelajari mulai hari ini. “Hey, anak muda!” panggil Rocky – ketua Chef di bunker ini. Walau bukan orang yang benar-benar berpengalaman dan ahli dalam urusan masak memasak. Namun Rocky memiliki bakat dasar sebagai seorang koki yaitu mengenal dan menciptakan rasa. Sebab itu, dialah yang dipilih untuk memilih dan memasak menu harian yang bisa dikonsumsi oleh kelompok Lord Yasa. Dan tentu saja dia tidak sendirian dalam melakukannya, Rocky memiliki tim solid yang membantunya mempersiapkan seluruh bahan makanan dan lain sebagainya, bahkan para wanita adalah kelompok yang paling banyak memenuhi tim ini. Kartajaya menyimpan alat gosoknya ke dekat dinding, lalu berlari kecil menuju Rocky yang menatapnya dengan wajah tak sabaran. “Temani aku membeli bahan-bahan yang kita butuhkan…” ujar Rocky. “Bersiap-siaplah dan ambil semua barang yang kau butuhkan, terutama penutup wajahmu. Kau hanya punya waktu lima menit!” “Baik, Tuan.” Jawab Kartajaya. Ia pun berbalik, lalu berjalan cepat menuju ruang tidur yang menjadi tempatnya menyimpan beberapa barang pribadi. Kartajaya pun mengambil topi, kain penutup wajah. Mata Kartajaya terpaku saat menemukan sebuah kunci locker di balik sebuah buku catatan yang bertuliskan nama Aksata. “Mungkin ada sesuatu di dalam sini…” gumam Kartajaya. Saat Kartajaya mengecek seluruh isi lockernya, benar saja, ia menemukan beberapa barang penting milik Aksata. Ia mengecek sebuah kain tua berwarna abu-abu yang terikat. Kain yang sangat usang. Di dalam kain itu Kartajaya menemukan beberapa koin logam dan kertas bergambar. “Apakah koin ini adalah uang? Alat transaksi jual beli?” Gumam Kartajaya. Ia mendengus, tak ada siapapun yang bisa dia tanyai di ruangan ini kecuali dia siap mendapatkan tatapan aneh dari semua orang. Akhirnya Kartajaya pun memasukkan kain usang berisi koin dan kertas itu ke dalam saku pakaiannya, lalu mengunci kembali locker dan berlari menuju dapur. Di sana, Rocky terlihat kesal dan semakin tidak sabaran. “Mengapa lama sekali!? Andai yang lain tidak sibuk, aku tidak akan mengajak anak lemah sepertimu bersamaku…” marah pria itu. “Maaf, barusan aku mencari beberapa barang yang aku lupakan…” Rocky melambaikan tangan, “Sudah jangan banyak alasan. Ayo kita pergi!” Kartajaya pun mengangguk, lalu mengikuti langkah Rocky tepat di belakangnya. Rocky memiliki tubuh yang besar dan gempal, namun begitu ia bergerak sangat cepat dan tidak terganggu dengan berat badannya. Mereka menelusuri Lorong bawah tanah yang pagi tadi Kartajaya lalui untuk melihat Matahari terbit bersama Makula. Lorong itu memiliki beberapa percabangan sehingga hanya orang-orang yang paham dengan blue print bunker ini yang bisa selamat tanpa tersesat. Lorong bawah tanah itu gelap dan pekat, dibangun oleh orang-orang yang hendak mencari jalan keluar yang kiranya tidak akan membuat semua orang curiga tentang keberadaan kelompok pemberontak Lord Yasa. Rocky berbelok ke kiri dari jalur utama, kemudian lanjut berjalan selama tiga puluh menit ke depan dan belum juga mendapatkan ujungnya. Jalur yang mereka ambil sangat berbeda dengan jalur yang Kartajaya telusuri bersama Makula. Jalur ini lebih sempit, lebih gelap dan lebih dingin, lama kelamaan jalur itu mengerucut semakin kecil hingga mereka menemukan sebuah pintu besi yang sangat kokoh sebagai ujung dari perjalanan. Rocky memasukkan beberapa angka sebagai perpaduan kunci, kemudian pintu pun terbuka. “Jangan bertingkah aneh selama di luar sana. Bersikaplah seperti manusia normal pada umumnya!” Rocky mengingatkan. “Baik, Tuan.” “Bagus, begitulah kau harus berlaku. Kau berperan sebagai pelayanku, dan aku sebagai majikanmu.” Kartajaya mengerjap, ia menyebutnya dengan panggilan Tuan Sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua, tapi rupanya dimata Rocky ia terlihat seperti pelayan atau budaknya. “Baik, Tuan.” Jawab Kartajaya, enggan membuat masalah. Mereka pun keluar dari pintu besi itu dan menutupnya kembali. Keduanya menaiki anak tangga dengan langkah perlahan, lalu dengan satu tangannya, Rocky menarik lantai kayu di atas kepalanya hingga terbuka. Mereka pun keluar dari anak tangga itu satu per satu. Setelah Kartajaya berhasil mencapai puncak, Rocky kembali menutup lantai kayu dengan rapat dan melapisinya dengan karpet sehingga siapapun tidak akan menemukan keberadaan Lorong bawah tanah itu. Kartajaya mengedarkan pandangan, ia terkejut ketika mendapati dirinya berada di sebuah Gudang persediaan makanan yang sangat rapi dan terorganisir. Namun sayangnya, ia tidak menemukan satu pun pintu untuk keluar dari ruangan tersebut. “Kita sedang berada dimana, Tuan?” tanya Kartajaya. “Di ruang penyimpanan bahan makanan milik Lord Yasa. Kita berada di rumah Lord Yasa.” Kartajaya mengerjap, “Lord Yasa memiliki rumah pribadi?” “Rumah pribadi, istri cantik dan kekayaan. Semua dimilikinya.” “Wow!” seru Kartajaya. “Tidak usah berlebihan. Sebagian dari para tetua sebenarnya memiliki kehidupan pribadi di tengah masyarakat. Mereka tidak selalu berada di bunker karena mereka harus menjalankan peran di tengah masyarakat sebagai rakyat pada umumnya. Hal itu bertujuan untuk menyamarkan pergerakan kita.” Kartajaya mengangguk mengerti, kemudian mengikuti langkah Rocky menuju sebuah tembok. Ia menarik sebuah tuas, hingga lemari kayu yang ada di depannya bergeser ke samping dan ternyata lemari itulah pintu dari ruangan ini. Kartajaya dan Rocky keluar, lalu menutup pintu kembali dan ternyata mereka berada di arena dapur, terdapat beberapa pelayan di dapur tersebut namun sepertinya mereka tidak terkejut sama sekali saat melihat kehadiran Rocky dan Kartajaya. “Mereka adalah anggota perkumpulan kita. Tidak usah khawatir…” ujar Rocky kepada Kartajaya yang salah tingkah saat ditatap oleh para pelayan tersebut. “Sebentar lagi kita akan keluar dari rumah ini dan kau bertingkahlah dengan normal. Mengerti?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD