Esther berada di barisan pertama sebelah kiri sang ketua unit mereka, sementara Bara berada di belakang. Mereka kini telah berada di pinggiran kota, belum ada perintah dari atasan turun langsung untuk melihat kondisi yang begitu kurang kondusif dan kapan saja mereka bisa menjadi santapan jika keluar begitu saja.
Brak.. brak.. brak...
Mobil tim sedikit bergoyang akibat dorongan kuat dari luar, mereka telah bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Ketua tim meminta anggotanya untuk tidak berisik agar tidak mengundang para zombie, dan benar saja tak lama mobil berhenti bergoyang.
“Kapten, mereka menjauh dari mobil.” Ujar petugas dari radio mereka yang bertugas sebagai supir.
“Bagus, kita tunggu arahan dari atas.”
Tak lama suara kresek dari radio sang kapten terdengar, “OO1 Kapten Halim disini.” Ujar kapten Halim.
“Laporan masuk 001, Kapten Halim kami sarankan untuk turun ke lokasi saat malam agar kalian tidak terdeteksi. Para peneliti memberitahu jika pendengaran dan penciuman mereka sangat tajam, jadi jangan sampai melakukan kesalahan.”
“Yes sir.”
“Satu lagi, matikan otaknya, hanya itu salah satu cara untuk melumpuhkan mereka.”
“Yes sir.”
“Semoga berhasil.”
“Yes sir.” Kali ini bukan hanya kapten Halim yang menjawab tapi para anggota unit ikut menjawab.
Kapten Halim melihat anggotanya, “Kalian diberikan waktu sampai malam untuk menghubungi keluarga di rumah, setelah itu kita fokus pada penyelamatan.” Katanya.
“Yes kapten, terimakasih.” Seru mereka segera meraih hp masing-masing dan mulai menghubungi keluarga mereka, dan doa agar bisa selamat melakukan tugas kali ini.
Di saat anggota lain menghubungi keluarganya, Esther hanya memejamkan mata memeluk erat senjatanya. Bara yang melihat itu hanya tersenyum simpul di sela-sela teleponnya bersama sang ibu. Gue harap ini bukan seperti yang lo pikirkan. Bara berharap Esther tidak keluar dari rombongan melihat gadis itru sejak tadi begitu gelisah seperti tengah merencanakan sesuatu di belakang mereka.
“Jangan menatap saya seperti jendral Bara.” Sahut Esther di tengah pejaman matanya, Bara tersentak segera berpaling pura-pura sibuk memeriksa perlengkapannya.
“Oh bu, khem.. iya ini lagi ngecek perlengkapan.” Kata Bara.
Ali melihat tingkah sahabatnya diam-diam menahan tawa terkikik geli begitu yang anggota lain. Seperti inilah mereka walau bahaya berada di depan mata senyum terus terukir agar tidak terlalu khawatir dalam menjalankan tugas.
“Jenderal Esther, tidak menghubungi ayahmu?” tanya kapten Halim melihat anggota kebanggaan unit mereka hanya diam.
Esther membuka mata menegakkan kepalanya ke depan berkata, “Tidak kapten, ayah sedang sibuk mungkin.”
“Sesibuk apa sampai tidak menghubungi putrinya yang hendak bertarung nyawa sekarang.” Ujar kapten Halim menggeleng pelan.
“Saya baik-baik saja kapten.”
“Kamu harus selalu baik.”
“Yes kapten.” Esther hormat setelah itu kembali memejamkan mata setelah menurunkan tanganya. Helaan nafas kasar dari bibir tipisnya terdengar oleh Bara, pria itu ingin melempar pertanyaan namun di urungkan melihat wajah tak mengenakkan dari gadis itu.
Ting.. pesan singkat baru saja masuk, sayangnya Esther mengabaikan hal tersebut dan tetap memilih memejamkan mata.
“Jenderal, yakin tidak ingin melihat pesannya dulu?” sahut Ali, Bara mengerutkan hidungnya ke arah Ali sebagai bentuk jika sahabatnya melakukan kesalahan.
Berbeda dengan tanggapan yang Bara bayangkan, Esther merogoh saku melihat hpnya membuka pesan tersebut membuat Ali memeletkan lidah pada Bara. Pria itu memutar bola mata kesal sebelum lagi-lagi helaan nafas berat terdengar dari Esther.
“Ada apa?” Bara memberanikan diri bertanya tak peduli jika mendapat tanggapan sinis dari gadis yang telah mencuri hatinya sejak bergabung dengan tim militer.
“Bukan apa-apa, hanya spam.” Jawab Esther tak ada sinis sedikitpun hanya terdengar dingin, Bara mengulum senyumnya merasa senang.
“Disana sekolah bukan sih?” tanya salah satu anggota sedikit mengintip di sela-sela jendela mobil. Mendengar hal tersebut mereka ikut melihat keluar, termasuk sang kapten meraih teropong dan menajamkan pandangannya.
“Ini weekend kenapa sekolah buka?” tutur kapten Halim bertanya pada dirinya sendiri.
Esther yang ikut menggunakan teropongnya pun menjawab. “Ada kegiatan mungkin kapten.” Lalu menghela nafas melihat beberapa anak kecil sudah terinfeksi. “Anak-anak, apa kita juga harus mengeluarkan isi otaknya?”
“Tidak ada cara lain. Tapi apa kita akan kesana? Kurasa sudah tak ada yang bisa di selamatkan?” ujar Ali.
“Bagaimana menurutmu jenderal Esther?” tanya kapten Halim menurunkan teropongnya beralih menatap Esther.
“Yes kapten, saya akan memimpin empat anggota ikut.”
“Itu yang ingin saya dengar Jenderal.” Ujar kapten Halim tersenyum.
“Damian, Aidil, David dan Ali bersiaplah, kita akan keluar sekarang.” Ujar Esther dan tanpa bertanya, mereka yang namanya di sebut melakukan perintah sang jenderal.
“Tunggu? Ingin pergi sekarang tanpa perintah dari atas?” tahan Bara melihat sang kapten. Sebenarnya bukan itu alasanya, bara khawatir pada Esther makanya dia menahan gadis itu.
“Ini sudah senja kamu bisa melihat disana, kami akan kembali sebelum kita ke alun-alun.” Ujar Esther menekuk lututnya bersiap untuk keluar begitu juga 4 anggota lainnya.
“Tapi.. “
“Yang lain lindungi mereka.” Potong kapten Halim dan mau tak mau Bara segera bersiap.
“Bisakah kamu hati-hati Esther?” gumamnya masih terdengar oleh gadis itu.
“Hem.” Dehem Esther menatap sang kapten yang bersiap membuka pintu.
“Satu.. dua.. tiga.. go!”
Pintu terbuka setelah sang kapten selesai memberi aba-aba, Esther melompat keluar di ikuti yang lain, hanya empat yang mengikutinya sedangkan yang menebaki para mutan yang menyadari keberadaan mereka.
Karena mendengar suara tembakan para mutan berlarian ke arah mereka sementara Esther telah jauh dari pandangan mereka.
“Save now!”
Mendengar perintah sang kapten, mereka pun segera kembali masuk ke mobil menutup kembali pintu dengan rapat. Setelah kembali ke tempat masing-masing, bara segera menghidupkan kamera yang tersambung di masing-masing topi pengaman Esther dengan anggota lainnya.
Mereka fokus pada layar, Esther merunduk menarik Ali ke samping supaya tidak terlihat oleh para mutan. Tangan gadis itu membentuk simpul seperti kode dan itu tidak biasa karena sang kapten pun tidak mengerti arti simpul kode tersebut selain anggota.
“Ada mengerti maksud simpul tersebut?” tanya kapten Halim, para anggota menggeleng karena itu pesan Esther bila mana simpul kode tersebut hanya boleh di ketahui para anggota tim khusus. Kapten Halim mengangguk percaya walau masih penasaran.
Di tempat Esther mereka berhasil melewati beberapa mutan yang berpatroli di sekitar sana, sayangnya sekolah masih setarus meter dari tempat mereka bersembunyi sekarang. Tangan Esther memberikan merintah untuk mereka terus maju, karena jalanan yang dia ambil adalah lorong untuk bisa sampai disana jadi hanya beberapa mutan di hadapan mereka, sebelum menembak jari Esther kembali memberikan perintah dan para anggota segera mengganti senjata yang tidak berbunyi saat melakukan penembakan biar tidak mengundang yang lain.
Esther lebih dulu menembak di ikuti Ali dan anggota lain, mereka terus berjalan tanpa ingin berlindung dari para mutan yang kin tak berdaya dengan kepala menjadi sasaran. Tepat di jalan besar karena sekolah berada di seberang Esther mengangkat tangan untuk berhenti sebentar membiarkan rombongan mutan berlalu pergi. Hampir 2 menit menunggu Esther kembali berjalan lebih dulu, kali ini bukan memakai senjata tapi kekuatan tenaga. Awalnya hanya Esther kemudian di ikuti yang lain, mungkin karena anak-anak makanya Esther hanya memutar kepala mereka kemudian di ikat bersama.
Bara tersenyum memandang layar bagaiaman cara kerja seorang jendral seperti Esther. Tanpa melukai anak-anak itu, Esther dan anggota berhasil memasuki kawasan sekolah. Ali menembak seorang guru di hadpaan mereka, namun lagi-lagi menggunakan tenaga saat melihat beberapa anak-anak di belakang guru tadi.
“Damian dengan saya yang lain ikut Ali, kita bertemu di sini.” lontar Esther.
“Siap jendral.”
Mereka pun berpisah, Esther dan Daniel berjalan ke arah kantin sementara Ali ke arah kantor guru. Di tempat lain, Ayu masih meringkuk bersama bu Sindy merasa lelah berada dibawah meja, ini sudah senja tapi Jaka belum nampak juga sedangkan ponsel Ayu sudah mati kehabisan daya.
“Ayu, kamu mau ikut ibu keluar? Kita udah nunggu lama tapi abang kamu datang juga jad ibu pengen keluar dari sini,” ujar bu Sindy pada Ayu.
“A-ayu ikut ibu aja.”
“Yuk keluar, pelan-pelan aja jangan sampai mereka sadar.”
“Baik bu.”
Dengan saling berpegangan erat keduanya pelan-pelan keluar dari ruang guru. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan bala bantuan makanya tidak bertemu. Namun kejadian tak inginkan terjadi dimana keduanya bertemu penjaga sekolah menghadang mereka, Ayu yang belum siap berlari terjatuh hingga pegangan gurunya terlepas.
“I-ibu jangan tinggalin Ayu hiks.. ibu tolongin Ayu hiks... “ Ayu mengulurkan tanganya ke arah sang guru melihat penjaga sekolah semakin dekat padanya, entah keegoisannya yang tak ingin mati di tangan penjaga sekolah bu Sindy ketakutan meninggalkan Ayu yang berteriak histeris.
“Ibu.. tolong!! Abang!!”
Mendengar suara jeritan Ali segera berlari begitu juga Esther, syut.. patsh!! Tepat mengenai kepala penjaga sekolah, Ali menurunkan senjatanya melihat Esther berada di lorong berbeda dengan mereka namun tetap mengenai sasaran. Pria itu berlari ke arah Ayu, gadis kecil itu pingsan.
“Jendral, dia pingsan!!” ujar Ali segera membopong Ayu.
“Sepertinya dia bersama orang lain tadi? Ali dan Aidil kembali langsung bawa anak ini ke kamp kalau bisa, kalian ikut saya.” Kata Esther di angguki yang lain. Dan mereka kembali berpisah.
“Bagaimana kekasih kalian?”
Damian dan David mendengar pertanyaan tiba-tiba itu kebingungan untuk memberikan jawaban seperti apa.
“Ini untuk menghilangkan sikap gugup kalian.” Lontar Esther. Mereka menengok ke bawah dimana Ali dan Aidil di halangi oleh beberapa mutan dari luar sekolah, Esther merakit senjata nya begitu juga yang lain kemudian menembaki para mutan. Ali dan Aidil menengok mendongak tersenyum melihat ketiga kawan mereka melindunya dari jauh.
*
*
*
*
Jaka memukul setir mobilnya, ia sama sekali tak bisa lewat dimana mobil banyak yang terbalik di tengah jalan. Ini sudah senja, pilihannya hanya satu menerobos para mutan di sana.
Brak! Bugh!!
Jack melayangkan kepalan tangan ke arah belakang Niko setelah melempar pemuda itu agar menjauh dari hadapannya, dimana wanita itu hendak menyerangnya.
Bentukan wajah wanita itu sudah tidak asing lagi, Niko merangkak mundur belum terbiasa dengan hal dilihatnya. Ingatannya malah kembali dimana orang tuanya berteriak keras setelah mendapat gigitan dari orang-orang yang sudah terinfeksi.
"Entahlah sialan!" dengan raut muka ketakutan Tiger kembali memukul wanita tersebut dengan apapun yang bisa tangannya raih.
Bunyi Bogeman menggema dalam toko, Tiger menghentikan kegiatannya setelah wanita itu sudah tak berdaya. Dengan nafas terengah-engah Tiger berjalan mundur, perutnya terasa diputar membuatnya ingin muntah mengusap darah di tangannya.
"Huph.. " menutup mulut mencoba menenangkan diri, perasaan bersalah kembali singgah kala melihat wanita tersebut. Maaf.
Niko masih tak bereaksi dengan kejadian itu, tubuhnya bergetar hebat merasa tulang menulangnya menjadi lembek. Tiger menengok ke arah Niko setelah menyadarkan diri, “Lo mau jadi patung disana atau bantuin gue nyeret nih orang.” Ujarnya namun tak dihiraukan oleh Niko. Tiger berdecak kesal menarik wanita tadi ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari luar.
Tiger berjalan ke dapur mencari makanan apa saja yang pantas di makan selama mereka berada di sana. “Ahh.. syukurlah ada indomie, mudah-mudahan yang lain ada. Oh? Charger! Lo menyelamat gue.” Dengan gembira tiger merogoh sakunya dan mengisi daya hpnya. Untung saja kompor disana masih menyala dengan baik jadi memudahkan untuk memasak air. “Sepertinya di sini cocok untuk diam sementara.” Gumamnya, ia menengok keluar yang terhalang dinding lalu menghela nafas kasar mengingat apa yang hari ini mereka lalui.
“Kalian apa kabar? Maafin Tiger bu.” Suara tiger bergetar tanda menahan tangis. Wajah senyum dan suara omelan kedua orang tua begitu terdengar jelas semakin menambah sesak di hatinya. “Bisakah kalian menguatkanku? Jika bisa biar aku saja yang menjadi bagian dari orang-orang menjijkkan idi luar sana.” Memegang erat pinggiran pantry menunduk terisak, air mata sudah tak bisa terbendung lagi kala mengingat senyum sang ibu.
“Harusnya ini hari bahagia karena aku bisa membuktikan kalau anak gak berguna seperti Tiger bisa mendapatkan hasil hanya dengan game tapi kenapa hiks.. “ tiger menegakkan punggungnya mendengar suara air mendidih, ia mengusap air matanya berbalik. “Gak Tiger, tugas lo masih ada Niko yang harus lo jaga seperti pesan ibu dan kali ini yang mengecewakan mereka dengan menjadi anak tertua.” Ujarnya membuka bungkusan indomie dan memasaknya dengan baik.
Setelah tiga menit, tiger mencari sendok habis itu keluar agar bisa berbagi dengan Niko namun saat sampai di luar, pemilik senyum kotakl itu tak ada disana. Tiger meletakkan mie nya kemudian mencari Niko namun terhenti ketika melihat pintu sedikit terbuka.
“Sial! b******n itu gak ada otak atau apa sih!” Tiger yakin Niko keluar dari toko. Mengacak rambut tak peduli lagi dengan Niko, Tiger duduk bersila meraih mie nya yang sudah membengkak. Saat ingin menyuap, teriakan ibunya meminta dia menjaga Niko terdengar membuatnya mengurungkan niatnya untuk makan. “Gue habisin lo kalau dapat b******n!!”