1 Jam sebelum kekacauan terjadi, seorang perwira polres Mitra jakarta pusat mendapat sangsi karena tanpa sengaja menarik senjata saat bertugas. Jaka Wirawan tanpa sengaja melakukan hal tersebut akibat tersulut emosi pada oknum pelaku kejahatan pemerkosaan yang tampak santai bahkan tertawa seolah menikmati kejahatan yang diperbuatnya. Walau begitu, atasan tetap menyayangkan tindakan Jaka dan maka dari itu ia mendapat skorsing selama seminggu.
Jaka menghela nafas berat setelah keluar dari ruangan pak kepala kepolisian., mengabaikan tatapan kasihan rekan-rekannya ia berjalan ke tempat penyimpanan guna mengembalikan senjata api serta tanda pengenal miliknya.
“Mohon bersabar, gue ngerti kenapa lu lepas kendali seperti itu.” Andi Pratama rekan Jaka datang menepuk pundak sahabatnya.
“Ya gimana ya? Masalah nya korban anak di bawah umur bung dan gue paling sensitif soal umur. Gue langsung ke bayang Rahayu tau gak.” Sungut Jaka.
Rahayu Wiraswati adik Jaka, umur nya 10 tahun sama seperti si korban makanya Jaka sedikit hilang kendali merasakan perasaan keluarga korban.
“Ya udah mending lu balik deh, om sama tante lagi ke bandung kan? Kasian Ayu sendirian di rumah.”
“Dia lagi sekolah.”
“Hei, ini weekend anjir. Ngapain ke sekolah?”
“Ck, dia lagi ada kegiatan makanya kesana.”
“Ngompol dong.”
“Ngomong pe’a! Udah ah, mau balik gue.” Jaka berlalu meninggalkan Andi yang cengengesan merasa malu, niatnya ngelucu malah jatuhnya garing.
“Pak Andi, pak Jaka mana?” Jasmin salah satu petugas baru disana datang membawa minuman berkaleng di tangannya.
“Buat saya ya? Makasih loh.”
Jasmin menjauhkan kaleng tersebut agar tak di jangkau oleh Andi. “Eh? Maaf senior ini buat pak Jaka, hehe.” Ucapnya merasa bersalah.
“Ish, kirain buat saya. Kalau nyari Jaka, dia udah balik barusan.”
“Yah.. telat dong.”
Andi tadinya bersandar di dinding kantor langsung tegap hormat melihat atasannya datang. “Selamat pagi pak.” Setelah itu menurunkan tangan di ikuti Jasmin.
“Selamat pagi. Jaka sudah pergi?”
“Sudah pak, barusan aja tadi. Ada apa ya pak?” tanya Andi.
“Kamu satu tim sama dia’kan? Kalau gitu ambil alih kasusnya sama Duta, biar ini gak berlarut-larut. Media juga jangan sampai banyak tau dari luar sementara kita belum menutup kasusnya.”
“Baik pak, saya akan diskusikan sama Duta. Kita juga mau balik ke tkp dulu sebentar karena kata Jaka tima redaksi melewatkan sesuatu disana.”
“Oke, saya percaya kalian bisa menyelesaikan ini.” Ujar pak Hardy selaku atasan, kemudian pergi setelah menyampaikan niatnya.
“Bapak gak ngasih tau pak Jaka kalau kasusnya dialihkan?”tanya Jasmin.
“Nanti bakal ketemu disana. Duta kemari sebentar,” panggil Andi selaku senior.
“Iya pak, ada apa?”
“Kita ke tkp sekarang, jangan lupa hubungi tim forensik buat ketemu disana.”
“Baik pak.” Setelah itu Duta pun menjauh sedikit dari mereka untuk menghubungi tim forensik, sementara Andi pamit pada Jasmin berjalan keluar dari kantor. Melihat Andi keluar, Duta mengikutinya dan mereka pun meninggalkan kantor.
“Jadi gak semangat kerja gak ada pak Jaka.” Gumam Jasmin seperti berbisik kembali ke tempat duduknya.
Di sisi lain Jaka barusan keluar dari swalayan kemudian duduk di depan toko membuka kaleng minuman bersodanya menatap pengendara atau pejalan kaki yang berlalu lalang entah mau kemana. Menghela nafas panjang lalu merogoh saku celana mencari hp.
“Halo dek, dimana? Abang udah pulang, lagi mampir di swalayan.”
“Ayu masih di sekolah bang, jam 11 siang baru balik.”
“Berarti gak jadi ke pantai dong?”
“Ih~~~ kan udah janji bakal kesana nanti. Lagian masih siang juga, ada sore kan bisa abang.”
“Hahaha, ya udah nanti abang jemput di sana. Mau balik dulu siapin baju. Mau dibawain baju gak?”
“Baju renang hadiah dari papa.”
“Oke siap, oke abang matiin ya,”
“Oke abang.”
Duk!!
Jaka menutup panggilannya berdiri meraih dompet yang jatuh di samping kakinya. Sebelum sang pemilik pergi, ia berlari ke arah mereka.
“Dek tunggu, ini dompetnya jatuh tadi.” kata Jaka mengulurkan dompet hitam ke gadis di depannya.
Gadis itu terlihat mencari dompetnya tapi tidak ada, “Dompat kamu, yang?” tanya pemuda yang berada di atas motor. Mungkin pacarnya, pikir Jaka.
“Hehehe iya, makasih ya kak.” ujar gadis itu meraih dompet di tangan Jaka.
“Sama-sama, lain kali hati-hati.” Ucap Jaka berbalik kembali ke toko tadi mengambil minumnya kemudian berjalan ke arah mobil.
Pipp!
Jaka membunyikan klakson ke arah rombongan remaja tadi setelah itu berlalu pergi.
“Mkasih kak.” teriak mereka.
“Gila ya, jaman sekarang masih ada gitu orang baik kayak dia.” Cicit pacar si gadis.
“Alhamdulilllah berarti dong. Udah yuk, guys jalan sekarang takut pantainya makin rame,” ajak si gadis dan mereka pun berlalu pergi dengan tujuan pantai untuk berlibur.
Kembali ke Jaka, pria memasuki kawasan rumah tak besar tapi juga tak kecil. Setelah memarkirkan mobilnya ia keluar dan berjalan memasuki rumah, terus melangkah masuk hingga sampai di ruang makan lalu membuka kulkas meraih botol air dan meneguknya perlahan hingga habis.
“Ahh.. mantap emang.” Ucapnya menutup kembali kulkas tersebut, tatapannya mengarah pada jam dinding di atas tv. “Jam 9 masih banyak waktu.” Lanjutnya berjalan ke arah sofa. Jaka sempat memainkan hp sebelum akhirnya terlelap disana.
Satu jam terlelap Jaka sampai lupa waktu bahkan tak tahu jika kota telah kacau begitu juga keadaan sekolah, dimana seorang gadis tengah meringkuk ketakutan di bawah meja guru bersama wali kelasnya. Ayu tadinya membantu wali kelas untuk menyimpan prakarya hasil kegiatan kelas namun tanpa sengaja ia melihat dari jendela dimana orang-orang berlarian dan saling gigit menyerang hingga teman-temannya jadi korban.
Awalnya ingin membantu salah satu teman yang tergigit, Ayu malah di serang kalau saja bu Sindy tak ada mungkin sekarang Ayu sudah menjadi salah satu dari mereka.
“B-bu hiks.. mereka kenapa? Kok saling gigit? Ayu takut bu hiks... “ Ayu begitu ketakutan sampai bergetar, sudah menghubungi sang abang tapi malah tidak di angkat.
“Tenang ya, ibu juga gak tau mereka kenapa yang pasti akan berbahaya klalau kita keluar sekarang.” Ujar bu sindy. “Sebentar, ibu cari tau dulu.” Mencari hpnya tapi ternyata dia melupakan benda itu di meja kelas.
“Kenapa bu?” tanya Ayu melihat wajah kesal sang guru.
“Hp ibu ketinggalan di kelas.”
“Pake hp Ayu aja bu.” Ayu mengeluarkan hpnya yang mengalun di lehernya pada sang guru. Bu Nindy pun tersenyum membuka yutup mencari informasi tentang apa yang terjadi.
“Astaga!!” bukan hanya wanita setenga baya itu terkejut tapi juga Ayu, dimana mereka melihat kejadian pertama kalinya.
“A-abang a-ayu takut hiks... “ anak itu segera meraih hpnya dan kembali menghubungi Jaka abangnya dan terhubung.
“Abang kemana aja hiks.. “
“Eh?! Kok nangis? Kenapa? Maaf tadi abang ketiduran. Kamu kenapa?”
“Ayu sini biar ibu yang ngomong.”
Ayu pun memberikan hpnya pada bu Sindy membiarkan sang guru berbicara pada abangnya.
“Halo mas Jaka ya, ini mas kita terjebak di dalam ruang guru. Mungkin mas bisa lihat keadaan di luar sekarang.”
Jaka yang bingung bangun dari sofa mencoba mengumpulkkan nyawa bertanya, “Maksudnya apa ya bu? Saya baru bangun soalnya. Bentar bu,” beranjak dari sofa setelah mendengar keributan diu luar rumah. Ia mengibas horden dan terkejut melihat orang-orang saling serang.
“A-apa yang terjadi?” gumamnya namun terdengar disana.
“Katanya virus mutan semacam zombie gitu lah mas. Sekolah juga udah terinveksi untungnya saya sama Ayu masih bisa selamat tapi murid lain dan beberapa guru sudah menjadi bagian dari mereka. Sekarang kita berdua malah terjebak di ruang guru.”
“Apa!!’ Jaka menyalakan tv. “Mana mungkin ada yang... “ terdian ketika video pertama penyakit itu menyebar.
“A-abang hiks.. Ayu takut hiks... “
Jaka tersadar kala mendengar isak tangis ketakutan adiknya. “Ayu dengerin abang, Ayu tetap disana sampai abang datang. Abang kesana sekarang!”
“A-abang hati-hati hiks... “
“Jangan nangis, hem. Abang janji gak akan lama nyampenya.”
“Iya.”
Setelah mengakhiri panggilannya, Jaka bergegas pergi, sebelum itu ia berlari ke kamar mengambil senapan dan juga beberapa bahan peledak untuk berjaga-jaga. Saat ingin keluar dari rumah, hpnya berbunyi nyaring hingga mengundang beberapa orang yang telah terikferksi berlari kearahnya. Melihat hal itu ia cepat tanggap berlari ke mobil dan menutup rapat pintu tak lupa menguncinya.
Mengusap d**a mengucap syukur kala melihat mereka menjauh karena kaca mobil Jaka tak tembus pandang. “Mama.. “ cicitnya kala melihat siapa yang menghubunginya. Ia pun segera menghubungi balik sang mama.
“Halo ma.”
“Astaga abang!! Kenapa baru di angkat sih? Mama sama papa gak bisa lewat, semua jalan ke jakarta di tutup jadi kita... “
“Mah, jangan kembali kesini!”
“Terus kalian gimana, adik kamu Ayu ada disana kan?”
“Ayu di sekolah, sekarang abang bakal jemput dia.”
“Abang hiks.. mama mohon kalian harus selamat nak hiks... “
“Abang janji ma. Papa disanakan? Pah, maaf kalau selama ini abang selalu jadi pembangkang yang terus ngelawan papah. Abang bahagia jadi perwira pah. Abang janji bakal jagain Ayu buat kalian.”
“Ab... “
Tut... tut... tut...
Jaka menutup telepon secara sepihak lalu meninggalkan rumah, tak peduli menabrak orang-orang yang telah berubah itu. Mobil melaju kencang melewati perumahan dimana satu keluarga terjebak di kontakan mereka.
“Mas gimana sekarang? Makanan kita hanya sampai beberapa hari ke depan, ibu lupa belanja kemarin sementara di luar mereka menunggu kita sebagai santapan.” Nur sang istri terduduk memeluk kedua anaknyanya.
“Adek bayinya gapapa’kan bu?” tanya Yuda 15 tahun anak pertama.
“Gapapa nak, cuman keram dikit aja tadi, mungkin kaget.” Jawab Nur mengusap perut besarnya. Wanita itu tengah hamil 7 bulan.
“bu, kalau bapak sama Yuda keluar gapapa’kan? Kita gak bisa nunggu bala bantuan yang belum tentu sampai kemari.” Ucap Bima suami Nur. Pria yang bekerja sebagai gojek online itu mengharuskan Bima bekerja di luar namun entah kenapa dia begitu malas hari ini jadi lebih baik di rumah menghabiskan waktunya bersama keluarga dan dengan adanya kejadian ini dia jadi mengerti mengapa hatinya tidak tenang meninggalkan keluarga begitu rasa malas menghampirinya.
“Jangan gila kamu mas! Yuda masih kecil, mana ngerti dia soal apa yang harus dia hadapi diluar sana. Gak ada yang pergi aja kalau gitu.” Sungut Nur tak setuju dengan ucapan Bima. Bagaimanapun sangat berbahaya meninggalkan rumah dalam keadaam kacau seperti ini, akan lebih baik mati kelaparan daripada menjadi santapan mutan kelaparan diluar sana.
“Ya udah biar bapak aja yang pergi malam ini, kalian di rumah aja jangan kemana-mana. Swalayan kebetulan dekat simpangan doang jadi dekat aja.”
“Yuda ikut bapak!” celetuk Yuda tidak ingin sang ayah pergi sendirian.
“Gak ada yang boleh pergi, abang sama bapak jangan kemana-mana hiks.. “ Yora 7 tahun menangis memeluk pinggang Bima ayahnya.
“Mas, lebih baik kita tunggu bantuan aja ya, ibu gak mau kalian kenapa-napa hiks.. “ Nur menangis tak ingin ada yang meninggalkan rumah,
Bima menghela nafas berat, sebenarnya ia juga tidak rela jika meninggalkan keluarganya yang belum tentu dia bisa kembali kemari.
“Baiklah kita tunggu sampai tiga hari ke depan, sampai bantuan datang. Mudah-mudahan makanan kita cukup sampai mereka datang.” Bima berjalan mendekati jendela, sedikit menengok keluar, masih belum kondusif mala semakin kacau.
“’Pak Eko ada di rumah gak ya?” tanyanya pelan melihat rumah tetangganya terlihat sepi.
“Desi kemarin bilang sama Yora kalau hari ini mereka mau liburan ke pantai.” Kata Yora, anak itu mengangguk mendapat tatapan dari keluarganya.
“Kayaknya sih mas mereka jadi pergi, soalnya tadi kalau gak salah pak Eko manasin motor, bu siti juga biasa ada ngajakin ke depan nunggu sayur lewat tapi tadi gak ada.” Timpal Nur.
Bima mengangguk, “Yuda bantu bapak geser meja ke pintu, kita gak tau seberapa kejamnya mereka.”
“iya pak.”
Mereka pun menutup rapat semua pintu dan jendela, Nur menyiapkan lilin untuk malam nanti karena lampu akan di matikan selama kejadian ini. Untungnya air tetap akan mengalir, selain itu semua akan di matikan.
ARRGGGHHH!!
“Aaahh... !! ibu!!” Yuda tak sengaja mengibas jendela kamarnya menjerit takut hingga terjatuh dari kasur kala melihat manusia mutan nemplok di kaca jendela.
Nur yang tengah hamil besar berlari ke arah Yuda memeluk sang anak berteriak memanggil Bima, “Mas, cepat kemari!!” pinta nya dan tak lama Bima datang bersama Yura. Anak itu bersembunyi di belakang ibunya sementara Bima buru-buru menutup horden di tambah kain agar tidak terlihat ke dalam. Meski ketakutan Bima tetap harus melindungi keluarga kecilnya, setelah itu dia bersandar memandang wajah pias Yuda.
“Udah gapapa, bapak udah tutup kok,” ujarnya mencoba tersenyum.
“M-mas, di sini aman’kan? Nur aja takut, gimana anak-anak.” Ujar Nur bergetar memeluk kedua anaknya.
“Aman kalau kita tidak keluar.” Bima beranjak, “Ayo kita istirahat di ruang tamu aja.” Ajaknya di angguki istri dan anak-anaknya.