Cerai

1048 Words
"Sekarang apa maumu, hah?!" Mario mencengkeram leher Valleria dengan kuat hingga membuat Valleria kesulitan nafas hingga tangannya berkali-kali berusaha memukul Mario. Akhirnya Mario melepaskan cengkeraman tangannya dan membuat Valleria terbatuk karenanya. "Kamu sudah gila, Mario? Aku bisa mati karenanya?!" ketus suara Valleria yang masih mengumpulkan tenaganya setelah hampir kehabisan nafas. "Makanya gak usah banyak drama. Aku benar-benar tercekik dengan pernikahan kita. Aku bisa gila jika terus menikah denganmu. Aku muak dengan semua yang ada kaitannya denganmu. Itu sebabnya jangan sampai kau pengaruhi anakku untuk maksain diri tinggal bersamamu, paham?!" hardiknya lagi membuat Valleria semakin lemas. "Pokoknya kita CERAI! Titik. Mau seberapa pun kamu bujuk nenek aku sudah tidak perduli. Aku hanya mau CERAI! CERAI. Dan CERAI! Haizzhh!!" teriak Mario lagi sembari meremas rambutnya bak orang putus asa. Valleria hanya terdiam seolah dirinya tak memiliki tenaga lagi. Hanya air mata yang mampu mengalir membahasi pipi. "Nangis aja bisanya! Sudahlah. Aku kesini hanya ingin memperingatkanmu untuk tidak mencampuri urusanku terlebih soal Brigitta. Atau kau yang aku seret untuk keluar dari rumah ini. Paham!" ucapnya lalu melangkah menuju pintu keluar, dan dia menghentikan langkahnya sejenak lalu berkata. "Ingat! Jangan sampai Brigitta tau aku datang ke rumah ini. Mati kamu aku buat!" ancamnya lalu dia melangkah meninggalkan rumah yang selama lima tahun ini dia tinggali. Sepeninggal Mario, terlihat Valleria terduduk di lantai marmer rumah megah yang dia tinggali selama pernikahan. Tangisnya pecah merasakan kepiluan hatinya setelah perjuangannya berusaha mempertahankan pernikahannya selama lima tahun dengan sang suami akhirnya harus kandas juga. "Mamaaa...Mama jangan nangis, nanti Brie sedih kalau Mama sedih..." sebuah pelukan tangan kecil membuat hatinya semakin hancur. Valleria menoleh dan trenyuh melihat kepedulian anak sambungnya yang memang sangat peduli terhadapnya selama ini. "Enggak, Sayang. Mama cuma terjatuh aja makanya Mama nangis. Hahaha...mama cengeng ya?" jawab Valleria sembari memeluk erat Brigitta. "Mama. Mama gak usah bohong sama Brie. Brie tahu kok kalau Mama berantem sama Papa. Gara-gara Brie. Papa jahat!" celetuk bocah itu dengan lancar. Valleria menggeleng cepat. "Tidak, Nak. Kamu salah. Papa tidak berantem apalagi gara-gara Brie. Papa tidak jahat ya. Papa hanya sedang lelah saja. Papa Brie adalah yang terhebat..." jawab Valleria sembari mengacungkan jempolnya di hadapan Brigitta dengan senyum yang terpaksa dia ulas. Tapi sayangnya Brigitta adalah anak yang cukup cerdas, sehingga dia mengetahui dan dapat menilai apa yang dia dengar dan dia lihat terlebih umurnya yang sudah bukan balita lagi. Brigitta menggeleng cepat. "Mama. Mama tidak boleh bohong. Mama berhak bahagia. Papa memang jahat. Papa tidak pernah perduli dengan mama. Brie mau ikut mama saja kalau mama dan papa cerai. Brie gak mau ketemu ibu yang melahirkan Brie. Ibu lebih mementingkan diri sendiri daripada Brie..." celotehnya dengan lancar hingga membuat Valleria terdiam menatap anak yang dahulu dia asuh kini sudah sangat lancar berbicara. "Hust...siapa yang berkata demikian. Gak boleh, Sayang. Ibu Brie adalah Ib terhebat karena sudah melahirkan Brie..." ucap Valleria menghentikan kalimatnya karena seolah kalimat lanjutan tersekat di tenggorokan karena teringat kalimat yang di lontarkan sang suami yang menyatakan dirinya adalah mandul. Valleria menghela nafas sejenak menekan emosinya agar tetap terlihat tegar di hadapan Brigitta demi menjaga kesehatan mental anak yang telah dia asuh dengan penuh kasih sayang itu. "Papa juga Papa yang hebat. Sebagai anak yang berbakti. Brie tidak boleh membenci atau mencela kedua orang tua ya, Nak..." nasehat Valleria sembari membelai rambut gadis kecil yang selama ini menjadi pelipur laranya. Lalu dia bangkit berdiri. "Sekarang sudah sore. Saatnya Brie mandi...yuk...mama siapin bajunya. Mba Lika lagi berberes kan? Yuk mama temenin..." ucap Valleria lagi lalu mereka berjalan menuju kamar sang anak dengan bergandengan tangan. Setelah menyelesaikan menemani Brigitta, Valleria beranjak untuk menuju kamarnya. "Nak. Selesaikan tugas rumah yang di kasih ibu guru, ya? Biar papa gak marah lagi. Anak hebat harus menyelesaikan tugasnya tepat waktu..." ucap Valleria di akhiri senyum manis di akhir kalimatnya. "Baik, Mama. Biar Mama gak di marahin Papa. Brie janji akan belajar dengan lebih giat lagi..." jawab Brigitta polos. "Wahh! Anak Mama pinter. Sini peluk Mama dulu..." ucapnya dengan lebih bersemangat. Setelah berpelukan, akhirnya Valleria meninggalkan kamar sang putri sambung menuju kamarnya untuk mengganti pakaian sepulang bekerja. Valleria masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Tanpa sadar air matanya keluar membasahi pipinya. "Tuhan...haruskah aku akhiri perjuanganku sampai di sini? Haruskah aku melepaskan keluargaku satu-satunya. Setelah sejak lahir aku tidak memiliki keluarga dan di besarkan di panti asuhan. Hingga akhirnya aku menikah. Kenapa sekarang harus hancur lagi, ya Tuhan! Apakah aku masih kurang sabar atas ujian ini? Apakah aku masih kurang bersyukur atas semuanya? Aku harus bagaimana lagi, ya Tuhan agar perceraian ini tidak terjadi?" rintihnya pilu. Maklum saja, setelah sejak kecil menjadi yatim piatu dan di besarkan di panti asuhan, Valleria sangat bersyukur bertemu dengan Mario yang menerimanya dengan tulus kala itu. Siapa sangka rumah tangganya justru berakhir begini. "Tidak. Aku tidak bisa menyerah dengan semuanya. Aku harus berjuang sekali lagi dengan seluruh usaha dan tenagaku. Aku harus mempertahankan rumah tangga dan suamiku. Aku yakin dia akan berubah...Nenek. Ya, Nenek yang akan membantu kami..." gumam Valleria lagi lalu meraih kimononya dan membalut tubuhnya setelah membalut kepalanya dengan handuk. Dirinya melangkah keluar dan meraih ponsel dari dalam tas sandangnya. Setelah lama akhirnya panggilan tersambung... "Halo, Nek..." jawab Valleria dengan suara sengau. "Kenapa lagi, Ve. Ngulah lagi Mario?" tanya sang nenek langsung ke inti permasalahan membuat Valleria meledak tangisnya. "Nenek...Ve harus gimana, Nek? Ve bingung Nek, haruskah Ve ngikutin saran Mario, buat pisahan. Ve rasanya berat untuk mutusin, Nek..." akhirnya tangis Valleria meledak hanya dengan mendengar suara sang nenek dari suaminya. Nenek yang selama ini selalu menjadi perisai untuknya dalam menghadapi sang suami. "Sudah berapa kali nenek katakan. Abaikan semua kata-kata Mario. Tidak ada perceraian di antara kalian. Kamu tenang saja, Nenek yang akan berbicara dengan Mario. Kamu tenang saja, ya? Bawa istirahat sekarang...jangan lupa makan malam..." perintah sang nenek membuat Valleria sedikit lega mendengar kalimat motivasi dari sang nenek. "Nek, nanti bisa-bisa Mario marah di kira Ve yang ngadu-ngadu, Nek..." ucap Valleria lagi kawatir jika sang suami mengetahui apa yang dia lakukan saat ini. "Kamu tenang saja. Nenek cukup mengenal Mario. Dia cucu kandung nenek. Tunggu saja kabar dari nenek, oke?" ucap sang nenek lalu mematikan ponselnya. Meski terkesan ketus tapi nenek adalah satu-satunya orang yang selalu mendukung rumah tangga Valleria dan Mario. Sedangkan keluarga yang lain sudah lama menginginkan perpisahan mereka. Bersambung... Haii haiii yuk komen gimana cerita ini

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD